7. Cancel

28 15 0
                                    

"Kalau kamu emang harus tau, nanti juga bakal tau"

"Gak menjawab, tapi, okay..." aku mengembalikan tubuhku ke posisi semula, berusaha menenangkan diri meski banyak pertanyaan berputar di kepalaku.

Jalanan Jakarta hari ini tidak terlalu macet, dan mobil meluncur dengan lancar di antara deretan kendaraan. Suara klakson dan hiruk-pikuk kota terasa samar saat kami semakin mendekati tujuan. Tak lama kemudian, kami akhirnya tiba.

"Ayo," ujar Ian dengan nada tegas sambil membuka pintu mobil, memperlihatkan red carpet yang membentang megah di depan kami, dihiasi dengan lampu-lampu gantung yang berkilauan di atasnya. Saat aku berusaha membuka pintu di sampingku, terkejut, aku melihat Ian sudah membukakannya untukku.

"Kenapa?" tanyaku dengan alis berkerut penuh kebingungan. Ian hanya memberikan tatapan tajam yang mengandung perintah, seolah menyuruhku untuk diam dan mengikuti arahan tanpa banyak bertanya.

Melihat itu aku pun terdiam, meneguk ludah yang terasa kering di tenggorokan. Dengan sedikit ragu, aku menerima uluran tangan Ian yang dingin dan kokoh, lalu melangkah turun dari mobil. Begitu kami menginjakkan kaki di permukaan karpet yang lembut, suasana semakin terasa mencekam.

Mataku melirik ke sekeliling, dan aku dikejutkan oleh barisan penjaga berpakaian serba hitam yang berdiri tegak dengan postur sempurna di sepanjang red carpet, mengawasi dengan tatapan tajam. Mereka terlihat seperti bayangan, siap menghalangi siapapun yang berani mengganggu.

"Act natural, Lora, everyone is watching" bisik Ian, membuatku merinding karena untuk pertama kalinya aku mendengar dia menyebut namaku.

Dia melipat salah satu tangannya di dada, dan melihat itu, aku segera merangkul tangan Ian dan berjalan bersamanya. Ketika kami melangkah melewati red carpet, aku terkejut saat seluruh penjaga membungkuk sebagai tanda hormat. Tapi, seperti yang Ian katakan, aku cepat-cepat menyembunyikan ekspresiku di balik seulas senyuman yang dipaksakan.

Acara ini tampaknya sangat privat, karena tidak ada satu pun kamera dan pengamanannya begitu ketat. Bahkan saat hendak memasuki ballroom, kami harus melewati pengecekan. Begitu sampai di dalam ballroom, aku semakin terkejut melihat ruang besar yang begitu mewah, dengan dekorasi sederhana namun berkelas.

Dan tamu-tamu yang hadir, mereka semua terlihat berpakaian rapih dengan berbagai macam produk brand high-end yang menempel pada tubuh mereka.

"Selamat malam" sebuah lelaki tua yang datang bersama dua wanita seksi disampingnya muncul dan menjabat tangan Ian dengan semangat.

Jangan tanya bagaimana kondisiku sekarang karena rasanya jantungku hampir lepas dari tempatnya.

"Malam, Charlie" ucap Ian dengan senyuman tipis di wajahnya. Aku menatap Ian sembari mengedipkan mata berkali-kali, namun senyuman tipis di wajahnya itu tidak menghilang. Dia... tersenyum?!

"Datang sama siapa ini, Ian?"

Raut wajahku langsung berubah, seperti sedang dirasuki seseorang yang jauh lebih kuat dan percaya diri dariku.

"Ini Lora" ucap Ian, dan akupun langsung menjabat tangan dengan pria tua berperut besar bernama Charlie ini.

Pria tua itu tertawa kencang saat mendengarku memperkenalkan diri, dan di saat yang bersamaan, tatapan tajam dari kedua wanita seksi di sampingnya menyerangku.

"Cantik sekali Ian, cantik sekali" ucapnya, membuatku bingung harus berbubat apa selain tersenyum lebar pada Charlie.

Sementara mereka sibuk membahas topik yang sepenuhnya di luar pemahamanku—mengenai seorang pria bernama Loui dan bisnis tembakau yang tampaknya dikelola bersama—aku menyadari sesuatu yang membuat kesal.

CHACONNE | Park SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang