11. Terror

36 14 2
                                    

Aku mengangkat kaki hingga sejajar dengan bangku. Perlahan, kutopangkan tangan di atas lutut, lalu daguku bertumpu di sana, menciptakan posisi yang hampir menyerupai seorang pemikir, meskipun pikiranku melayang entah ke mana. Aku bisa merasakan tatapan tajam dari Ava dan Illah, hanya menunggu momen yang tepat untuk menyerang dengan kata-kata. Dan benar saja, belum sempat napasku kembali normal setelah cerita panjang lebar yang kubagikan, mereka langsung berteriak, seperti yang sudah bisa kutebak sejak awal.

"GILA YA LO?!"

"Gue cuma pengen kabur anjir!" ucapku jujur. "Gak kuat gue diem di sana lama-lama, serius. Bisa-bisa gue nemplok ke Ian"

Di ruangan sauna yang dipenuhi aroma kayu dan uap panas ini, kita bertiga duduk santai di bangku kayu, mengendurkan otot setelah berolahraga walau hanya sesaat. Suasana hening, hanya terdengar suara napas kita dan gemericik uap dari batu panas. Ruang ganti wanita sedang sepi, memberi kita keleluasaan untuk bicara tanpa khawatir ada yang mendengar.

"Ambil sisi positifnya aja, Lora masih bisa kabur, berarti otaknya masih berfungsi" kata Ava, nada suaranya setengah bercanda, setengah menasihati. "Kalau udah gak berfungsi, gue yakin banget itu Ian udah kena cium sama Lora"

Aku tersenyum tipis, namun berusaha sekuat tenaga untuk menahannya agar Ava dan Illah tidak menyadari. Kami semua tahu Ava hanya bercanda, tetapi mendengar nama 'Ian' disandingkan dengan kata 'cium' membuatku merasa salah tingkah.

"Bukan cuma dicium, kayaknya sih, Va. Lo lupa ya, mereka tinggal sebelahan?" dia menunjuk ke arahku dengan jari telunjuknya, seolah ingin menekankan poinnya. "Antara Lora yang bawa Ian masuk ke apartemennya, atau Lora yang diculik Ian"

"Kalau suatu hari itu terjadi, gue gak heran sih" balas Ava, matanya berkilau dengan nada nakal. Dia tampak menikmati momen ini, menertawakan aku yang berusaha tetap tenang, meskipun wajahku mungkin sudah memerah.

"Udah sih, kenapa kalian malah ngomongin gue?" kini aku berdiri tegap, berusaha terlihat tenang. "Tapi, kalo ternyata dia jodoh gue, gimana?"

Ava dan Illah langsung bertukar pandang, saling melontarkan tatapan yang membuatku merinding. Meskipun mereka hanya diam, aku bisa merasakan makian yang tidak terucap, mengalir deras di antara kami. Menyeramkan sekali.

"Kalo lo mau nyawa lo dalam bahaya, silahkan," jawab Illah, tanpa ragu-ragu. Sementara itu, Ava hanya menatapku dengan senyuman yang mencurigakan, seolah dia tau apa yang sedang aku pikirkan.

"Jangan gitu lah, serem amat"

"Jangan gitu gimana? Lo sendiri udah ngeliat orang ditembak pake mata lo sendiri, kan? Gue sih ogah banget terlibat sama yang begituan"

Aku mengerucutkan bibir, mendengarkan Illah dengan serius. Sementara itu, ujung mataku menangkap bayangan seseorang dari kaca kecil di pintu masuk sauna. Sosok itu tampak berdiri diam, hanya melihat-lihat seolah sedang mempertimbangkan untuk masuk—atau mungkin, mengintip dari balik pintu.

"Siapa sih?" gumamku sambil mengarahkan pandangan ke arah pintu sauna yang sedikit berkabut oleh uap panas. Sosok itu sudah lenyap, begitu cepat hingga aku hanya sempat menangkap siluet hitam yang berlalu di balik pintu. "Anjir, kabur"

"Ngerasa juga lo?" Ava menatapku dengan ekspresi waspada, seakan menantikan jawabanku, dan aku hanya mengangguk pelan. "Tadi gue juga ngerasa, kayak ada yang ngeliatin kita dari tadi, kirain cuma perasaan gue doang"

"Apaan sih?" tanya Illah yang ikut merasa terganggu.

Dengan penasaran, dia bangkit dari tempat duduknya, berjalan mendekati pintu sauna dengan langkah hati-hati, takut menemukan sesuatu di baliknya. Begitu sampai, dia menyelipkan kepalanya sedikit ke luar, menengok ke kanan dan kiri untuk memastikan. Setelah beberapa saat, dia menarik napas panjang, dan kembali menatap kami dengan ekspresi bingung. "Ga ada siapa-siapa"

CHACONNE | Park SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang