13. Threat

17 3 0
                                    

Jam menunjukkan pukul 6 pagi saat aku memasuki mobil Ian. Berbeda dengan mobil-mobil sebelumnya yang pernah kutumpangi, kali ini Ian mengendarai sebuah Ferrari hitam yang berkilau di bawah langit pagi. Mobil yang sangat sporty, dengan garis-garis tajam dan desain ramping. Rasanya, mobil ini adalah perpanjangan dari dirinya—semuanya tentang kecepatan, gaya, dan kontrol. Tak bisa kukelak, mobil ini benar-benar cocok dengan Ian.

Saat aku duduk di sampingnya, pandanganku tak bisa lepas dari bagaimana tubuh tegapnya pas bersandar pada kursi kulit hitam, kontras dengan kemeja putih yang dikenakannya serta kulitnya yang pucat. Setiap gerakannya terasa sempurna, seolah dia sudah sangat familiar dengan mobil ini, seperti ada ikatan yang kuat antara dirinya dan Ferrari ini. Tangannya, yang kuat namun terkesan santai, menggenggam stir hanya dengan sebelah tangan. Ada sesuatu yang seksi dalam cara jari-jari tangannya bergerak, dan aku tak bisa menahan rasa kagum saat mataku mengamati gerakan halus namun penuh kendali itu.

"Ian," panggilku pelan, diikuti deheman singkat darinya yang entah mengapa membuat perutku terasa bergejolak, seperti ada kupu-kupu yang terbang di dalamnya. Mungkin aku aneh, tapi aku suka mendengar respon singkat itu.

"Kenapa?" tanya Ian, melirikku, menunggu penjelasan karena aku tidak juga melanjutkan kata-kataku.

"Marco ke mana? Tumben lo nyetir sendiri" tanyaku, mencoba memecah keheningan.

"Ini jadwal di luar kerjaan" jawab Ian singkat, tanpa ekspresi berlebih.

Aku mengangguk, mencoba mencerna jawabannya. "Kita sarapan di mana?"

"Yang deket aja, kita udah sama-sama laper. Lobo and Juno, western cuisine. You into that?"

"Western cuisine? Sounds good. I'm up for it"

Ian langsung memutar stir mobilnya dengan mantap, memasuki kawasan gedung bertingkat yang megah, dan aku tak bisa menahan diri untuk menatap keluar jendela, mencoba mencari tahu ke mana kami akan pergi. Lalu, mataku tertuju pada bangunan dengan logo yang begitu familiar-Ritz-Carlton. Jantungku serasa berhenti sejenak.

Jadi, kita akan sarapan di sini...? Di hotel bintang lima yang mewah ini? Seketika, aku merasa tidak percaya diri. Aku menunduk, memeriksa pakaianku sekali lagi. Set baju tidur seksi yang memang dirancang untuk kenyamanan tidur, bukan untuk tampil di tempat semewah ini. Syukurlah, aku masih memakai sweater hitam yang agak kebesaran di luar. Tapi tetap saja... sandal yang aku kenakan jelas bukan pilihan yang pas untuk tempat seperti ini.

Aku melirik Ian yang mengenakan kemeja putih. Penampilannya yang begitu rapi semakin menegaskan perbedaan kami. Aku yang mengenakan pakaian santai, sementara dia... terlihat seperti datang dari pertemuan bisnis penting. Aku bisa merasakan pipiku memanas, dan tanpa sadar, aku meremas ujung sweaterku.

"Here? Ian? Gue masih pake baju tidur, loh" akhirnya, ucapan itu keluar dari bibirku.

"No need to worry. I picked this place for a reason. And with the VIP room, no one’s going to notice" balas Ian.

Aku tidak membalas lagi. Ini bukan yang pertama kali aku terjebak dalam pilihan-pilihan Ian. Aku mulai terbiasa dengan cara hidupnya yang serba mewah, dan saat ini aku hanya berpikir, sebagai orang yang diajak, aku lebih baik mengikuti saja.

Ian menghentikan mobilnya di depan lobi utama hotel yang sangat megah. Tanpa berkata apa-apa, dia turun dari mobil dan berjalan ke pintu sisi pengemudi, membukakan pintu untukku.

"Thank you" kataku, bingung namun tetap tersenyum dan melangkah keluar dari mobil.

Aku berdiri di tempat, sedikit ragu, membiarkan Ian melangkah lebih dulu agar aku bisa mengikutinya selangkah di belakang. Namun, baru beberapa langkah, Ian tiba-tiba berhenti. Dia menoleh ke belakang, matanya terkunci padaku dengan sorot yang tajam, membuat langkahku terhenti dengan cepat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CHACONNE | Park SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang