Bab 12 : Langkah Menuju Kesembuhan

35 14 2
                                    

Happy Reading Yaaa!! 😊📚
___•___

Sejak hari perpisahan itu, hidup Arka berjalan seperti biasa—setidaknya di mata orang lain. Di luar, ia tetap menjadi Arka yang tegar dan tenang, menjalani hari-hari seperti tak ada yang berubah. Namun, di dalam dirinya, semua terasa berbeda. Rasanya seperti ada lubang besar yang tidak bisa diisi dengan apapun. Setiap pagi ia masih bangun dengan rutinitas yang sama—berangkat ke sekolah, bertemu teman-teman, beraktivitas. Tapi dalam setiap jeda, ketika pikirannya beristirahat, bayang-bayang Laura selalu muncul, menghantui di setiap sudut ingatan.

Suatu sore, setelah main bulu tangkis, Arka dan Bima duduk di tribun sekolah. Bima, yang sudah menjadi sahabat Arka sejak awal masuk SMA, bisa membaca semua dari sorot mata temannya.

"Bisa lihat dari cara lo diem," kata Bima sambil menatap Arka, suaranya penuh keprihatinan. "Semuanya baik-baik aja, kan, Ka?"

Arka menghela napas panjang, matanya menatap jauh ke lapangan yang kini sepi. Raket yang ada di tangannya terus ia putar-putar, seolah mencoba mengalihkan pikirannya. "Baik, Bim. Tapi ya... agak berat aja," jawabnya dengan suara yang nyaris pelan.

Bima hanya mengangguk paham. "Gue ngerti. Gue tahu lo lagi coba ngelupain Laura, tapi lo gak perlu ngerjain semua sendiri, Ka. Gue ada di sini."

Arka tersenyum kecil, meskipun senyum itu terasa berat. "Gue tahu, Bim. Gue cuma butuh waktu."

"Tentu, tapi jangan sampai lo nyiksa diri sendiri," kata Bima sambil menepuk bahu Arka. "Gue punya ide. Gimana kalau weekend ini kita cabut? Jalan-jalan ke tempat baru, sekadar cari udara segar. Siapa tahu bisa bantu lo buat move on."

Arka terdiam sejenak, mempertimbangkan usulan sahabatnya itu. Kemudian dia mengangguk pelan. "Boleh juga ide lo, Bim. Mungkin memang udah saatnya gue keluar dari bayang-bayang ini."

👑

Sementara itu, di tempat lain, Laura duduk termenung di kamarnya. Ponsel di tangannya terasa berat, meski layarnya kosong. Segala kenangan tentang Arka terus berputar di kepalanya, membuatnya tak bisa fokus pada apa pun. Di balik rasa sakit itu, dia sadar bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang masih terperangkap di masa lalu.

Malam itu, Maya, kakak sepupunya, mengetuk pintu sebelum masuk ke kamar Laura. "Kamu belum tidur?" Maya bertanya dengan lembut.

Laura menggeleng, menatap Maya dengan mata yang sedikit merah karena kelelahan. "Enggak, Kak. Aku cuma masih mikirin Arka."

Maya duduk di tepi ranjang, menatap adik sepupunya penuh empati. "Aku tahu ini berat buat kamu, Ra. Tapi kamu harus belajar berdamai dengan masa lalu. Gak adil buat kamu dan juga buat Arka kalau kamu terus terjebak di sana."

Laura menghela napas panjang, lalu menundukkan kepala. "Aku gak tahu caranya, Kak. Setiap kali aku coba melupakan, kenangan itu malah makin kuat. Rasanya seperti aku... gagal."

Maya merangkul Laura erat, memberikan dukungan yang tulus. "Kamu gak harus hadapi semuanya sendirian, Ra. Mungkin kamu butuh bicara dengan seseorang yang profesional. Aku bisa bantu cari konselor, kalau kamu mau."

Air mata mulai menggenang di mata Laura, tapi kali ini bukan karena rasa sakit, melainkan karena rasa lega yang perlahan merayapi hatinya. "Aku akan coba, Kak. Mungkin memang sudah saatnya aku berhenti lari."

Maya tersenyum lembut, menepuk punggung adik sepupunya. "Kamu gak sendiri, Ra. Aku di sini. Selalu."

👑

Hari Sabtu tiba, dan sesuai rencana, Bima mengajak Arka pergi ke sebuah pantai tersembunyi di pinggiran kota—tempat yang jarang dikunjungi orang. Angin laut yang lembut menyapu wajah mereka, sementara suara deburan ombak memberikan ketenangan yang selama ini Arka cari. Laut di depan mereka seolah tanpa batas, seakan menggambarkan luasnya dunia yang masih harus dijelajahi Arka.

"Tempat ini cukup keren, ya?" ujar Bima sambil menghirup udara segar. "Gue yakin lo bakal suka."

Arka tersenyum tipis, matanya masih menatap jauh ke horizon. "Iya, Bim. Gue rasa ini yang gue butuhin. Jauh dari semua... biar gue bisa mikir lebih jernih."

Bima mengangguk setuju. "Kadang, kita emang butuh waktu sendiri. Tapi ingat, Ka, jangan sampai lo menutup diri terus. Semua temen lo peduli sama lo. Mereka semua nunggu lo balik jadi Arka yang biasa."

Arka menatap Bima, kali ini dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Makasih, Bim. Lo selalu tahu apa yang gue butuhin. Gue janji, gue bakal coba lebih keras buat move on."

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Arka merasakan beban di hatinya sedikit terangkat. Dia tahu perjalanan menuju penyembuhan masih panjang, tapi setidaknya, untuk hari ini, dia sudah mengambil langkah pertamanya.

👑

Di sisi lain, Laura juga memulai perjalanannya. Setelah perbincangan dengan Maya, ia akhirnya menemui konselor yang direkomendasikan kakaknya—Dr. Rina Hariani. Pada awalnya, Laura merasa kaku dan canggung saat duduk di hadapan konselor itu. Namun, seiring berjalannya waktu, dia mulai membuka diri, berbicara tentang masa lalunya yang terus menghantui dan bagaimana kenangan itu mempengaruhi hubungannya dengan Arka.

"Kamu harus belajar untuk memaafkan dirimu sendiri, Laura," kata Dr. Rina dengan suara lembut namun penuh makna. "Masa lalu memang tidak bisa diubah, tapi kamu bisa memilih bagaimana masa depanmu."

Laura terdiam, merenungkan kata-kata tersebut. Di dalam hatinya, dia tahu Dr. Rina benar. Perlahan, dia mengangguk, meskipun keraguan masih membayangi hatinya. "Aku akan coba, Bu. Aku ingin belajar mencintai diriku sendiri lagi."

Dr. Rina tersenyum, memberikan rasa tenang yang menenangkan hati Laura. "Itu langkah yang baik, Laura. Jangan terburu-buru, biarkan semuanya berjalan dengan waktu. Yang penting, jangan takut untuk terus maju."

Cerita ini berakhir dengan Arka dan Laura yang berjalan di jalan masing-masing, mencoba menyusun kembali kepingan-kepingan hati yang pecah. Meskipun mereka tak lagi bersama, perjalanan untuk menemukan diri mereka sendiri membawa harapan baru untuk masa depan yang lebih baik.

JANGAN LUPA VOTE!

KISAH TANPA DIRIMU (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang