chap 5

88 12 1
                                    

Chapter 5: Di Balik Tirai Rahasia

Pagi berikutnya, dorm NCT DREAM dipenuhi dengan keheningan yang tidak biasa. Setelah percakapan malam sebelumnya, para member berusaha menjaga suasana hati Haechan tetap ringan, meskipun kekhawatiran masih menggantung di udara. Mereka memutuskan untuk tidak menekan Haechan lebih lanjut, memberikan dia ruang untuk bernapas dan bersiap menghadapi apa yang akan datang.

Namun, Renjun tahu bahwa waktu adalah hal yang tak boleh diabaikan. Ia mengatur pertemuan dengan manajer tim, membicarakan kondisi Haechan tanpa membuatnya merasa terpojok. Dengan dukungan dari semua member, manajer setuju untuk mengatur pemeriksaan medis secepat mungkin, tanpa memberi tekanan berlebih pada Haechan.

Pagi itu, Haechan duduk di ruang latihan, ditemani Renjun, Jeno, Jaemin, Chenle, dan Jisung. Mereka berpura-pura latihan biasa, tapi sebenarnya semua mata terfokus pada Haechan. Setiap kali ia menunjukkan tanda-tanda kelelahan, mereka berusaha membuatnya istirahat sejenak, meskipun Haechan terus bersikeras bahwa ia baik-baik saja.

Setelah beberapa jam berlatih, pintu ruang latihan terbuka, dan manajer mereka masuk dengan wajah serius namun lembut. Ia mengangguk kepada para member sebelum memanggil Haechan untuk bicara secara pribadi. Melihat hal ini, hati Haechan mulai berdegup kencang, perasaan cemas kembali merayap ke dalam dirinya.

“Kau akan baik-baik saja,” bisik Renjun, memberikan senyuman yang menenangkan sebelum Haechan melangkah keluar dari ruangan.

Di dalam ruang kecil yang dipenuhi poster-poster jadwal latihan, manajer mereka berbicara dengan Haechan tentang pentingnya kesehatan dan kesejahteraannya. Haechan mendengarkan dengan saksama, mengetahui bahwa para member pasti telah berbicara dengan manajer tentang kekhawatiran mereka. Ia merasa terharu sekaligus terbebani oleh perhatian yang diberikan, tetapi ia juga menyadari bahwa tidak ada jalan lain kecuali menghadapi kenyataan ini.

“Kami sudah mengatur pemeriksaan untukmu sore ini, Haechan,” kata manajer, suaranya penuh pengertian. “Kau tidak perlu merasa terbebani. Semua ini demi kebaikanmu.”

Haechan mengangguk, meski perasaan takut dan cemas masih menyelimuti pikirannya. Ia merasa tubuhnya mulai terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah-olah bebannya semakin bertambah. Namun, di balik ketakutan itu, ada juga rasa lega—lega karena ia akhirnya akan mendapatkan jawaban atas apa yang selama ini mengganggunya.

Saat kembali ke ruang latihan, Haechan mencoba menenangkan diri. Para member menatapnya dengan penuh harap, menunggu kabar apa yang ia bawa.

“Aku akan melakukan pemeriksaan sore ini,” ucap Haechan dengan suara rendah. “Terima kasih karena telah peduli padaku.”

Ucapan Haechan disambut dengan senyuman dan anggukan dari para member. Mereka tahu ini bukan langkah yang mudah bagi Haechan, tetapi mereka juga tahu bahwa ini adalah langkah yang sangat penting.

***

Sore itu, Haechan, ditemani Renjun dan manajer, pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan. Mereka disambut oleh dokter yang berpengalaman, yang segera memulai serangkaian tes. Renjun menunggu di ruang tunggu dengan jantung berdebar-debar, berusaha mengendalikan kegelisahannya.

Waktu terasa berjalan lambat saat Haechan menjalani berbagai pemeriksaan. Setiap menit terasa seperti jam, dan setiap suara langkah kaki di koridor membuat jantung Renjun semakin kencang. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Haechan saat ini, tapi ia tahu bahwa ia harus kuat, demi sahabatnya.

Ketika akhirnya Haechan kembali ke ruang tunggu, wajahnya tampak lebih pucat daripada sebelumnya. Renjun langsung berdiri, mencoba membaca ekspresi sahabatnya itu.

“Apa yang mereka katakan?” tanya Renjun, suaranya penuh kecemasan.

Haechan menghela napas panjang, menatap Renjun dengan mata yang penuh ketidakpastian. “Mereka mengatakan aku harus menunggu hasilnya… tapi… mereka juga mengatakan bahwa ada kemungkinan sesuatu yang serius.”

Renjun merasakan dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Namun, ia mencoba tetap tenang, tidak ingin memperparah ketakutan Haechan. “Apa pun hasilnya, kita akan menghadapinya bersama,” kata Renjun, suaranya terdengar mantap. “Kau tidak sendiri, Haechan.”

Haechan hanya bisa mengangguk, mencoba untuk mempercayai kata-kata Renjun. Namun, bayangan ketakutan yang telah menghantuinya selama ini semakin nyata. Perasaan tak berdaya mulai merayap dalam hatinya, tapi di sisi lain, ia juga merasa sedikit lebih kuat karena dukungan yang terus-menerus diberikan oleh teman-temannya.

***

Malam itu, setelah kembali ke dorm, para member menunggu kabar dari Haechan. Mereka berkumpul di ruang tengah, menunggu dengan cemas. Ketika Renjun dan Haechan tiba, semua mata tertuju pada mereka.

“Bagaimana hasilnya?” tanya Jisung, yang biasanya pendiam, dengan nada penuh kekhawatiran.

“Kami harus menunggu hasil tesnya,” jawab Haechan pelan. “Mungkin butuh beberapa hari…”

Para member saling pandang, mereka semua tahu bahwa menunggu adalah hal yang paling sulit. Namun, mereka juga tahu bahwa yang terbaik yang bisa mereka lakukan sekarang adalah berada di samping Haechan, memberikan dukungan dan kekuatan.

“Tidak peduli apa pun hasilnya,” kata Jeno akhirnya, “Kita akan melewati ini bersama-sama.”

Dengan tekad yang baru, para member NCT DREAM memutuskan untuk terus melanjutkan aktivitas mereka seperti biasa, tapi dengan lebih banyak perhatian kepada Haechan. Setiap gerak-gerik, setiap ekspresi Haechan, kini menjadi sesuatu yang mereka perhatikan dengan saksama. Mereka berusaha membuat Haechan tetap merasa normal, meskipun di balik senyum dan tawa, ada ketakutan yang menghantui.

Renjun, yang paling dekat dengan Haechan, terus berusaha menjadi tempat di mana Haechan bisa bersandar. Ia tahu betapa beratnya beban yang dirasakan oleh sahabatnya, dan ia bersumpah untuk tidak meninggalkan Haechan dalam situasi seperti ini. Baginya, persahabatan mereka lebih dari sekadar kebersamaan di atas panggung—ini adalah tentang hidup dan mati, tentang mendukung satu sama lain, apa pun yang terjadi.

Di tengah malam, saat semua member sudah terlelap, Haechan duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Bayangan ketakutan terus menghantuinya, tapi ia juga merasakan kehangatan dari dukungan teman-temannya. Ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, ia tidak akan menghadapi ini sendirian.

Renjun, yang terbangun dan menyadari bahwa Haechan tidak ada di tempat tidur, mendekatinya pelan-pelan. Tanpa berkata-kata, ia duduk di samping Haechan, membiarkan keheningan menyelimuti mereka berdua. Di saat seperti ini, kata-kata tidak lagi diperlukan—kehadiran mereka satu sama lain sudah cukup untuk memberikan ketenangan.

Waktu terus berjalan, dan meskipun ketakutan masih mengintai di sudut hati mereka, Haechan dan Renjun tahu bahwa mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Di tengah bayangan gelap yang menggantung, mereka menemukan cahaya—cahaya persahabatan yang tak pernah padam.

---

senyum trakhir haechan{END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang