5

354 42 2
                                    

“Apa kau pernah punya pacar?” tanya Zhan tiba-tiba.

“Eh?” Yibo membuyarkan keterpanaannya dan kembali ke dunia nyata. “Aku… aku tidak pernah punya pacar sih,” jawab Yibo jujur. Dalam hatinya, terbesit rasa penasaran, apakah gege manis ini sudah pernah pacaran dengan seseorang.

“Wah? Aku tidak percaya,” ujar Zhan meledeknya. “Pasti kau setidaknya punya seseorang yang kau sukai, yah, setidaknya sekali,” lanjutnya.

Yibo mencoba mengingat-ingat kembali. Sepertinya umurnya masih belasan tahun waktu itu.

“Sepertinya waktu itu aku kelas 2 SMP. Aku sering bermain skateboard di sekitar komplek kampus Bei An. Lalu aku melihat seorang gege manis dengan kacamata tebal yang setiap hari belajar di taman itu. Kadang-kadang, ia belajar bersama beberapa orang dan sepertinya menjelaskan sesuatu yang sulit,” ujar Yibo.

“Hmm, lalu bagaimana? Kalian pernah berinteraksi langsung?” tanya Zhan penasaran.

“Haha, aku diam-diam mengaguminya dan mulai rajin belajar walaupun hanya ikut-ikutan. Berharap aku jadi sekeren dirinya. Aku terus memperhatikannya walaupun tidak benar-benar tahu siapa dia dan aku semakin menyukai belajar karena ia terlihat bahagia ketika sedang belajar dan menjelaskan. Lalu aku tak pernah bertemu lagi dengannya dan kukira dia tak akan kembali ke Bei An,” lanjut Yibo.

“Aku hampir melupakannya ketika masuk akademi dan menjadi polisi beberapa tahun ini. Sampai beberapa minggu yang lalu, ia menabrak lenganku yang terluka dan mengobatinya, aku baru sadar jika aku bertemu dengannya lagi. Dia ternyata menjadi dokter dengan reputasi hebat dan wajahnya semakin manis daripada yang terakhir kali kuingat. Aku baru bisa melihat detil wajahnya ketika ia mengobati lebam di wajahku.”

“Mm… memangnya nggak ada gadis yang menyatakan perasaannya padamu samasekali selama ini?” tanya Zhan.

“Hm, ada sih. Tapi saat itu aku tidak yakin dengan perasaanku. Jika aku menerimanya, rasanya aku terpaksa. Aku tidak suka ragu dan keterpaksaan itu. Aku cuma tenang ketika aku melihat Gege kuliahan itu, dan itu membuatku tak peduli pada yang lain.”

Zhan terperangah mendengar cerita Yibo. Ia menyadari ada yang melunak dalam batinnya. Ternyata sudah sangat lama sekali Wang Yibo memperhatikannya.

“Ah, lalu… Zhan-ge, apakah pernah punya kekasih?” tanya Yibo dengan semberono.

Yibo baru saja mengungkapkan isi hatinya, tapi rasa penasaran yang tidak bisa ditahannya membuat ia harus bersiap dengan jawaban yang mungkin tidak diharapkannya.

“Aku… pacaran dengan buku-bukuku, lalu tugas-tugasku. Haha. Aku tak sempat pacaran. Aku hampir gila dengan Gaokao dan menghadapi sepuluh tahun ke belakang ini dengan sangat serius untuk memperbaiki taraf hidup keluargaku. Jadi… aku juga tak sempat pacaran,” jawab Zhan dengan ringan.

Ia tak ingin menceritakan tentang Hua Moran karena memang Moran hanyalah teman baginya. Selain itu, menceritakan perempuan kepada pria muda di depannya ini mungkin bisa menyakiti hatinya.

“Kau tahu, sebenarnya orangtuaku mulai sering mencoba menjodohkanku di akhir umur 20-an. Tapi aku sungguh kelelahan dan tidak mau seperti teman-temanku yang harus bertengkar dengan kekasihnya karena tak ada waktu. Makanya aku memilih pulang ke Bei An agar bisa sedikit beristirahat,” lanjutnya.

Wang Yibo menghela napas lega secara perlahan agar tidak kentara oleh Xiao Zhan. Ternyata mereka berdua sama saja meskipun alasannya berbeda. Meskipun begitu, ia tetap berusaha untuk mendapatkan hati kelinci manis ini dengan baik.

“Jadi… kau menyukaiku?” tanya Xiao Zhan tiba-tiba.

“Ya, maksudku, tidak, tapi… maksudku, iya aku menyukaimu tapi tentu saja bukan berarti aku bisa langsung menerobos hidupmu, yah, kuharap Gege paham maksudku…,” jawabnya dengan gelagapan.

“Aku paham kok. Jadi kau sudah mengerti perasaanmu dengan jelas, hm?”

“Yah, sepertinya begitu sih.”

“Keluargamu bagaimana tanggapannya?”

“Mereka baik-baik saja. Buktinya saja kita dijodohkan seperti ini.”

“Iya juga ya. Maaf, aku lupa.”

“Yah, Zhan-ge kan memang lebih tua dariku, jadi— Aiyah! Kenapa memukul?”

Zhan memukul lengan Yibo yang tidak memegang sumpit. Ia kesal karena Yibo membuatnya seakan-akan jauh lebih tua—walaupun itu kenyataannya. Ia memanyunkan bibir dan menghabiskan makanan dengan cemberut.

“Maafkan aku, Zhan-ge…” kata Yibo memelas.

“Tidak mau.”

“Kau cemberut begitu, bukannya jadi seram malah semakin manis,” kata Yibo merayu.

“Simpan saja gombalan remehmu itu, Wang Yibo,” ujar Zhan dengan helaan napas kesal.

Sialan, gombalan Ji Li tidak ada gunanya ternyata, batin Yibo. Ia memutar otak kembali agar Xiao Zhan tidak marah padanya lagi.

“Mau main wahana lagi?” tanya Wang Yibo.

“Kau serius?” tanya Zhan. Yibo mengangguk dengan pasti.

“Baiklah. Ayo ke Terowongan Hantu.”

“Apa tidak ada—“

“Kenapa? Takut? Kalau tidak mau, ya sudah, aku sendiri juga—“

“Baiklah, baiklah. Ayo kita ke Terowongan Hantu.”

Ini namanya mimpi buruk menjadi nyata, batin Yibo. Badan kekar dan keberaniannya untuk melawan penjahat seketika menciut dan hilang ketika membayangkan Terowongan Hantu. Ditambah lagi hal ini akan menjadi memalukan kalau Zhan mengetahuinya dan menertawakannya. Sirna sudah imej polisi gagah berani nan tangguh yang berusaha dibangunnya untuk membuat Zhan kagum.

Oh My Heart!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang