Hari-hari berlalu, dan Nara merasa bahagia seperti belum pernah sebelumnya. Hubungannya dengan Phuwin berkembang begitu alami; mereka saling mendukung dalam pekerjaan, kehidupan pribadi, bahkan dalam hal-hal kecil sehari-hari. Setiap momen terasa lebih berarti, dan kedekatan mereka semakin mendalam.
Suatu hari, mereka memutuskan untuk berlibur ke sebuah kota kecil di pegunungan. Tempat itu indah dengan pemandangan yang menakjubkan, udara segar, dan makanan lokal yang lezat. Mereka menjelajahi jalan-jalan kecil, berbicara tentang mimpi dan harapan, dan benar-benar menikmati ketenangan tempat itu.
Salah satu malam, saat matahari mulai tenggelam di balik pegunungan, Nara dan Phuwin duduk berdampingan di tepi sebuah bukit, menikmati pemandangan yang memukau. Langit berubah menjadi gradasi oranye dan merah yang hangat.
Nara menatap matahari terbenam, kemudian melirik ke arah Phuwin. “Dulu, aku takut kalau perasaan ini hanya akan merusak persahabatan kita. Tapi sekarang, aku merasa keputusan untuk jujur adalah hal terbaik yang pernah kulakukan.”
Phuwin menatapnya dengan lembut, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Aku juga merasa begitu. Kadang, kita hanya butuh dorongan kecil untuk berani mengambil langkah pertama.”
Nara tersenyum, meresapi kehangatan dari matahari terbenam. “Dan siapa sangka dorongan itu datang dalam bentuk lingkaran waktu? Seolah-olah semesta ingin memberiku pelajaran penting tentang hidup dan cinta.”
Phuwin menggenggam tangan Nara dengan lembut. “Yang penting sekarang, kita bisa menjalani ini bersama, tanpa ada yang ditahan-tahan lagi.”
Nara mendekat sedikit, menundukkan kepalanya, dan menatap Phuwin dengan intens. “Aku tidak akan pernah membiarkan kamu terluka dan sedih.”
Phuwin menatap bibir Nara dengan gugup, namun penuh harapan. “Aku… aku juga.”
Angin bertiup lembut, menciptakan suasana yang semakin intim di sekitar mereka. Nara perlahan-lahan mendekatkan wajahnya ke wajah Phuwin, matanya mencari izin di mata Phuwin. Phuwin mengangguk kecil, seolah memberi restu tanpa perlu kata-kata.
Nara berbisik lembut, “Boleh aku?”
Phuwin, dengan suara gemetar namun penuh keyakinan, mengangguk sambil tersenyum. “Um.”
Nara kemudian menyentuh bibir Phuwin dengan lembut. Ciuman pertama mereka terasa hangat dan penuh emosi, mengungkapkan segala rasa yang telah mereka simpan. Itu adalah ciuman yang penuh janji, pengertian, dan cinta yang tulus. Mereka berdua menutup mata, menikmati momen yang telah lama ditunggu-tunggu. Ciuman itu bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang keberanian mereka untuk menghadapi masa depan bersama.
Saat ciuman mereka berakhir, mereka saling tersenyum, merasakan perubahan yang baru saja terjadi. Matahari telah tenggelam sepenuhnya, meninggalkan mereka dalam gelap malam yang penuh kehangatan.
Phuwin tersenyum malu-malu, “Aku tak percaya akhirnya kita sampai di sini.”
Nara tersenyum lebar, merasa damai. “Ini baru permulaan, Phuwin. Hanya awal dari cerita panjang kita.”
Phuwin mengangguk, matanya berbinar dengan keyakinan. “Dan aku tak sabar untuk menulis setiap halamannya bersamamu.”
Mereka duduk di sana, saling bergenggaman tangan, menikmati malam yang damai dan penuh harapan, siap untuk menghadapi babak baru dalam hidup mereka bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Repeat the Moment (pondphuwin) END✓
RomanceNara mengalami lingkaran waktu karena ketidakmampuannya untuk jujur pada dirinya sendiri dan pada orang lain tentang perasaannya. Ketakutannya untuk merusak hubungan dengan Phuwin membuatnya terjebak dalam pola yang sama berulang-ulang. • slight 🔞 ...