11. BP [ Sewelas ]

64 6 0
                                    


👁👁
Busung_Pocong

***

"Mas Irul."

Sembari tersenyum Endang berlari kecil mendekati Irul, kebetulan sekali gadis itu bertemu lelaki pujaannya di jalan. Sebelum berbicara, dia menyiakan rambut sebahunya ke belakang telinga.

"Mas Irul sibuk ndak nanti malam?"

"Nanti malam?" tanya Irul mengernyit. "Kurang tau, memangnya ada apa, En?"

"Aku mau ajak Mas Irul ke pasar malam di Pasar Cukir."

"Lah, memangnya sudah buka pasar malamnya?"

Endang mengangguk semangat. "Sudah Mas, sejak seminggu yang lalu malahan."

Tampak Irul mengalihkan pandangannya, dia masih duduk di C70 milik bapaknya yang digunakan untuk keliling ke sawah tadi.

"Sek, gimana, yo, En. Belum tau aku kalau nanti malam, soalnya tadi aku juga ada janji sama Rohman," kata Irul.

Endang yang mendengar itu kentara sedihnya, tetapi beberapa saat kemudian senyum kembali muncul. "Meskipun ndak nanti malam ndak apa-apa, kok, Mas, besok atau lusa juga bisa."

"Ya, lihat situasi dulu, yo, En," sahut Irul, lelaki itu tampak tidak ada alasan lagi untuk menolak. "Aku pergi, yo, masih ada urusan."

"Iya, Mas, hati-hati."

***

Narsih menyapu halaman, sesekali dia bersenandung menirukan lagu dangdut yang diputar di rumah Wati.

Setelah kemarin libur tidak jualan, hari ini dia sudah kembali membuka warung. Setelah subuh dia sudah ke pasar dengan meminjam hordok Karno.

Jam menunjukkan pukul 7 pagi, dia sudah siap dengan segalanya. Tinggal membersihkan halaman rumah yang banyak sekali daun-daun mangga yang jatuh, angin beberapa hari ini memang cukup kencang membuat halaman mudah sekali kotor.

"Wes buka warung, Nar?"

"Eh, Mbak Mirah, sudah Mbak," sahut Narsih. "Kemarin libur, capek soalnya. Lagian, beberapa hari ndak laku, Mbak."

"Wes, tetap dilakoni wae, yang sabar rezeki sudah ada yang ngatur."

"Iya, Mbak. Ngomong-ngomong, Mbak Mirah mau ke mana, kok, rapi sekali?" tanya Narsih, dia menghentikan kegiatan menyapunya.

"Ini, mau ke sekolahnya Faris, biasalah bayar angsuran. Kalau dikasih ke bocah e, takut malah dibuat beli pentol."

"Bocah, ya begitu, Mbak," sahut Narsih terkekeh.

Setelah berbincang-bincang sebentar Mirah pun lekas pamit, sedangkan Narsih melanjutkan menyapu.

Ketika membersihkan daun di bawah bunga bugenfil, dia melihat ada bungkusan hitam terselip di dahannya. Penasaran dengan benda tersebut, Narsih lekas mengambilnya.

Bau busuk menyebar seketika, bersama itu Karno turun dari hordok. Dia heran melihat Narsih yang tampak menutup hidungnya.

"Nar," panggil Karno. "Enek opo?"

"Iki, lo, Cak. Tiba-tiba ada bungkusan di bawah bugenfil, bau sekali."

Karno pun mendekat, Wati yang mendengar ikut keluar menghampiri Narsih.

"Sek, tak delok e."
(Sebentar, biar aku lihat)

Karno mengambil alih bungkusan tersebut, lalu membukanya segera. Tampak telur ayam busuk yang sudah meletus bercampur dengan tanah, aromanya menyeruak semakin kuat membuat Wati bahkan sampai mual-mual.

"Wah, ndak bener iki," sahut Karno.

Wati menoleh. Sembari menutup hidung menggunakan kaus, dia pun bertanya, "Opo iku, Pak?"

"Barang ndak nggenah, iki. Enek uwong seng ndak seneng karo Narsih, makane warunge dadi sepi."
(Barang tidak benar ini. Ada orang yang tidak suka sama Narsih makanya warungnya sepi)

Mendengar penjelasan  Karno, Narsih terpatung. Dia benar-benar terkejut dengan kenyataan serta bukti yang ada.

"Astaghfirullah, siapa yo, yang ndak suka. Aku ndak pernah aneh-aneh," ungkap Narsih.

"Sabar, Nar," kata Wati, dia kemudian menatap suaminya. "Terus iki piye, Pak?"

"Wes, ndak opo-opo, iki tak buak e nang kali. Wes, insya Allah ilang guna-guna e."
(Sudah, tidak apa-apa, ini biar aku buang ke sungai, insya Allah hilang guna-gunanya)

***

👁👁
Busung_Pocong

Busung Pocong || Ketika Narsih Dipaksa Melakukan Sumpah PocongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang