3. Ninja

34 15 5
                                    

Kejadian dua hari lalu membuatku enggan untuk meninggalkan apartemen. Ava dan Illah adalah penyebabnya. Jika bukan karena mereka, aku mungkin tidak akan pernah bertemu lagi dengan pria tinggi pucat itu.

Pria itu... ada sesuatu yang misterius tentang dirinya yang membuatku merasa aneh. Setiap kali kami bertatap muka, ada getaran aneh di perutku, seolah-olah ada aliran energi yang tidak bisa aku jelaskan.

"Duh, semoga gak ketemu deh" gumamku sambil melangkah keluar dari mini market yang terletak di kawasan apartemenku.

Stok makananku sudah habis, jadi aku terpaksa meninggalkan tempat ternyamanku untuk membeli mie instan dan beberapa camilan. Seharusnya, aku pergi ke supermarket untuk belanja bulanan karena kulkasku nyaris kosong, tetapi rasa malas menguasai diriku.

Aku berjalan menuju gedung apartemen sembari menenteng tas belanja berisi 5 bungkus mie instan, beberapa bungkus ciki, juga wafer. Setiap berpapasan dengan orang, aku hanya menatap lurus, berusaha menghindari kontak mata karena menurutku bertatapan saja sudah menguras banyak energi. Oh iya, aku juga berpakaian seperti ninja kali ini. Aku tidak tau ini berlebihan atau tidak, tapi aku pergi meninggalkan apartemen mengenakan hoodie kuning tua yang bagian topinya aku ikat kencang pada wajahku, celana panjang besar, masker, dan juga... kaca mata hitam.

Ya, aku sengaja mengenakan kaca mata dan menutup seluruh bagian wajahku agar tak ada seorang pun yang bisa mengenaliku. Satu-satunya pengecualian adalah sekuriti di sini yang tampaknya sudah hapal dengan hoodie kuningku, karena mereka tetap menyapaku dengan ramah saat aku memasuki lobi.

Dengan santai, aku melangkah melewati meja resepsionis, café, dan ramp, hingga akhirnya... selamat! Aku berhasil masuk ke dalam lift tanpa berpapasan dengan orang yang aku kenal.

"Buka aja kali ya, gelap," bisikku pada diri sendiri, sambil melepas kaca mata hitam dan menjadikannya sebagai bondu.

Aku berdiri dalam keheningan, memandangi angka-angka yang terus bergerak naik di layar lift. Hmm... mie apa yang harus aku masak lebih dulu? Goreng atau kuah? Saat ini, rasa-rasanya aku lebih ingin menikmati mie goreng.

Ting!

Dengan semangat yang membara—tak sabar untuk merebus mie, aku melangkah keluar begitu lift berhenti dan kedua pintunya terbuka.

"Menurut gua, dia emang murni ramah aja sih, Yan"

Kedua mataku melotot saat mendengar suara itu. Dalam sekejap, aku mengenakan kaca mata hitamku dan semakin terkejut saat melihat pemilik suara yang melangkah masuk ke lift. Itu Jake dan si tinggi pucat! Mereka berdua berdiri tepat di depan mataku!

"Whoops, sorry," ucap Jake, menghentikan langkahnya di ambang pintu lift begitu dia melihatku. Kami nyaris bertabrakan. "Gua kira nggak ada orang"

Dengan tubuh yang tiba-tiba terasa kaku, aku hanya mengangguk dan segera melangkah keluar dari lift.

"Hold on, I think I recognize her moves"

DOR!

Kalimat itu menembus jantungku, membuat tubuhku terdiam seolah baru saja tertangkap basah.

"Bingo, that's her, the girl next door!"

Itu suara Jake. Meskipun aku baru berbincang sekali dengannya, aku dapat mengenali suaranya dengan mudah. Namun, bagaimana bisa pria itu mengenaliku?

Tanpa bisa menghindar, aku berbalik dan melambaikan tangan ke arah mereka yang sudah berada di dalam lift. Sosok tinggi pucat di tengah lift langsung menarik perhatianku. Dia berdiri dengan pakaian super rapi dan postur yang gagah, tetapi matanya menatapku dengan tatapan datar, seolah sangat tidak tertarik. Sementara itu, Jake, pria itu, sedang menahan tombol lift dengan senyuman lebar, dan mata yang tertuju padaku -seperti sedang mengundangku untuk bergabung dengan mereka.

CHACONNE | Park SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang