00.02 Time | String

347 36 6
                                    


 ❝Melebur seperti untaian cahaya. Membeku layaknya sebongkah es. Asa yang kian membara, menjadi sebilah pedang yang sedia mengoyak. Rongga dalam darah semakin hampa, menginginkan sebuah jarum mencumbunya.

─── Gempa Galan Ravindra ───

─── Gempa Galan Ravindra ───

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⋆☽◯☾⋆

Sayup-sayup mengalun nada dari bibir semerah cherry dengan philtrum yang tajam. Nada-nada tak beratur yang ia senandungkan terdengar sangat indah untuk orang yang mendengarnya. Sesuatu membuat hatinya begitu berbunga, bahkan senyum manis tak memudar sejak beberapa jam yang lalu.

Aksara yang ia tenun dengan bait indah telah berhasil menjadi pengaruh dalam sebuah ¹propaganda. Kenyataannya, yang ia targetkan ternyata memiliki emosional sangat lemah dan tak ada pagar yang membatasi kepercayaan. Karna itulah, alur permainannya begitu mudah mengelabui. Jika saja tidak banyak orang bodoh, maka bisa dipastikan propaganda itu tak akan berhasil.

"Yang Mulia tampak bahagia. Sepertinya ujung panah anda tepat pada sasaran." seorang gadis berseru, membuat senyumannya semakin mengembang. Manik tanzanite itu menatap ke luar jendela. Tangan kanan gemulai nya menopang dagu, sedangkan tangan kirinya melipat di atas meja dengan telunjuk yang mengetuk pelan. "Haruskah saya menyampaikan pesan anda, Yang Mulia?"

"Pesan? Tidak perlu. Aku akan menemuinya langsung." Dengan anggun ia bangkit. Mengambil secarik kertas yang ada di meja dan membaca setiap kata yang tertera. Bulan sabit kecil terukir di bibirnya. Puas dengan imbalan yang akan di dapatkannya. "Kita berangkat sekarang,"

"Tapi Yang Mulia —" Manik tanzanite indah itu menatap tajam kala mendengar kalimat yang tidak disukainya, " Ma-maksud saya ... baik Yang Mulia."

Tatapannya meneduh. Ujung telunjuk kanannya meraih pelan dagu gadis itu, membuatnya terpaksa mendongak, tetapi enggan melakukan kontak mata. "Tatap mataku, Zura."

Suaranya yang lembut serta mengintimidasi itu, membuat Zura tak berkutik. Tegang ia rasakan kala menatap mata itu. "Indah ... ARGHH ...." teriaknya terduduk merasakan nyeri di dadanya. Sakit, seolah tertusuk puluhan pisau tajam.

"Itu peringatan untukmu, sayang," tukasnya lalu melangkah menjauh di ikuti beberapa pelayan. Meninggalkan Zura yang tampak tersiksa akan rasa sakit di jantungnya. "Ya-Yang ... M-Mu-lia ...." Manik Zura perlahan meredup. Tangannya terulur memohon ampunan pada tuannya. Rsa sakit kian menjalar, selayaknya di kuliti hidup-hidup. Kegelapan perlahan menjemput dan ia menghembuskan nafas terakhirnya.

⋆☽◯☾⋆

Hali masih tetap dalam situasi rumitnya. Langkahnya mengendap-endap, dari satu batu ke batu lain. Berusaha menghindari serangan. "Oh Tuhan, ujian darimu melebihi tingkat kesulitan ujian matematikaku," lirihnya, mengeluh. ²"Βγες έξω αντιγραφέα!! Μην κρύβεσαι σαν δειλός πίθηκος!!" Hali semakin menegang mendengar teriakan marah pemuda itu. Tetap saja, ia tak dapat memahami bahasanya. Ia sedikit melongokkan kepalanya. Tampak pemuda biru itu memunggunginya dengan panah yang siap di lontarkan.

The Eldest Brother's Odyssey [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang