10. Dia Melihatmu ....

1.3K 150 8
                                    

Tak ada waktu untuk berdiam diri lebih lama. Mungkin jika mereka berada di dimensi manusia, arunika kini sudah muncul memberi kehangatan. Namun, karena keberadaan mereka di tempat yang tak seharusnya-- tanpa peduli siang atau malam, tempat ini masihlah terlihat sama. Gelap dan terselimuti kabut tipis.

Keyran menyorot lentera milik Nazka yang kini dipegang olehnya ke bagian ujung dari jalan. Hamparan sungai terbentang cukup luas dengan dedaunan gugur ke atas permukaan air sebagai penghiasnya.

Nyala api lentera meredup lalu kembali seperti semula-- terus seperti itu, berulang-ulang kali kala angin berembus. Terus seperti itu, membuat sang pemegang mendekatkan kembali lentera ke badannya. Menjaganya agar tak terpadam.

Keyran-- si penakut gelap-- kini bisa menyalakan lenteranya sendirian. Melawan rasa takutnya, dengan bermodalkan kenyataan jika saat ini sang ayah tak lagi berada di sisinya. Hal itu tanpa sadar membuat Nazka dan Zerico tersenyum kecil.

Mengingat bagaimana teriakan menggelegar Keyran yang meneriakan nama ayahnya akan selalu terdengar hingga rumah Nazka setiap kali listrik padam. Lalu setelah itu, pelita kecil hidup. Wijaya adalah orang pertama yang menghampiri Keyran demi membawa cahaya di tengah kegelapan.

Kembali ke situasi, gerimis kecil belumlah reda. Dengan tudung jaket yang melindungi kepala masing-masing, tiga anak remaja itu melanjutkan perjalanan yang membawa mereka pada sebuah sungai. Air sungai berwarna gelap juga sedikit berasap.  Embus angin yang bertiup dari arah belakang menyapu wajah seakan menambah suasana mencekam.

Keyran memperhatikan aliran air sungai dengan mata yang sedikit menyipit, kala telah yakin, dirinya lekas berbalik-- menghadap dua orang temannya.  "Arus airnya sedang, gak lambat ataupun terlalu cepat. Ngikutin arah angin. Kita bisa ke seberang kalo punya sesuatu yang bisa dijadikan rakit."

"Kalo renang?" Zerico memberi penawaran.

Menggeleng. "Kita gak tau seberapa besar resikonya, Zer." Keyran menjawab. "Air sungai yang menyerupai danau kek gini aja sebenarnya udah cukup rawan, ditambah air sungai ini keliatannya gak bersih. Kita gak tau ada seberapa banyak bakteri Naegleria Fowleri di dalamnya."

"Nigeria apa?"

Keyran berdecak, ia menatap malas pada Zerico. "Naegleria Fowleri. Itu nama bakteri-- amoba pemakan otak. Kalo kita nyebur ke sungai ini terus bakteri itu masuk lewat hidung kita lalu nyerang lewat saraf area pernapasan, kita bisa mati-- cuma perlu nunggu selama 18 jam." Perjelasannya sukses membuat Zerico merinding.

Biasanya, bakteri ganas tersebut sering ditemukan pada genangan-genangan air dari suatu tempat terbengkalai, contohnya seperti air kolam renang yang bertahun-tahun lamanya tak pernah diganti atau dibersihkan. Namun, sungai juga memiliki potensi yang cukup besar apabila airnya terlihat begitu kotor seperti sungai di hadapan mereka berdiri kini.

"Kalo gitu kita harus cari bahan buat rakit."

Perkataan Nazka diangguki mantap oleh Keyran. Remaja itu menepuk tangannya. "Oke! Ayo kita mencar!"

"Kalo gitu, Zer kamu ke kanan cari bambu. Aku sama Keyran ke bagian kiri," ujar Nazka lalu menarik tangan yang lebih muda-- menyeret anak itu untuk mengikutinya, aksinya membuat Keyran cengo.

"Lah?! Mencar woy, kataku!" Mereka tak tau di mana akan menemukan bahan, bukankah lebih baik berpencar agar prosesnya lebih cepat?

Protesan Keyran tak dihiraukan. Baik Zerico maupun Nazka tampak patuh berjalan ke sisi berbeda sungai, membuat Keyran yang diseret oleh Nazka mendengus malas.

Gemerisik langkah kaki yang menginjak dedaunan mengisi keheningan. Saat Kabut tipis semakin terkikis di pandangan, Keyran menelisik sekitar. "Kita juga perlu tali," ujarnya.

Malapetaka 1980 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang