13. BP [Telulas ]

73 12 1
                                    

👁👁
Busung_Pocong

***

Gelapnya langit tidak membuat seseorang mengurungkan niatnya, dia berjalan dengan cepat melewati kebun bambu yang tampak suram tanpa penerangan.

Berbekal senter, dia terus membelah kegelapan malam. Gemeresik daun serta derik yang dihasilkan batang-batang bambu tersebut, sempat mencekik nyalinya. Namun, demi mewujudkan nafsu dia rela memilih jalan menikung.

Napasnya memburu, sesekali netranya menelisik sekitar untuk melihat suasana. Hingga tibalah dia di gubuk kecil dengan lentera di kedua sisi pintu.

Samar cegukan burung hantu membuat kuduknya berdiri, pintu mendadak terbuka memperlihatkan lelaki berjenggot dengan udeng membalut kepalanya.

"Opo eneh seng, kok, jaluk?"
(Apa lagi yang kamu minta?)

"Panjenengan pasti sampun semerep opo seng kulo karepno, Mbah," jawabnya dengan raut datar.
(Kamu pasti sudah tau apa yang saya mau, Mbah.)

Mbah Singo, dia dulunya terkenal sebagai anak dukun. Karena beberapa warga Witrandu tidak menerima sikap nyelenehnya, dia lebih memilih tinggal jauh dari pemukiman.

Meskipun begitu, banyak orang-orang yang datang meminta bantuannya. Demi merealisasikan keinginan dengan cara yang lebih mujarap.

"Rene o maneh pas malem jumat kliwon, opo seng kok karepno bakal tak wujudno."
(Kembalilah pada malam Jumat kliwon, apa yang kamu mau akan saya kabulkan.)

"Syaratnya, Mbah?"

"O, yo, jelas onok."
(O, ya, jelas ada)

***

Mbok Nur tampak kesal, dia mondar-mandir di teras sesekali melihat jalan menantikan Endang yang tidak pulang-pulang.

Sesekali dia menggerutu, menyumpah serapahi anak semata wayang yang kelakuannya membuat kepalanya mendidih. Bak sepanci air di atas tungku perapian.

Cukup lama menunggu, hingga yang ditunggu-tunggu tersebut tampak batang hidungnya. Ketika sampai di halaman, lekas Mbok Nur mendekat tidak sabar. Dia menjewer telinga Endang dengan gemas.

"Perawan, dolan ndak moleh-moleh, heh. Tekan endi koe, duwite Emak kok jipok eneh, iyo!"
(Perawan, main tidak pulang-pulang, heh. Dari mana kamu, uang Emak kamu ambil lagi, iya!)

Endang tampak meringis, dia menyentuh tangan Mbok Nur yang menjewer dengan kencang. Agaknya wanita tua itu benar-benar kesal dengan kelakuan anaknya.

"Aduh, Mak. Loro, to, culno sek!" kata Endang. "Iyo, aku seng jupok duwik e!"
(Aduh, Mak. Sakit, lepas dulu! Iya, aku yang ambil uangnya!)

Mbok Nur menatap Endang, emosinya semakin membesar seakan api yang disiram minyak tanah. Dia menghela napas pendek lalu melanjutkan perkataannya, "Kok gae opo duwik e, anggitmu duwek rutuh dewe, ta!"
(Kamu buat apa uangnya, apa kamu kira uang jatuh sendiri)

"Sepurane, Mak, mene tak ijoli," kata Endang membela diri.
(Maaf, Mak, besok aku ganti)

"Kok gae opo, sek, ngaku!"
(Kamu buat apa dulu!)

"Tak gae bayar utang nang Sigit."
(Aku buat bayar utang ke Sigit)

"Utang opo maneh, ndak bujuki kan koe?!"
(Hutang apa lagi tidak bohong kan kamu?!)

"Yo, pokok e utang, Mak, temenan Aku ndak ngapusi, kok," kata Endang.
(Ya, pokoknya utang, Mak, serius Aku tidak bohong.)

Mbok Nur geleng-geleng, dia menjewer dengan gemas telinga anaknya itu."Kelakuanmu koyok bapakmu seh, En, heran aku. Nyapo koe, kok, ndak melu bapakmu nang kuburan kono, hih!"
(Kalakuanmu seperti bapakmu, En, heran aku. Kenapa kamu tidak ikut bapakmu ke kuburan sana, hih!)

Setelah berkata begitu Mbok Nur masuk rumah, sedangkan Endang terlihat mengusap telingannya. Dia menatap ibunya dengan bibir mencebik.

"Melok bapak, melok bapak, emange aku dikongkon mati opo piye, jane!" gerutu Endang, kemudian dia ikut masuk sembari mengusap dadanya. "Untung ae, Emak percoyo."
(Ikut bapak, ikut bapak, memangnya aku disuruh mati apa gimana! Untung saja emak percaya)

***

Karno lekas menuju kamar mandi, membasuh kaki serta tangannya lalu masuk rumah lewat pintu belakang. Ketika berbalik, dia amat sangat terkejut melihat wati berdiri tidak jauh di belakangnya.

"Ngagetno, seh, ah!"
(Ngagetin, saja, sih!)

"Sampean dari mana, Cak?" tanya Wati heran.

Karno menghela napas, dia berjalan ke ruang tengah diikuti Wati. Dia melihat Bagus yang tertidur dengan televisi menyala.

"Yo, kumpul di pos kamling, dari mana memangnya."

"Oh," sahut Wati mengangguk paham. "Tadi Zainul sama Wanto datang cari kamu, sudah ketemu apa belum?"

"Sudah, tadi di pos."

Wati mengangguk, lalu berjalan menuju anaknya untuk dipindahkan ke kamar.

***

👁👁
Busung_Pocong







Jangan lupa vote, ya, teman-teman.

Busung Pocong || Ketika Narsih Dipaksa Melakukan Sumpah PocongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang