07. Dimensi

1.5K 161 11
                                    

Pukul delapan malam, saat kabut kian semakin tebal, tiga sekawan memberanikan diri menyebrangi sungai berarus tenang dengan perlengkapan seadanya di dalam tas yang digendong di punggung.

Di depan mereka, kini, rimbun pepohonan tinggi menjulang juga batu berlumut memberikan sugesti betapa dinginnya tempat ini.

Dengan penerangan berupa lentera yang dipegang masing-masing oleh mereka, beberapa pemandangan hutan tersorot pencahayaan.

Bulan bersembunyi di balik awan. Kabut bergerak dan perlahan menutupi pandangan.

Rumput-rumput yang mereka injak bagai menunduk kala ketiga manusia itu semakin masuk jauh ke dalam hutan-- hingga kemudian, mereka tenggelam di dalam kabut.

Keyran menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, entah sudah seberapa jauh mereka berjalan masuk ke dalam hutan yang disebut-sebut sebagai hutan larangan. Tindakan nekat ini, tentu dilakukan tanpa pikir panjang. Mereka hanya berniat melakukan pertanggung jawaban atas hal yang tak mereka kehendakki.

Saat terdengar suara tapak kaki. Mata yang semula tertutup, kini terbuka menampilkan kilatan merahnya. Gigi tajamnya terlihat saat ia membuka mulut-- berdesis. Getaran yang dirasakan olehnya, membuat hasrat dalam mengincar mangsa menggebu.

Sosok itu mengikuti insting hewannya.

Seekor ular dengan warna hitam keemasan merayap tanpa suara di atas tanah. Penglihatannya yang berwarna merah menangkap atensi tiga orang anak laki-laki yang berjalan tegang sembari membawa lentera. Lidah ular itu menjulur panjang setiap kali terdengar lirih suara desisan. Kala membuka mulut, dari taring tajamnya menetes cairan kental.

Alis Nazka menukik, ia berhenti melangkah.

"Tunggu! Kalian dengar?" Perkataan tiba-tiba Nazka menghentikan gerak langkah yang lain. Mempertajam telinga, barulah mereka menyadari jika terdengar desisan ular.

"Sssttt!" Nazka meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. Tatapan matanya tajam, menelisik sekeliling.

"Ular yang aktif di malam hari biasanya punya penglihatan yang buruk, matikan lenteranya," bisik Nazka yang langsung dipatuhi. Mereka serentak meredupkan pencahayaan dari api lentera hingga yang tersisa hanyalah kegelapan hutan.

"Jangan bergerak, dia bisa mendeteksi getaran," lanjut remaja itu.

Desisan masih terdengar. Keyran nyaris menahan napas. Jantungnya berdegup kencang, bahkan desiran darahnya terasa kuat.

Kunang-kunang terbang mengitari sebuah pohon tak jauh dari posisi mereka berdiri, kunang-kunang itu melihat seekor ular yang merayap dengan tenang di atas tanah.

Ular itu memiliki corak emas di tubuh dan di kepala yang menyerupai mahkota. Corak indah tersebut akan menyala kala tersorot cahaya bulan.

Sang kunang-kunang tak mengalihkan pandang. Keberadaan si ular cukup mendominasi tempat, tubuhnya yang besar dan panjang menggerayapi tanah berumput. Terus merayap hingga dirinya mulai jauh dari keberadaan tiga orang manusia.

Kabut semakin tebal, memeluk seisi hutan dengan kelembutannya yang menyesakkan.

Lambat laun suara desisan semakin tak terdengar di telinga. Yang tersisa kini hanyalah suara deru napas dari tiga orang-- saling bersahutan.

"Apa ... dia pergi?"

Nazka tak menjawab pertanyaan Keyran. Pandangannya lurus-- menatap tajam ke depan. Tak jauh berbeda, di samping Keyran, Zerico pun hampir tak berkedip.

Hawa dingin menusuk ke tulang, membangkitkan bulu kuduk yang semula merunduk. Mata Keyran bergulir menyisir langit, dedaunan lebat dari pohon-pohon yang menjulang tinggi menjadi pemandangan di gelapnya malam.

Malapetaka 1980 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang