2. Martabak Telor

37 15 4
                                    

Aku adalah anak tunggal dari kedua orang tua yang sudah lama berpisah. Ibuku memilih hidup menyendiri di tengah hutan, mengabdikan dirinya pada sesuatu yang hingga kini masih menjadi teka-teki bagiku. Isi surat terakhir yang ditinggalkannya hanyalah petunjuk samar tentang pengabdiannya kepada 'tuan' atau entitas yang tak pernah benar-benar aku pahami. Sementara itu, ayahku menjalani hidupnya di dunia gelap, bersenang-senang, menghambur-hamburkan uang, dan bergonta-ganti wanita. Dia tak pernah peduli pada anak satu-satunya. Dan sekarang? Aku bahkan tidak tahu di mana dia berada, atau apakah dia masih hidup.

Tapi, jangan merasa kasihan padaku karena sejujurnya, aku tidak membutuhkan mereka. Aku berhasil mendapatkan beasiswa sejak SMP dan terus mempertahankannya hingga sekarang di bangku kuliah. Uang bulanan pun aku terima dari pemerintah. Aku juga tinggal di tempat yang layak, tidak pernah melewatkan makan, dan menjalani hidupku dengan cukup baik.

Yah... walau kehidupan kampusku bisa dibilang sedikit miris. Aku hampir tidak pernah merasakan bersantai atau hangout sepulang kuliah, dan selalu terjebak dalam kelompok sisa. Kursi paling pojok di barisan belakang selalu menjadi tempat andalanku saat menghadiri kelas. Tidak, aku tidak di-bully atau semacamnya; hanya saja, aku lebih memilih untuk menutup diri.

Aku memilih menghindari drama pertemanan yang menurutku hanya akan membuang waktu dan tenaga—hal yang sudah pernah terjadi di SMA, yang membuatku memiliki pandangan seperti ini. Jadi, aku cenderung menutup diri dari orang-orang di sekitarku, kecuali untuk Illah dan Ava, dua saudara jauhku.

Illah, umurnya hanya terpaut beberapa bulan denganku, dia yang lebih tua. Sementara Ava, tiga tahun lebih tua. Namun, Ava tidak suka diperlakukan seperti orang yang lebih tua. Dia selalu menekankan agar aku dan Illah memanggilnya dengan nama saja, tanpa embel-embel apa pun.

"HELLO WORLD!" pintu apartemenku terbuka, menunjukkan sosok wanita berambut panjang coklat alami, melangkah masuk dengan plastik hitam di tangan. Kalau centil begini, sudah pasti Illah.

"Punteeeen" di belakangnya, Ava muncul dengan seragam guru swasta bewarna oren mencolok.

Jangan tanya bagaimana mereka bisa masuk ke sini, karena mereka sudah hapal passcode apartemenku diluar kepala.

"Kalau gue udah kaya, gue bakal beli sekolah tempat lo kerja itu, terus gue ganti warna seragamnya" protesku pada Ava. Ah, ini bukan yang pertama kalinya aku protes begini, mungkin... yang ke delapan?

"Bayangin Lor, sepanjang jalan di grab tadi gue ngeliat oren-oren dari ujung mata gue," sambung Illah sembari menunjuk-nunjuk seragam Ava. Ternyata, masih ada yang lebih geram dariku. "Sakit mata gueee!"

"Ya gimana ya, kalau gue banyak duit juga gue bakal bangun sekolah sendiri kali! Dari kepala sampai ujung kaki, atributnya all black!!"

"Liat Lor," Illah menyenggol lenganku. "Mulai dia"

"Kumat dia" balasku, sudah terbiasa mendengar ocehan Ava—seorang goth enthusiast.

"Bodo, yang penting bukan oren gonjreng begini lagi"

"Hahahaha lain kali bawa baju ganti dah lo Va!" ucap Illah, setelah itu, matanya tertuju padaku. "Nih, kasih ke orang sebelah, buru!"

Aku menatap plastik hitam yang sejak tadi dibawa Illah. "Apa itu?"

"Martabak telor" jawabnya, memindahkan plastik hitam itu dari tangannya pada tanganku. "Cepet kasih, gue mau liat!"

"Apaan anjir?" heranku, panik saat tiba-tiba Illah mendorongku keluar.

"Cepet Lor!" seru Ava yang kini sudah ikut berdiri untuk menarikku keluar.

"Va! kenapa lo malah ikutan sih?!"

CHACONNE | Park SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang