22. Menuju Akhir

1.3K 218 11
                                    


Kabut tebal menyelimuti malam, memeluk gelap dengan keheningan yang nyaris memekakkan telinga. Angin dingin berhembus lirih, menghembuskan aroma tanah basah bercampur sesuatu yang lebih tajam-- seperti darah yang baru mengering. Di tengah malam yang kelam, empat pemuda, Keyran, Juan, Nazka, dan Zerico, berjalan menyusuri jalan setapak, ditemani hanya oleh suara langkah mereka yang teredam tanah becek.

"Aku bilang, ini ide buruk," bisik Keyran, memeluk jaket milik Zerico yang terpasang di tubuhnya lebih erat. Sorot matanya gelisah, memandang sekeliling. "Kita harusnya gak usah lewat sini."

"Diam aja, Key. Kita udah terlalu jauh," balas Juan dengan nada kesal. Wajahnya berusaha tampak tenang, meski gerakan matanya mengkhianati ketegangan yang ia rasakan. "Kita bakal secepatnya cari arah keluar. Cepet jalan."

Langkah kaki usai berhasil keluar dari area gua kapur justru membawa mereka ke hutan rimbun dengan jalan setapak. Kabut menyesatkan mereka, beriring dengan suara hewan malam yang bersahut-sahutan.

"Tapi ini ... tempat ini aneh banget," gumam Keyran, melirik ke arah pepohonan yang menjulang seperti bayangan hitam raksasa. "Kalian gak ngerasa ada sesuatu yang ... ngawasin?"

Zerico berjalan paling depan, obor di tangannya memantulkan cahaya redup yang hampir tak mampu menembus kabut. "Dari awal kita masuk ke hutan ini, gak ada tempat yang normal, Key."

Memang benar apa yang dikatakan oleh Zerico, namun, semakin berjalan, sesuatu yang Keyran anggap berbeda semakin terasa. Suara burung malam mendadak hilang. Tidak ada jangkrik, tidak ada gemerisik daun-- hanya sunyi yang menekan, seperti dunia menahan napas. Suara hewan-hewan malam yang harusnya menemani, semakin tak terjangkau indra pendengaran.

Dan lalu, mereka mendengar suara itu.

Tap, tap, tap.

Langkah kaki. Berat, tidak tergesa-gesa, tapi mendekat.

Zerico menghentikan langkah. Ia menyorotkan obornya ke arah suara, tetapi yang terlihat hanya kabut putih pekat yang menari di antara pohon-pohon. "Siapa di sana?" serunya, mencoba terdengar tegas, meski tenggorokannya terasa kering.

Tidak ada jawaban, hanya keheningan. Tapi suara langkah itu tetap ada-- dan sekarang terdengar lebih dekat.

Keyran menarik lengan Juan. "Kita harus pergi. Sekarang!"

Juan membuka mulut, hendak membantah, tetapi langkah kaki itu berubah. Dari satu suara, menjadi banyak. Langkah kecil, cepat, berhamburan seperti tikus yang melarikan diri dari bahaya. Tapi tidak ada tikus, tidak ada binatang sama sekali. Hanya suara langkah tanpa sumber.

Nazka mulai merasakan ketegangan. "Ini gak bener ... Kita harus lari!"

Zerico mengangkat tangannya, memberi isyarat agar diam. "Jangan panik. Ikuti aku. Jangan berpencar, pokoknya jangan sampai terpencar!"

Perkataan Zerico adalah hal yang mereka setujui,  namun, kabut justru semakin menebal, membuat jarak pandang mereka hanya beberapa meter dan hal itu sungguh menyusahkan untuk tetap beriringan dalam berlari.

Langkah mereka menjadi lebih cepat, kaki keempatnya menghantam tanah yang licin tanpa ragu. Mereka telah berusaha berlari menjauh, tapi suara langkah asing itu tetap mengikuti-- selalu di belakang mereka, bahkan semakin terasa dekat.

Tiba-tiba, Nazka berhenti. "Lihat ini!" bisiknya dengan suara tercekat.

Yang lain berhenti, menoleh ke arahnya. Nazka menunjuk ke tanah. Ada jejak kaki. Empat jejak kaki yang menapak jelas di tanah basah. Tapi itu bukan jejak mereka. Bentuknya terlalu kecil, seperti jejak anak kecil tanpa alas kaki.

Dan jejak itu ... tidak berawal ataupun berakhir. Mereka hanya ada di sana, tiba-tiba.

Juan melangkah mundur, wajahnya memucat. "Apa ini? Jejak siapa?"

Malapetaka 1980 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang