14. BP [ Patbelas ]

83 10 1
                                    


👁👁
Busung_Pocong

***

Irul berjalan menuju samping rumah, dia meletakkan segelas kopi dengan asap masih mengepul. Selagi menunggu makanan di perutnya diproses, dia santai sejenak duduk di lincak sambil memerhatikan anak-anak ayam.

Tidak lama kemudian, Simah membawa setumpuk alat masak yang kotor untuk dicuci. Kebetulan jika menuju sumur, gadis itu harus melewati sangat kakak.

Tampak sekali raut judes Simah tunjukkan, dia melewati Irul begitu saja tanpa menyapa. Biasanya dia selalu cerewet, bertanya dan bercerita ini-itu.

Sejak tau Irul mengajak Narsih ke pasar malam, sikap Simah berubah. Dia kesal, kakaknya tidak mengiyakan larangannya tentang menjauhi Narsih.

"Kamu kenapa, sih, Dek. Masih marah, perkara aku ngajak Narsih ke pasar malam?"

Tidak ada sahutan dari Simah, tetapi cara dia mencuci piring yang berisik membuat Irul tau jawabannya.

"Kamu jangan begitu, dia kan temenmu. Kalian dulu sering bareng, kenapa sekarang malah menjauh?" kata Irul, dia mencoba menuturi sangat adik. "Cobalah kamu ajak Narsih main, dia kesepian, ndak punya siapa-siapa."

Krepyak!

"Bisa diem ndak, Mas!" sentak Simah, tatapannya tajam menghunus netra Irul.

Gadis itu baru saja meletakkan sendok yang selesai disabun ke piring. Hal itu menimbulkan suara yang cukup kencang, sehingga mengundang Fatimah untuk datang.

"Ada apa, to, ini. Kok berisik sekali, kedengeran sampai ruang tengah, loh."

Simah tidak menjawab, dia kembali menekuni kegiatannya, sedangkan Irul menghela napas. "Mboten enten nopo-nopo, Umi."

"Ndak ada apa-apa, kok, kayak tegang banget suasananya. Lagi marahan, to? Kalian ini 'kan udah pada dewasa, mbok, ya, ngerti satu sama lain," kata Fatimah di ambang pintu.

"Ini cuma salah paham, Mi. Simah ngondok sama Irul."

Fatimah menatap putranya. "Kok bisa marah kenapa, kamu pasti goda adikmu keterlaluan."

"Mboten, kok, coba jenengan mawon seng tanglet kaleh Simah," sahut Irul santai.
(Coba Ibu saja yang tanya ke Simah)

***

Narsih meletakkan lauk di etalase warung, setelah semua siap dia lekas mengambil sapu untuk membersihkan halaman.

Pagi itu Wati juga sedang menjemur baju, dia melihat Narsih lalu tanpa segan untuk menyapa.

"Kalau nyapu itu enaknya ndak pake sendal, Nar, biar sehat."

"Nyeker, lak, an, Mbak?" tanya Narsih balik. "Memangnya ada khasiatnya?"
(Tidak pakai sandal)

"Jelas ada, to, banyak banget. Salah satunya biar otot ndak tegang, buat jantung juga bagus, tidur jadi nyenyak."

Narsih tersenyum, dia pun melepas sandalnya. "Widih, Mbak Wati udah kayak Bu Dokter."

"Kemarin 'kan aku diajak sama Bu Anis ke balai desa. Di sana ada puskesmas keliling gratis, jadi aku tau soalnya jelasin itu juga," ungkap Wati.

"Lah, aku kok ndak sampean ajak, Mbak?"

"Ndak sempat, Nar, maaf. Kemarin saja aku ndak sengaja ketemu sama Bu Anis pas dari beli terasi. Mau ganti pakaian, kata Bu Anis ndak usah. Jadinya aku ke balai desa pake baju kebesaran emak-emak, alias daster."

Narsih menyapu sembari mendengarkan perkataan Wati, mereka asyik berbincang ngalor-ngidul hingga Karno berjalan melewati halaman wanita itu.

Suami dari Wati itu lekas berjongkok kala netranya melihat sesuatu di tanah, ternyata benda tersebut adalah paku yang tepat di sebelah jejak kaki Narsih.

"Lah, Nar, sikelmu ndak popo a, ada paku iki."
(Lah, Nar, kakimu gak apa-apa kah, ada paku ini)

Narsih yang mendengar tentu saja menghentikan kegiatannya, dia menatap Karno dengan raut kaget. "Loh, Cak. Tadi pas tak sapu ndak ada, loh. Ini aku lagi nyeker, untung saja ndak kena kaki."

"Oalah, onok-onok ae." Karno kembali berjalan menuju rumahnya, sedangkan Wati berkata, "halah, palingan paku pas dandani warung. Tukang e pas malu, pakunya mencelat."
(Halah, palingan paku waktu membangun warung. Tukangnya waktu memalu, pakunya kelempar)

"Iya kali, Mbak. Untung saja kakiku ndak kena."

"Sekarang malem jumat, yo, Nar?" tanya Wati sambil memeras baju.

"Iya, Mbak. Malem jumat kliwon, ada apa memangnya?"

"Oalah, tak kira in jumat legi, biasanya kan buat ambeng ke masjid," sahut Wati, dia selesai menjemur baju. Setelahnya dia membuang air yang tersisa di bak cucian, lalu pamit untuk melanjutkan kegiatannya yang lain.
(Tumpeng)

***

👁👁
Busung_Pocong

Busung Pocong || Ketika Narsih Dipaksa Melakukan Sumpah PocongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang