8. I Like You

39 15 3
                                    

Kapan aku tertidur? Pertanyaan itu berputar-putar dalam pikiranku saat kelopak mataku terbuka perlahan. Sebuah sinar matahari hangat menyentuh wajahku, menjalar lembut dari arah kiri, seolah membangunkanku dari mimpi yang dalam.

Dengan sedikit usaha, aku menggeser kepalaku untuk melihat ke arah kiri, tempat jendela besar berdiri dengan tirai yang tertutup. Meskipun tirai itu tertutup rapat, sebuah celah kecil di ujungnya membiarkan sinar matahari menembus, menciptakan garis-garis cahaya yang menari di dinding sekitarnya. Sinar itu menerangi ruangan yang sebelumnya terasa gelap dan mencekam, memberi sedikit kehangatan pada suasana yang suram ini.

Tunggu, di mana ini?

Kedua mataku seketika terbuka lebar, menyadari sepenuhnya ketidakpastian yang mengelilingiku. Rasa lemas dan kantuk yang semula menyelimuti diriku seakan hilang seketika, digantikan oleh ketegangan yang mengalir di dalam diri. Aku mulai menyadari bahwa suasana di sekelilingku tidak familiar, aroma kayu tua dan sedikit kelembapan menyentuh indera penciumanku. Di dinding, lukisan-lukisan samar tampak menggantung, sementara furnitur kayu yang kokoh berjejer di sudut ruangan, menambah kesan misterius.

"Ini di mana sih...?" gumamku pelan, suara serak keluar dari tenggorokanku. Dengan penuh kebingunhan, aku berusaha menyibakkan selimut tebal yang menutupi tubuhku. Tapi begitu mataku jatuh pada sosok di sampingku, jantungku seolah berhenti.

Itu Ian! Dia terbaring disampingku... dan yang paling mengejutkan, dia tertidur telanjang dada. Kulit dadanya yang terbuka lebar membuatku menahan napas. DIA TELANJANG DADA!

Mataku membelalak lebar, panik menyebar ke seluruh tubuhku. Dengan napas tercekat, aku buru-buru menunduk untuk menatap pakaianku. Tubuhku menegang saat menyadari pakaian yang kukenakan berbeda dari yang terakhir kuingat. Bajuku berubah. Ini bukan milikku. Bagaimana bisa?

"FUCK!" umpatku kencang, hampir tak terkendali. Dengan satu gerakan panik, aku melompat dari kasur, kaki tersangkut selimut, hampir terjatuh. Dan aku bisa melihat tubuh Ian mulai bergerak, kepalanya menggeleng pelan, seolah sedang terbangun dari tidur lelapnya.

Tenggorokanku tercekat, tapi kebingunganku mengalahkan rasa takut. "WHAT IS THIS, IAN?!" teriakku keras, suaraku menggema di ruangan, lebih nyaring daripada yang kubayangkan.

Ian kini sudah dalam posisi duduk, bersandar pada headboard, membuat aku bisa melihat tubuh kotak-kotaknya dengan jelas. Aku meneguk ludah, memandang tubuh bidang itu dan cepat-cepat mengalihkan mataku untuk menatap wajahnya. Mata yang masih mengantuk, bibirnya yang entah mengapa terlihat lebih merah dari biasanya, dan rambut yang berantakan. Dia terlihat... seksi.

"Kepala kamu udah sembuh?"

"KEPALA? KEPALA GUE KENAPA?"

Ian menatapku dalam posisi itu cukup lama, sebelum dia turun, berjalan menghampiriku yang berhasil membuatku mati kutu. Dengan perlahan dia mendorongku, membawaku menuju cermin full body yang berada dekat pintu masuk.

Aku terdiam menatap diriku dari pantulan cermin. Riasan pada wajahku sudah hilang —yang membuatku bertanya-tanya, baju yang aku kenakan ternyata adalah rompi milik Ian yang dia kenakan semalam—terlihat sangat besar di badanku sampai mampu menutupi paha atasku, sementara celana... aku tidak mengenakan celana...

Aku hendak kabur dari sana, namun Ian menahan bahuku, lalu dia menunjuk dahiku yang ternyata dibungkus plester.

"Hah...? Jidat gue kenapa?" heranku, baru menyadarinya. Aku menyentuhnya, lalu dengan iseng menekannya. "AW!"

"Ian, jidat gue kena-"

"Hurry up, Ian, we have to go" sebuah suara tiba-tiba terdengar dan pintu di sampingku terbuka lebar.

CHACONNE | Park SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang