03. BP [ Telu ]

163 16 1
                                    

👁👁
Busung_Pocong

***


Narsih duduk di teras bersama Wati tetangganya. Setelah pekerjaan rumah selesai, mereka biasanya mencari hiburan. Sekadar duduk santai sembari momong anak, atau apa pun agar tidak bosan.

Denting mangkuk beradu dengan sendok membuat anak-anak yang bermain di halaman menoleh. Tampak penjual es dawet datang sembari mengayuh pedal dengan santai.

Sorak mereka yang menyuruh agar penjual es tersebut berhenti membuat Wati menghela napas pasrah. Agaknya wanita itu tahu jika sang putra pasti merengek untuk minta es tersebut.

"Anakmu, Mbak Wat. Pasti sebentar lagi merengek," kata Narsih terkekeh.

"Pegel, aku Nar. Jajan terus bocah itu, tadi sudah habis lima ribu di toko Haji Yas."

Benar saja, tidak lama Bagus datang. Dia berlari sembari berteriak, "Mak, beli es dawet!"

"Tadi kan udah, to, Le!"

"Tumbas es dawet, Mak, ayo!" kata Bagus sembari merengek, anak 5 tahun itu menarik tangan Wati agar segera memenuhi permintaannya.

Narsih yang melihat agaknya tidak tega, dia pun tersenyum sembari berkata, "Wes, sama Mbak aja, ayo."

"Ndak usah, Nar."

"Ndak apa-apa, Mbak. Es dawetnya juga cuma tiga ribu," ungkap Narsih, kemudian mengajak Bagus agar pergi dengannya. "Ayo, Le."

Es dawet memang segar jika dinikmati kala cuaca panas, Narsih menunggu beberapa anak yang sedang mengantre.

Tidak lama setelah itu, giliran dia yang dilayani. Bang Sam-nama penjual es tersebut bertanya, "Bungkus berapa, Mbak?"

"Bungkus tiga, Bang Sam. Satu, gulanya jangan banyak-banyak."

"Siap," kata Bang Sam, kemudian menatap Bagus. "Sampean beli opo, Le?"

"Es."

"Piro?"

Bagus menunjuk jarinya. "Satu."

"Okrek, mana uangmu," kata Bang Sam membari meminta uangnya, pemuda itu memang sengaja menggoda Bagus.

Tentu anak itu menoleh ke arah Narsih, kemudian berkata, "Dibayarin Mbak Nar, kok, Iyo, to, Mbak?"

"Ora," kata Bang Sam. "Uangnya ndak cukup."

"Masih ada, kok!"

"Nang di?"

"Nisor bantal!"

"Iso ae, bocil."

Narsih mendengar perdebatan itu tertawa, dia kemudian melihat bagaimana Bang Sam meracik es. Mulutnya berair kala buliran dawet diguyur dengan kuah santan, gula merah, tidak lupa es batu.

Wanita itu tidak sabar untuk menikmati segarnya Es Dawet Bang Sam.

Tiga bungkus diserahkan Bang Sam kepada Bagus. "Iki, akeh, to. Tadi pesenmu satu, ini tak buatin tiga. Bilang opo?"

"Matursuwun," kata Bagus.

Bang Sam tersenyum. "Seng jelas, to. Matursuwin Bang Sam, gitu."

"Matursuwun, Mbak Narsih es e!" teriak Bagus sembari berlari membawa bungkusan es.

"Loh, kok Mbak Narsih, se!"

"Kan Mbak Nar yang bayarin, Bang Sam cuma jualan, tok!" teriak Bagas lagi.

Bang Sam hanya bisa terkekeh mendengar jawaban pintar bocan 5 tahun itu. Dia kemudian menerima uang dari Narsih. "Makasih, yo, Mbak."

"Sama-sama."

***

Karno bersama beberapa warga menggotong Umar. Setelah memeriksa denyut nadi yang ternyata tidak ada, mereka memutuskan untuk membawa pulang.

Suasana tegang terasa bahkan hawa panas tiba-tiba meredup. Kala melewati rumah-rumah warga, banyak di antara mereka yang penasaran.

Salah satunya, Haji Ilyas. Lelaki tua itu sedang duduk santai di depan toko, sesekali dia menggerakkan tangan yang membawa kipas dari anyaman bambu.

Melihat Umar digotong beberapa orang, dia pun lekas bangkit dan menghentikan salah satu dari warga yang mengikuti.

"Umar kenapa itu, Ad?"

Fuad menjawab dengan raut tampak kurang yakin. "Katanya sih, jatuh di sawah. Saya juga kurang tau, Pak Haji."

"Oalah, masa kepeleset!" Haji Ilyas meletakkan kipas di kursi, kemudian mengajak Fuad ikut melihat kondisi Umar.

Kala itu Narsih akan menikmati es dawetnya, melihat ramai warga datang ke rumahnya dia merasa heran.

Wanita itu bisa melihat jika sang suami diangkat oleh beberapa orang, termasuk Karno-suami Wati.

"Loh, suami saya kenapa Cak Karno?"

Karno tampak ragu menjawab pertanyaan Narsih, dia berjalan terus dengan membawa Umar masuk terlebih dahulu.

Mereka membaringkan lelaki yang tidak lagi bernyawa di lincak yang tersedia di ruang tamu.

Narsih lekas mendekat, dia mengusap kening suaminya yang mulai dingin. Entah, gara-gara es yang masih di tangannya atau Umar benar-benar tiada.

"Kenapa to, ini suami saya. Tadi berangkat baik-baik saja, sekarang kok begini!"

Berhubung di sana ada Wati, Karno pun berbisik, "Umar meninggal."

"Lah, astagfirullah!" Wati amat terkejut. "Seng temen, Bang!"

Narsih menjatuhkan es dawet yang belum sempat diminum, dia mendengar jelas apa yang dikatakan Karno.

"Astagfirullahalazim, Bang Umar!"

👁👁
Busung_pocong











Makasih, ya, udah baca, tapi, ya kasih bintanglah, rek. Tinggal pencet😄
👇🏻

Busung Pocong || Ketika Narsih Dipaksa Melakukan Sumpah PocongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang