5. Bantuan

29 15 4
                                    

Lima menit sebelum kelas dimulai, aku melangkah masuk ke kelas terakhir untuk semester ini, perasaan campur aduk menggerayangi dadaku. Suara derap sepatu dan desahan napas mahasiswa lain membuatku semakin tegang. Awalnya, aku pikir aku adalah yang paling terlambat, tetapi ternyata masih ada yang lebih telat dariku.

Dan tebak, mereka yang tiba lewat dari jam 9 pagi dilarang memasuki kelas dan tidak dapat mengumpulkan proposal, yang artinya mereka harus mengulang mata kuliah ini karena nilai tugas memiliki persentase terbesar, yaitu 70%.

Lututku terasa lemas saat membayangkan jika Evan tidak berangkat lebih awal pagi ini. Mungkin aku akan berdiri di luar kelas, terjebak dalam ketidakpastian dan rasa malu bersama mereka-mereka yang terlambat. Nyaris sekali. Nyaris aku harus mengulang mata kuliah ini hanya karena alasan konyol.

Setelah kelas usai, aku memutuskan untuk mampir ke kantin demi makan siang karena lagi-lagi aku merasa malas untuk pergi belanja bulanan di supermarket yang membosankan. Dengan langkah santai, aku melangkah ke konter dan memesan soto campur serta segelas jus alpukat dingin. Setelah menerima pesanan, aku melangkah menuju meja panjang di sudut kantin, tempat favoritku.

Di sekelilingku, kantin ramai dengan mahasiswa dari berbagai jurusan yang sedang menikmati waktu istirahat mereka. Beberapa kelompok terlihat asik bermain game di ponsel, sementara yang lain berkumpul dengan makanan di tangan, saling berbagi cerita dan lelucon.

Aku duduk di meja, memandangi piring soto yang mengepul di depanku. Kuambil sendok dan mulai melahap makananku, merasakan rasa gurih kaldu dan bumbu rempah yang menyatu. Sambil menikmati suapan demi suapan, aku menyaksikan orang di sekelilingku berbincang dan tertawa.

Ponselku sudah terisi baterai, yah... meski hanya 30%, itu lebih dari cukup untuk memesan gojek. Setelah perutku terisi, aku langsung memesan gojek menuju apartemen. Dari sore hingga malam, aku berencana untuk berdiam di apartemen, menonton serial, dan memasak mie instan untuk makan malam.

"Terima kasih," ucapku pada pengemudi ojek yang telah mengantarkanku dengan selamat sampai ke apartemen. Aku segera berjalan menuju lift dan menekan tombol 30.

Tidak seperti saat berangkat, kali ini aku merasa tidak membawa beban fisik maupun mental. Aku jauh merasa lega dan aman dibandingkan beberapa saat yang lalu. Hah... akhirnya libur panjang. Sepanjang perjalanan menuju lantai 30, pikiranku melamun, merenungkan perjalanan kuliahku yang hampir mencapai akhir.

Sebentar lagi aku akan mengerjakan skripsi, dan setelah itu... lulus. Wah, aku sudah menempuh perjalanan sejauh ini, ya? Sebuah senyuman tipis mengembang di wajahku saat membuka pintu apartemen. Rasa bangga memenuhi hati kecilku mengingat betapa kerasnya aku berjuang untuk mendapatkan beasiswa kuliah ini tiga tahun lalu. Diriku yang dulu pasti akan sangat bangga melihat diriku yang sekarang.

Ting Nong!

Tubuhku membeku mendengar suara bel yang berbunyi tepat saat aku melangkah masuk ke dalam apartemen.

Sial, aku belum mengunci pintu...

Ketakutan tiba-tiba menyergapku, dan aku segera melangkah cepat menuju pintu untuk menguncinya. Jantungku berdebar semakin kencang ketika suara bel itu kembali terdengar, membuatku semakin panik.

"Fuck!" umpatku, teringat semua hal aneh yang kurasakan hari ini di kampus, membuatku enggan untuk mengintip melalui lubang intip.

Aku merasa terlalu takut untuk melakukannya, tetapi bel apartemenku terus berdering, menambah rasa resahku. Akhirnya, mau tak mau, aku memberanikan diri untuk mengintip.

"Ah! Ian..." ucapku begitu melihat sosok yang berdiri di depan pintu apartemenku. Dengan hembusan napas lega, aku membuka pintu. "Duh, gue kira siapa... Ternyata lo"

CHACONNE | Park SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang