Aku terbangun dari tidur yang terasa begitu singkat. Mataku masih berat, dan rasa kantuk menjalari seluruh tubuhku. Namun, tubuhku tak bisa diajak kompromi, secara otomatis aku bergerak untuk duduk, menyentuh permukaan dingin dari alas tempat tidur. Di sampingku, Ava terbaring di sebelah kiri, wajahnya tertutupi oleh tumpukan bantal, sedangkan Illah di sebelah kanan masih terlelap dengan tenang, rambutnya yang panjang terurai di atas bantal.
Semalam, aku memenangkan permainan gunting batu kertas, yang memberiku hak istimewa untuk tidur lebih dulu. Sementara Ava dan Illah, yang tidak seberuntung itu, harus membereskan piring kotor yang menggunung di meja. Suasana semalam terasa hidup dalam ingatanku, gelak tawa dan adu argumen ringan mengisi udara, sebelum akhirnya aku tertidur lebih awal. Kini, aku tidak tahu jam berapa mereka tertidur, tetapi melihat kondisi mereka saat ini —terutama Illah, yang biasanya adalah seorang morning person—terlihat masih tertidur nyenyak, sepertinya mereka tidur larut malam.
“Guys, bangun! Udah jam delapan!” seruku sambil turun dari kasur, tubuhku membuat kasur berderit sedikit saat guncangannya menggetarkan tempat tidur. Meski begitu, Ava dan Illah tetap tak bergerak, bahkan napas mereka masih teratur.
Aku mendesah pelan, merasa sedikit frustrasi karena seharusnya mereka adalah tipe orang yang mudah sekali untuk bangun. Dengan langkah berat, aku berjalan ke kamar mandi karena perutku terasa penuh seperti balon yang hampir meledak. Aku langsung menyelesaikan urusanku, membiarkan rasa lega mengalir. Di depan cermin, wajahku yang sedikit kusut oleh sisa tidur kubasuh dengan air dingin, menyegarkan. Aku menyikat gigi dengan gerakan cepat namun teliti, memastikan diriku siap untuk menjalani hari ini—niatku untuk ke gym sudah bulat, tak ada yang bisa mengubahnya sekarang.
Ketika aku melangkah keluar, suara pintu kamar mandi berderit, tapi lagi-lagi, tidak ada reaksi dari mereka. “Serius, masih belum bangun juga?” gumamku sambil menggeleng tak percaya. Di depanku, Ava dan Illah masih berbaring dalam posisi yang persis sama seperti sebelumnya, wajah mereka tenggelam dalam bantal, benar-benar terlelap.
“Heh!” aku menyibak selimut, menepuk wajah mereka satu per satu. “Jadi ngegym gak nih?!”
Illah bergerak sedikit dengan helaan napas berat. Matanya membuka setengah, menatapku malas, lalu memutar kepalanya ke samping. “Nysul gwe” gumamnya, nyaris tak terdengar.
“Hah?” aku mengernyit, masih belum bisa menangkap jelas apa yang diucapkan Illah.
“NYOSOL!” geramnya.
Aku mendecak kesal. “AVA, LO GIMANA?”
“Sepuluh menit” balasnya dengan posisi tengkurap.
“Ini gue udah siap loh, tinggal ngambil botol terus cabut”
“Sepuluh menit lagi” ulangnya.
“Yaudah, sepuluh menit ya, bukan lima puluh menit,” ucapku sambil melangkah ke pantry untuk mengisi botol minum.
Aku memang punya kebiasaan rutin ke gym, meskipun hanya seminggu sekali. Biasanya, Senin malam jadi waktu favoritku. Tapi kali ini, karena Illah, entah kenapa keinginan untuk berolahraga di Minggu pagi muncul begitu saja.
“GUE CABUT YA! KALAU SEPULUH MENIT KALIAN NGGAK MUNCUL, GUE SERET KALIAN KE GYM!” teriakku, sebelum menutup pintu apartemen dengan bunyi yang tegas.
Aku mendengus pelan, memasang headset bluetooth di telinga dan segera menghubungkannya ke ponsel. Begitu pintu lift terbuka, aku masuk dan menekan tombol lantai 6—karena gym berada di sana.
“Ga mungkin sepuluh menit sih” gumamku sembari menatap jam pada ponsel. “Gue kasih spare 10 menit lagi” ucapku final. Kalau Ava dan Illah tidak muncul dalam dua puluh menit, aku akan kembali dan menyeret mereka ke dalam gym!
KAMU SEDANG MEMBACA
CHACONNE | Park Sunghoon
Fanfiction[18+] CHACONNE - The Mafia Series Di sebuah apartemen yang berdekatan, Lora, seorang mahasiswa yang mandiri, dan Ian, seorang mafia, terjebak dalam sebuah hubungan yang rumit. Lora, yang hidup dari beasiswa setelah orang tuanya berpisah, tidak menya...