"Pokoknya aku gamau!"
"Makanya jangan nakal, kan udah ayah ingatkan untuk tidak nakal, tapi hasilnya apa? Kamu masih aja bergaul sama anak begajulan itu!"
"Arie janji kemarin yang terakhir, tapi jangan kirim Arie ke asrama itu yah!"
Arman menghembuskan napas panjang. Wajahnya yang memerah menjadi bukti jika ia tengah meredam amarahnya pada si bungsu keluarga Widjaya.
"Keputusan ayah udah bulat, besok kamu ayah kirim ke Asrama."
Arie menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia akan dikirim ke asrama terpencil yang bahkan ia tak tahu ada dimana.
Ia memang nakal, namun baginya ayahnya juga keterlaluan. Ini semua karena ayahnya yang jarang dirumah dan membuat ia kesepian.
.
.
."Hoeeekkk... Uhhuk hoeekk..."
"Kenapa lo?"
Arie menggelengkan kepalanya tanda tak tau. Ia sering mual setiap pagi selama sebulan ini. Perutnya juga sedikit lebih besar. Mungkin karena akhir-akhir ini nafsu makannya bertambah.
"Gue kenapa ya bor? Mual banget tiap pagi." Arie berjalan keluar dari toilet lalu duduk di meja belajarnya.
Setelah satu bulan kepindahan, ia mulai terbiasa dengan suasana baru. Anak-anaknya juga ternyata lebih baik dari yang ia kira.
Kadang mereka merokok bersama di samping asrama. Banyak kenakalan menyenangkan yang membuat Arie nyaman disini.
Ternyata kepindahannya bukan hal yang buruk.
"Kalo kata gue, lo cek deh. Memang belakangan ini lo aneh sih." Saran Janu. Teman sekamarnya yang gemar belajar. Janu lah yang paling pintar diantara ke empat orang persahabatan ini.
"Belakangan gimana, orang dia aja baru pindah bulan lalu. Sokab banget lo, najis." Esa melempar bantal tepat ke muka Janu seraya cengengesan.
"Ya dia sendiri juga ngerasa aneh belakangan ini. Berarti memang gejala baru, goblok." Janu membalas dengan lemparan bantal yang lebih kuat.
"Lo homesick kali. Kangen bokap ya?" Ejek Boris.
"Najis, mending gue disini," balas Arie. Ia sibuk mengusap perutnya yang tak nyaman.
"Eeunghhhh.. Hmphh! Minggir minggir!" Arie membekap mulutnya. Ia kembali berlari ke toilet yang tak begitu luas diujung ruangan.
"Hoeekkk ughh.. Hoeekk.."
"Ke dokter sana, jijik gue dengernya anjing. Jadi ikut mual." Esa bergidik jijik.
.
.
.Beberapa bulan berlalu. Gejala mual Arie sudah sembuh, dan ia tengah disibukan dengan kegiatan sekolahnya.
Walaupun ia tidak terlalu mempedulikannya, namun ternyata ia cukup kewalahan dengan tugas yang menumpuk.Tangannya pegal karena harus menyalin tugas dari ketua kelasnya dengan kecepatan maksimal sebelum bel masuk berbunyi.
Namun beda dari hari biasanya, hari ini ia merasa letih sekali. Tubuhnya terasa lemas beberapa hari ini.