04. BP [ Papat ]

162 17 2
                                    

👁👁
Busung_Pocong

***

Kematian Umar yang mendadak membuat warga terkejut, mereka datang ramai-ramai hanya untuk melihat. Letak rumah lelaki itu di barat Musala At-Taqwa, tepatnya masuk gang menuju makam.

Termasuk Simah, anak Haji Ilyas. Tadi dia sempat melihat Umar yang digotong warga, hal itu membuat rasa penasarannya muncul. Tidak lama setelah kepergian sang bapak, dia segera mengikuti dari belakang.

"Sumpah, kemarin siang aku sempat menyapa Umar. Dia tampak biasa saja, ndak seperti orang sakit." Mirah mengatakan dengan menggebu, kemudian menunjuk teman sebelahnya. "Sampean juga di sana, to, Mbak Jum."

Jumiati mengangguk. "Iyo, dekne malah ngasih tebu, yo, Mir. Katanya tadi dikasih orang nebang, di sawah."

"Sek, to, aku masih ndak paham. Ini sebenarnya Umar kenapa, jatuh, apa sakit, apa disembur ulo?"

"Oalah, Mbak Sri lak ndak paham," sahut Mirah, dia kemudian menunjuk Mbok Nur yang ada di ruang tamu. "Kata Mbok Nur, Umar njelungup di kali. Dia pingsan, terus dibantu Karno sama Irul, mereka bilang denyut nadinya iki, loh, udah ndak teraba."

Simah yang mendengar amat terkejut, jantungnya berdebar bahkan kedua tangannya berkeringat. "Berarti, Bang Umar benar-benar meninggal, to, Mbak Mirah?"

"Belum tau, juga, Mbak Mah." Mirah mengusap lengannya, kemudian kembali berkata, "lah, tapi sampai sekarang belum sadar. Bisa jadi dia sudah ndak bernapas."

Simah membelah kerumunan warga, dia kemudian berhenti di samping pintu. Di sana netranya melihat Narsih terduduk di ubin, Wati tampak ada di sampingnya berusaha untuk menenangkan.

Mata bulat gadis itu bisa menemukan Umar yang tergeletak bak sedang tidur, dia masih belum percaya jika lelaki itu telah tiada.

***

Keadaan Narsih tampak memperihatinkan, badannya lemas karena terus menangis. Sejak tadi dia berusaha membangunkan suaminya, menggoyang lengan, menepuk pipi. Namun, faktanya lelaki itu tidak kunjung bangun.

"Ini sudah lama, tapi Bang Umar kenapa ndak bangun-bangun, Mbak!"

Wati mengusap bahu narsih, sejak tadi dia berada di sampingnya. Berusaha menenangkan dan memberi pengertian untuk wanita itu.

Di sana juga ada Mbok Nur, dia berjalan mendekat kemudian menjelaskan, "Aku kurang tau pasti, bagaimana Umar bisa begini. Soalnya aku lagi buat kopi pesanan, dengar Karno teriak cepat-cepat aku sama yang lain mendekat. Sampai kali, Karno sudah memegang Umar yang tidak sadar makanya baju mereka basah."

Mbok Nur berhenti sejenak, dia menghela napas kemudian menunjuk Karno dan Irul. "Tadi juga mereka sempat tak suruh cari denyut nadinya, Karno sama Irul mengatakan kalau bojomu ini sudah meninggal."

"Astaghfirullah, Gusti Allah, kenapa cobaan hamba berat sekali," ungkap Narsih menangis sejadi-jadinya.

Suasana ruang tamu yang sempit mendadak terasa dukanya, tangisan Narsih sungguh menyayat. Wati ikut terisak, memeluk istri dari keponakannya dengan erat.

"Sabar Nar, ini sudah takdir Umar. Kamu harus ikhlas."

Narsih menggeleng ribut, dengan badan lemas dia mengusap pipinya yang bersimbah air mata. "Mbak, aku masih belum percaya. Tolong Mbak panggilkan Pak Dahlan kemari!"

Semua yang ada di sana saling menatap, kemudian Karno mengangguk. Dia bersiap untuk menuruti permintaan Narsih, sebagai pemastian apakah keponakannya ini benar-benar telah tiada.

"Tunggu sebentar, biar aku yang manggil Pak Dahlan."

Narsih mengangguk semangat, dia berpikir masih ada kesempatan lagi untuk mendengar kenyataan yang ada. "Cepat Cak, jangan lama-lama."

👁👁
Busung_Pocong




Terima kasih sudah membaca, jangan lupa dukung saya dengan komen dan pencet bintangnya.
Ngomong-ngomong, pencet di sini bukan mangga muda, ya, teman-teman😁
Dari JATIM ngacung☝🏻

Busung Pocong || Ketika Narsih Dipaksa Melakukan Sumpah PocongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang