Keputusan yang Berat

63 3 0
                                    

Setelah pertengkaran tersebut, Phuwin memutuskan untuk memberi Nara ruang dengan menginap di rumah temannya, Dunk. Selama beberapa hari itu, Nara merasakan kesepian yang mendalam dan kerinduan yang berat terhadap Phuwin.

Di rumah Dunk, Phuwin duduk di sofa dengan secangkir teh hangat di tangannya, tampak jauh dari perasaan yang tenang. Dunk duduk di sampingnya, berusaha memberikan dukungan.

“Phu,” kata Dunk sambil menyodorkan teh, “hubungan itu butuh kepercayaan. Kalau Nara benar-benar cinta sama kamu, dia akan jujur dan memperjuangkan kalian berdua.”

Phuwin meneguk teh dengan lesu, lalu menyeka air mata yang mulai mengalir. “Aku tahu dia mencintaiku, tapi aku ragu apakah dia siap untuk benar-benar meninggalkan masa lalunya. Aku merasa seperti dia masih terjebak di sana.”

Dunk mengangguk dengan penuh pengertian. “Kamu harus beri dia waktu, tapi pastikan juga kalau kamu tidak menyakiti dirimu sendiri dalam proses ini. Kalau dia datang padamu dengan kejujuran, itu tandanya dia memilihmu sepenuhnya.”

Phuwin menatap jauh ke luar jendela, merasa terombang-ambing antara harapan dan keraguan. “Aku hanya takut kalau aku terlalu menunggu, aku bisa kehilangan kesempatan ini selamanya.”

Dunk menepuk bahu Phuwin dengan lembut. “Waktu memang tidak bisa diputar kembali, tapi kamu juga harus ingat kalau kamu tidak harus bertahan dalam ketidakpastian ini selamanya. Kadang, memberi ruang itu penting, tapi jangan lupa untuk menjaga dirimu juga.”

Sementara itu, Nara merenungkan kesalahannya dengan duduk sendirian di ruang tamunya, memegang foto-foto kenangan mereka. Ia merasa terjebak antara masa lalu dan harapan untuk masa depan. “Aku harus memutuskan apakah aku akan membiarkan masa laluku menghancurkan apa yang telah kita bangun atau benar-benar move on dan memberikan hatiku sepenuhnya pada Phuwin,” gumamnya kepada dirinya sendiri.

Nara kemudian membuka aplikasi pesan dan mengetik pesan kepada Phuwin, tapi sebelum mengirimnya, dia menghapusnya lagi. Dia merasa bingung, takut untuk membuat langkah yang salah.

Kembali ke Dunk, Phuwin terlihat lebih tenang setelah berbicara dengan Dunk. “Aku hanya ingin dia tahu betapa berartinya dia bagiku,” kata Phuwin dengan suara lembut. “Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana.”

Dunk tersenyum dan berkata, “Coba sampaikan perasaanmu dengan tulus. Kadang, kata-kata sederhana bisa membuka jalan menuju pemahaman yang lebih dalam. Jika kamu merasa siap, berbicaralah padanya.”

Setelah beberapa hari berpisah, Nara akhirnya memutuskan untuk menghubungi Phuwin. Dia duduk di mejanya, mengetik dengan hati-hati, berusaha menyusun kata-kata yang tepat. Setelah beberapa kali revisi, dia menekan tombol kirim dan menunggu dengan campur aduk antara harapan dan kecemasan.

Pesan Nara sampai ke Phuwin. Ia membaca pesan itu dengan penuh perhatian, merasa hatinya bergetar. “Nara,” balasnya, “aku merindukanmu dan aku siap untuk mendengarkan apa pun yang ingin kamu katakan. Mari kita coba bicarakan ini, kalau kamu juga ingin.”

Kedua hati ini akhirnya membuka jalan untuk komunikasi yang lebih baik. Mereka berdua tahu bahwa jalan ke depan mungkin tidak mudah, tapi dengan kejujuran dan komitmen, mereka siap untuk menghadapi masa depan bersama.

Repeat the Moment (pondphuwin) END✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang