Bab 1

325 51 7
                                    

Ini bukan cerita sedih kok beb, tapi kalo mo nyiapin tisue ya gak apa-apa. Loh??


Malam baru saja turun. Gemerlap lampu jalan dan gedung bertingkat mulai menghiasi kehidupan malam Jakarta. Di saat seperti ini, Galang masih berada di kantornya yang terletak di kawasan SCBD Jakarta.

Berdiri di depan jendela kaca kantornya yang terbuat dari kaca hingga ke langit-langit. Memandang ke luar jendela, melihat gemerlapnya lampu-lampu yang memancar dari gedung-gedung pencakar langit di sekelilingnya. Kedua tangannya berada di saku celananya.

Jas Brioninya tersampir di kursi kulit kerjanya. Kini ia hanya mengenakan kemeja biru navy dan dasi hitam bergaris.

Seharusnya ia sudah pulang ke penthousenya. Karena semua pekerjaan telah selesai. Tidak perlu lembur, tidak perlu pulang larut untuk menyelesaikan semua pekerjaan yang menumpuk. Tapi justru itu tidak ia lakukan. Galang masih betah berlama-lama di kantornya. Untuk apa pulang cepat-cepat bila tidak ada seorang pun yang menunggunya di rumah?

Siang tadi ibunya datang mengunjunginya dan mereka makan siang bersama. Sesuatu yang memang kerap dilakukan ibunya disela-sela kesibukannya sebagai direktur utama perusahaan kosmetik di Indonesia.

Ibunya memang bukan hanya ibu rumah tangga biasa. Sebagai istri dari pemilik Cipta Darma Abadi corp. Beliau juga memegang peranan penting dari keberlangsungan bisnis grup perusahaan konglomerat ternama di Indonesia itu. Di mana CDA corp memiliki usaha yang terfokus pada tiga lini bisnis utama. Yaitu jasa keuangan dan perbankan, media dan periklanan. Serta hiburan dan gaya hidup.

Selain sebagai direktur utama perusahaan kosmetiknya sendiri, yang ia bangun dari jerih payahnya. Ibunya juga merupakan salah satu komisaris utama di Cipta Darma Abadi Corporation. Bisa dibayangkan kesibukan para anggota keluarga dari Cipta Darma yang semuanya bergelut di bidang bisnis.

Tetapi meski begitu, Nyonya Alita Cipta Darma masih menyempatkan diri untuk bertemu dengan anak-anaknya yang sudah dewasa dan kini tinggal terpisah dengan orang tuanya.

Awalnya acara makan siang dengan ibunya berjalan dengan damai dan tenang, sebelum akhirnya ibunya menyinggung masalah pernikahannya dengan Cara.

"Apa rencana kamu ke depannya, lang? Ingat, ini sudah tahun keempat usia pernikahan kamu. Tahun keempat Cara pergi meninggalkan rumah dan juga kamu. Sudah terlalu lama kamu menggantung pernikahanmu seperti ini. Kamu harus membereskan semuanya."

"Maksud, mama?"

"Divorce her. Jangan lagi kamu berlarut-larut membuat Cara menderita."

Galang merasakan napasnya seakan terhenti ketika ibunya mengucapkan kata-kata itu. Menceraikan Cara? Itu artinya ia harus melepaskan statusnya sebagai suami Cara. Memutuskan ikatan pernikahan di antara mereka berdua.

"Mama ingin Cara bahagia. Menemukan pria yang mencintainya. Bersedia berbagi kesedihan dan kebahagiaan bersamanya. Sudah empat tahun ... Mama rasa ini saatnya kalian harus bercerai. Dulu mama menentang perceraian kalian, tapi sekarang tidak lagi. Cara sudah dewasa sekarang, sudah memiliki karir yang cemerlang dan penghasilan yang besar. Dia sudah bisa berdiri di kakinya sendiri, tanpa harus bergantung pada keluarga kita.  Tanpa harus bergantung padamu. Dan yang lebih penting lagi, sekarang ini ia sudah menemukan pria lain sebagai penggantimu."

Galang terdiam. Tidak mengucapkan sepatah katapun untuk membalas perkataan ibunya. Tapi pegangan tangannya pada pisau dan garpu untuk memotong steak begitu erat. Begitu kencang hingga ia sendiri pun tidak menyadarinya.

Love in the RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang