01. BP [ Siji ]

387 23 4
                                    

👁👁
Busung Pocong

***

Narsih menuju sumur sembari membawa ember berisi beras, netranya menelisik pepohonan yang tampak bergoyang pelan.

Kicau kedasih bak melodi merdu pagi ini, sudah seminggu burung itu terus berada di belakang rumah. Di sana memang bentangan kebun dengan pohon wadang tinggi menjulang, cocok sekali bagi burung-burung untuk bertengger bahkan membuat sarang.

Wanita itu meletakkan ember, dengan cekatan dia memompa sumur secara manual. Air bersih terpancar mengisi timba hingga penuh. Setelah penuh, siap digunakan untuk mencuci beras.

Hantaman kapak terdengar mengiringi, netra Narsih memerhatikan suaminya yang sedang memotong kayu berukuran besar.

Penasaran dengan jawaban Umar, Narsih pun bertanya, "Abang tau, di sini siapa yang sakit parah?"

"Sakit parah?" Umar mengatur napasnya yang memburu, keningnya tampak berkerut mengingat-ingat siapa yang dimaksud istrinya. "Sepertinya hanya Pak Tejo, selain beliau ndak ada. Palingan cuma mbah-mbah sepuh. Ada apa memangnya, Dek?"

"Ndak apa-apa, cuma tanya, tok. Ngomong-ngomong, ini burung bunyi terus dari kemarin, loh, Bang."

Umar mengangguk. "Iya, sejak kemarin dorodasih bunyi terus, burung musiman ini."

"Musim orang meninggal maksudnya," sahut Narsih.

"Lah, bisa-bisanya bilang begitu?"

Narsih berhenti sejenak, dia fokus menatap suaminya. "Almarhum Ibu pernah bilang, loh, Bang. Burung ini pertanda kematian, memangnya Abang ndak tau?"

Umar mengumpulkan kayu yang selesai dipotong, kemudian duduk di kayu yang masih belum terpotong.

Suasana masih agak petang, mentari belum sepenuhnya muncul meski langit mulai terang.

"Orang zaman dulu memang bilang begitu, tapi itu hanya mitos."

Narsih agaknya kurang percaya, dia ingat dahulu apa yang dikatakan almarhum ibunya benar terjadi. "Dulu waktu aku masih gadis, ini benar-benar terbukti, Bang. Beberapa hari setelah burung kedasih bunyi, ada orang meninggal."

"Kematian hanya Allah yang tau, kalau setelah dorodasih berbunyi kemudian ada orang meninggal. Ya, memang itu sudah takdir Gusti Allah," ungkap Umar.

"Iya, juga. Pasti cuma kebetulan," sahut Narsih, dia bangkit setelah selesai mencuci beras. "Dibuatkan kopi, ndak?"

Umar tersenyum. "Ya, iya, to, Dek Narsih yang cantik, buatin yang enak, yo."

"Halah, ngedabrus."

***

Aroma gorengan cabai dan bawang menguar, hal itu membuat Umar bersin beberapa kali. Lelaki itu sudah siap mengenakan baju dinasnya, dia mendekati meja makan yang kala itu istrinya masih sibuk mengulek sambal.

Melihat jam yang menempel di dinding pintu menuju ruang tengah, seharusnya Umar sudah ada di sawah. Niatnya untuk sarapan pun diurungkan, dia menoleh ke arah Narsih yang meletakkan cobek di meja makan.

"Abang ndak jadi sarapan, wes." Umar bangkit, sedangkan Narsih mengerutkan kening.

"Loh, kenapa? Memangnya dapat makan?"

"Ndak, cuma jamnya mepet banget, takutnya nanti ndak selesai sehari," jelas Umar.

Narsih menghela napas. "Ya, sudah. Tunggu sebentar, biar tak siapin bekalnya."

Dengan cekatan Narsih mengambil rantang, kemudian mengisinya dengan nasi, tempe, tumis kangkung serta sambal terasi.

Setelah selesai Narsih menyerahkan rantang tersebut ke suaminya, sedangkan lelaki itu tersenyum sembari mencubit pipi istrinya gemas.

"Makasih, ya, istri Bang Umar seng ayu dewe."

Narsih tampak menahan senyum, sebagai gantinya dia mengusap hidungnya yang tidak gatal. "Wes, ndak usah gombal, sana berangkat!"

"Ya, sudah. Abang berangkat dulu, selamat tinggal istriku. Baik-baik di rumah, ya, nanti siang ndak usah kirim makanan. Biar Abang makan di warung Mbok Nur."

"Enjeh, Bang. Hati-hati," ungkap Narsih menatap suaminya yang siap berangkat sembari mengucap salam.

👁👁
Busung_Pocong












Cerita horor kedua, semoga suka.

Jangan lupa.

👇🏻 Bintangnya.

Busung Pocong || Ketika Narsih Dipaksa Melakukan Sumpah PocongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang