2

660 60 1
                                    

Dua minggu kemudian.

“Halo, iya Ma?” sapa Sean dari ponselnya.

“Kau tidak ada jadwal operasi hari ini kan?” tanya ibunya dari seberang telepon.

“Tidak, aku bisa pulang seperti biasa.”

“Baguslah, kita akan kedatangan tamu. Kuharap kau sudah sampai rumah saat makan malam.”

“Mm. Aku akan datang tepat waktu.”

Pembicaraan itu diakhiri oleh Sean. Di waktu luangnya, ia memilih untuk membuka kembali catatan-catatan lamanya agar ingatannya selalu segar. Menangani kasus penyakit di Bei An memang tidak separah ketika ia masih berada di Nan Yang. Tidak ada kasus yang terlalu aneh.

Meskipun begitu, matanya yang memandangi buku tapi yang ia lihat adalah wajah cemberut polisi yang waktu itu terluka. Ia tertawa kecil. Pandangannya dialihkan ke keramaian kota Bei An yang terlihat dari jendela ruangannya.

Semoga bukan perjodohan lagi, gumamnya pelan.


Sementara di lain tempat, polisi cemberut itu masih saja cemberut. Bedanya kali ini ia menghadap ke arah komputer.

“Kau sakit?” kata Detektif Liu mengagetkannya.

“Apa? Tidak! Aku sangat sehat!” jawab Wang Yibo dengan tegas.

Detektif Liu menyeruput kopi di tangannya pelan. “Lalu siapa yang sakit?” lanjutnya.

“Tidak ada. Apa senior berharap aku sakit?” kata Yibo mencoba berspekulasi.

“Tidak. Tapi apa ini? Dokter jantung terbaik di Bei An. Peraih GPA tertinggi Bei An Medical University. Dokter jantung RS. Nan Yang—“

“SSHHH, tolong jangan dilanjutkan,” sela Yibo menghentikan Detektif Liu dari menyebutkan semua pencariannya.

“M-memangnya kenapa?”

“Aku sedang menyelidiki seseorang,” jawab Yibo pelan.

“Atau menguntit orang dengan cara yang payah,” tambah Ji Li dari divisi keamanan siber yang kebetulan perlu meletakkan berkas di meja Wang Yibo.

“Aku tidak menguntit,” kata Yibo panik.

“Berani taruhan? Di luar jam kerja kau selalu— mmmm!”

Yibo menutup mulut Ji Li. Detektif Liu yang masih mencerna semua ini meleraikan mereka dan menganggap itu semua hanya bercanda. Untungnya ponsel Yibo berbunyi dan menghentikan perdebatannya dengan Ji Li.

“Halo, Ibu.”

“Bisa.”

“Siapa?”

“Oh, baik. Baiklah.”

“Yaa. Daaah.”

Aku kadang menyesal tidak ambil lembur, gumam Yibo sambil menghela napas.

Pertemuan keluarga. Instingnya mengatakan sesuatu akan terjadi, tapi ia tidak tahu itu baik atau buruk. Kali ini ia tak bisa menghindar karena sudah meng-iya-kan permintaan ibunya.

Sore itu ia pulang dengan perasaan yang sangat ganjil. Ia memasuki rumah dengan ayah yang sedang mandi di belakang dan ibu yang sedang berdandan.

“Tumben agak menor, biasanya jarang dandan,” katanya setelah melewati kamar ibunya.

Ia mandi dengan cepat dan berganti pakaian yang lebih semi formal. Ia bertanya-tanya apakah kali ini ada gadis yang menggoda ibu sehingga ibu menyeretnya ke dalam semua masalah ini.

“Semoga bukan itu. Aku sudah lelah sekali.”

Yibo belum ingin bicara soal kencan dan menikah. Itu masalah yang berat. Lebih berat daripada meringkus jaringan narkoba yang mereka antisipasi. Lagipula tidak ada gadis yang menurutnya menarik hatinya lebih baik daripada pekerjaannya.

Tuan Wang yang merupakan ayah Yibo memastikan semuanya sudah siap dan menutup apotek mereka lebih awal hari ini. Yibo yang turun terakhir mengunci rumah dan memanasi mobil mereka.

“Ayah, kita mau ke mana?”  tanya Yibo kepada Tuan Wang.

“Aku akan mengenalkanmu kepada seorang rekan lama. Akan kutunjukkan jalannya.”

Wang Yibo memacu kendaraannya dengan santai. Dengan petunjuk arah dari ayahnya, mereka menuju ke kawasan perumahan elit di timur kota Bei An.

“Kita sudah sampai. Bersikaplah baik Yibo,” kata Tuan Wang.

Mereka turun di depan sebuah rumah besar dan terlihat megah. Semua temboknya putih bersih. Taman bunganya berwarna-warni, dan ada sebuah pohon magnolia yang indah di tengahnya.

Yibo mengamati semua itu sembari menunggu mereka dibukakan pintu. Ibunya terlihat beberapa kali memeriksa tatanan rambutnya.

“Ah, selamat datang Tuan Wang, Nyonya Wang, dan… Ah, ini pasti Wang Bo-bo yang pernah kalian ceritakan itu,” kata seorang wanita yang usianya sedikit lebih tua daripada ibu Yibo.

“Benar, ini putra kami, Wang Yibo,” balas Tuan Wang dengan senyum bangga.

“Selamat sore, Nyonya,” sapa Yibo dengan sedikit senyum bersahabat.

“Wah, putramu ini tampan sekali. Mungkin akan akur dengan putra kami. Mari masuk,” kata Nyonya itu mempersilakan.

Mereka langsung menuju ke arah ruang makan di tengah. Sebuah ruangan luas untuk delapan orang di meja makan. Ada berbagai ornamen yang membuat kesan mewah di setiap sudut ruangan. Tampak pula foto jadul keluarga Xiao terpasang di salah satu sisi dindingnya.

“Silakan, silakan. Aku akan memanggil suami dan putraku.”

Yibo dan keluarganya duduk sejenak sebelum tuan rumah bergabung dengan mereka. Tak lama kemudian, nyonya dan tuan rumah kembali ke ruang makan. Mereka menyapa para tamu hari ini dan saling berbincang-bincang akrab sebelum putra mereka bergabung.

“Pak Wang, lihat Bo-bo kalian sudah menjadi pemuda yang tampan,” puji sang tuan rumah. Yibo hanya tersenyum sopan kepada mereka.

“Ahahaha, pujian Tuan Xiao agak berlebihan. Bo-bo kami terlihat sudah dewasa ketika bekerja, tapi masih seperti anak kecil di rumah,” ujar ayah Yibo.

“Oh ya? Tapi kurasa putramu dan putraku akan punya hubungan yang baik,” kata tuan rumah. “Istriku, apa anak kita belum pulang?” bisik sang tuan rumah.

“Zhanzhan masih mandi, mungkin sebentar lagi kemari,” jawab sang nyonya dengan berbisik.

Tak lama, seorang pria dengan celana panjang dan sweater krem muncul sambil membawa satu teko penuh berisi jus jeruk. “Papa, Mama, maaf aku baru selesai.”

Suara itu?

Wang Yibo mengalihkan pandangannya dari satu mangkuk sup ke sumber suara itu. Tak disangka, pria itu sedang memicingkan mata menatap Yibo.

“KAU?!”

Mereka berdua agak terpekik bersamaan. Siapa sangka polisi manyun itu sedang ada di rumahnya dan membawa orangtuanya.

“Zhanzhan, kau sudah saling kenal dengan Bo-bo? Wah, ini luarbiasa sekali, ternyata mereka sudah akrab,” kata Nyonya Xiao.

“Ti-tidak juga, aku cuma kebetulan mengobati lukanya.”

Pria yang dipanggil Zhanzhan itu mencoba membuat suasana tidak garing. Ia memilih duduk di samping ibunya dan meletakkan teko berisi jus jeruk itu. Mereka memulai makan malam dan hanya ayah Yibo dan ayah dr. Sean yang saling berbicara. Lainnya menanggapi dengan tawa kecil dan jawaban ringan.

“Xiao Zhan, benarkan kau pernah mengobati lukanya Yibo?” tanya ayah Yibo kepada dr. Sean.

“Ah, itu benar, sekitar beberapa minggu yang lalu.”

“Maaf, tapi, kenapa bisa sampai terluka?” tanya Nyonya Xiao.

“Umm, itu… tuntutan pekerjaan. Kadang kami terpaksa melakukan hal berbahaya juga,” jawab Yibo.

Ia berharap Sean tidak mempedulikannya, tapi di sisi lain ia sangat ingin dianggap keren oleh pria dengan wajah manis itu.

“Zhanzhan kami pasti aman jika bersama Yibo,” kata Nyonya Xiao.

“UHUK‼”

Sean tersedak oleh sayuran—tidak— sebenarnya tersedak karena kata-kata ibunya. Ia langsung meminum air putih di dekatnya. Yibo terkejut tapi memilih untuk menahan dirinya dengan ketat.
Ini misi yang sulit, batin Yibo. Tapi sedetik kemudian, akal bulusnya untuk mendekati Sean kembali muncul.

“Mm, karena kami baru saling mengenal, mungkin saya bisa minta kontak dr. Sean,” kata Yibo dengan wajah tengilnya.

Sean memicingkan mata, lalu mencoba menjawab dengan tenang. “Silakan hubungi RS. Bei An dan tujukan pada dokter jantung.”

“Zhanzhan, jangan begitu. Kita ini sudah sangat dekat, berikan nomor pribadimu,” omel ibu Xiao Zhan.

“Baiklah, nanti akan kuberikan. Ponselku ada di atas,” jawab Sean pasrah.

Ibu Xiao Zhan tersenyum. “Nah, Bo-bo, hubungilah Zhanzhan kami,” katanya.

Wang Yibo tersenyum kembali pada wanita paruh baya itu dan menganggukkan kepala. Ia melirik dr. Sean yang terfokus pada makanannya dan enggan melihatnya.

Dua jam kemudian, akhirnya mereka selesai makan malam dan berbincang-bincang. Sean merasa kesal karena ibunya telah memberikan nomor ponselnya kepada Wang Yibo, tapi ibunya tidak mau mendengarkannya.

“Ma, Detektif Wang itu orangnya menyebalkan. Kenapa Mama memberikan nomer ponselku kepadanya?” gerutu Xiao Zhan.

“Sshh. Kau ini selalu saja. Kau kan belum kenal betul dengan Wang Yibo. Lagipula kan, bagus jika kita punya koneksi dengan kepolisian,” jawab ibunya.

Xiao Zhan mendengus kesal. Ia mencuci piring-piringnya  dengan cemberut. Ia tidak mengerti mengapa ibunya lebih membela Wang Yibo daripada dirinya.

“Zhan,” panggil ayahnya ketika ia sudah hampir selesai mencuci piring. Pria yang mulai menua itu berdiri di dekat meja dapur.

“Hmm…” sahut Zhan dengan sedikit kesal.

“Jika putra keluarga Wang itu tidak baik untukmu, kami akan membebaskanmu,” kata ayahnya dengan pasrah.

Xiao Zhan yang mendengar penuturan ayahnya itu menghela napas. Ia tak bisa melawan lagi. Orangtuanya berharap besar kepadanya agar ia bersama Detektif Wang.

Ia tak sedang ingin memikirkan ini semua. Tapi ini ulah Wang Yibo yang tak tahu malu itu.

“Baik. Aku akan mencobanya,” kata Zhan dengan pasrah.

Oh My Heart!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang