23. Menuju Akhir (2)

1.2K 203 29
                                    

Mereka terus berlari tanpa henti, napas keempatnya memburu, sementara bayangan yang mengejar terasa semakin dekat. Setiap kali menoleh, Nazka bisa melihat bentuk bayangan itu menjadi lebih nyata-- seolah-olah ruangan itu sendiri sedang menghidupkan sosok-sosok gelap tersebut.

"Keyran, kita makin dekat, kan?" teriak Juan, matanya dipenuhi kegelisahan. Batinnya bergejolak penuh seru-- seakan rasa yang tak ia kenali memanggil.

Keyran tak menjawab. Ia terlalu fokus pada jalan di depannya, mengingat peta yang sempat ia lihat. Mereka melewati lorong panjang yang bercabang, dan Keyran tahu ia harus membuat pilihan cepat.

“Ke kanan!” serunya, melambai pada yang lain untuk mengikutinya.

Tetapi, begitu mereka belok, sebuah pintu besar terpampang di depan mereka, menutup jalur. Ukiran besar di pintu itu tampak seperti lingkaran dengan segitiga di dalamnya, dan di tengahnya ada celah kecil berbentuk ukiran kuno.

"Minggir!" Zerico berseru.

Urat otot menonjol kala ia bersikeras, mendobrak pintu. Gema gebrakan memekakkan telinga. Tak tinggal diam, Nazka turut melakukan hal yang sama.

"Tolong cepat terbuka!" Keyran berujar panik, sesekali akan menengok ke belakang-- tepat di mana bayangan hitam terus menggila mengejar mereka.

Berkali-kali, hantaman dikerahkan. Pintu semakin goyah ... Dan,

BRAK!!!

Berhasil terbuka!

Mereka bergegas masuk ke ruangan di balik pintu. Begitu mereka semua berada di dalam, pintu itu tertutup dengan sendirinya. Mengejutkan, tentu saja. Untuk pertama kalinya sejak mereka memasuki tempat itu, suasana terasa lebih tenang.

Ruangan ini berbeda dari sebelumnya. Tidak ada kabut, tidak ada bayangan, hanya sebuah altar kecil di tengah ruangan. Di atas altar itu, ada sebuah buku besar dengan sampul hitam pekat.

"Apa ini?" tanya Nazka, mendekati altar dengan hati-hati.

Keyran mengamati buku itu, ragu untuk menyentuhnya. "Mungkin ini jawabannya," ujarnya pelan.

"Jawaban apa?" tanya Zerico, masih berjaga di dekat pintu.

"Bagaimana kita bisa keluar," jawab Keyran. "Jawabannya ada di tempat ini, di buku ini."

Nazka semakin mendekati altar itu bersama Keyran. Perlahan, Keyran membuka buku di tangannya tersebut. Halaman-halaman di dalamnya dipenuhi tulisan-tulisan kuno-- beraksara Sansekerta, namun, ada satu halaman yang tampaknya lebih menonjol dari yang lain. Di tengahnya, ada sebuah kalimat yang tertulis dengan tinta merah.

"Apa artinya?" Keyran menunjukkan pada Nazka. Sedangkan Nazka sendiri hanya mengerinyit bingung. Mungkin, ia akan sedikit paham jika seseorang mengucapkan bahasa Sansekerta, Namun, jika membacanya melalui aksara ... ya ampun, Nazka angkat tangan.

"Coba liat!" Juan mengambil alih buku itu dari tangan Keyran, lalu membacanya tanpa beban.

"Hanya mereka yang berani menghadapi bayangan sendiri yang akan menemukan cahaya, katanya."

Kening Nazka mengerinyit. "Juan, kau bisa membacanya? Sejak kapan kau pandai bahasa Sansekerta?" Tentu ia bingung, selama ini bersama, jelas Nazka tau ... di antara mereka berempat, setidaknya yang sedikit memahami tentang Sansekerta adalah dirinya.

Juan terdiam. Pandangannya menatap lamat pada huruf-huruf itu lalu kemudian tersadar. Benar juga, kenapa ia tiba-tiba bisa membacanya?

"Tolong diskusikan hal lain nanti, di luar mereka mengamuk!" ujar Zerico yang masih berdiri di ambang pintu masuk, ia sangat waspada-- takut-takut jikalau pintu tiba-tiba terbuka.

Malapetaka 1980 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang