Pertemuan pertama

36 5 0
                                    

Zev melangkah memasuki kampus barunya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa sangat antusias. Ini adalah awal dari perjalanan akademisnya, sesuatu yang telah dia tunggu-tunggu sejak lama. Namun, di sisi lain, ada kegelisahan yang merayap di hatinya. Lingkungan yang besar dan ramai ini membuatnya merasa kecil dan sedikit terintimidasi. Zev selalu menjadi orang yang introvert, lebih suka tenggelam dalam buku-buku dan pikirannya sendiri daripada bersosialisasi dengan orang lain.

Pagi itu, udara terasa sejuk dengan embusan angin lembut yang membawa aroma dedaunan segar. Zev memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kampus, mencoba menenangkan diri sebelum kelas pertamanya dimulai. Dia mengenakan jaket favoritnya, menarik kerahnya ke atas untuk menutupi leher dari dinginnya angin pagi. Sepatu ketsnya yang baru dibeli menginjak trotoar kampus dengan langkah-langkah yang hati-hati.

Matanya menelusuri gedung-gedung yang megah, pepohonan yang rindang, dan para mahasiswa yang sudah mulai beraktivitas. Sesekali, Zev melihat sekelompok mahasiswa yang sedang berbicara dengan penuh semangat, tertawa dan bercanda. Sebuah pemandangan yang biasa di kampus, namun membuatnya merasa sedikit terasing.

Saat Zev berbelok ke sebuah jalan setapak yang lebih sepi, pikirannya melayang jauh ke berbagai hal yang mungkin akan dia hadapi sebagai mahasiswa baru. Dia membayangkan tugas-tugas yang menumpuk, dosen-dosen yang ketat, dan mungkin saja teman-teman baru yang akan dia temui. Namun, di tengah semua itu, ada satu kekhawatiran yang paling mendominasi: bagaimana dia akan menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus yang jauh lebih besar dari kehidupannya di sekolah menengah.

Namun, sebelum pikirannya terlalu jauh melayang, Zev dikejutkan oleh sesuatu. Sebuah benturan kecil, tepat di bahunya, membuatnya tersentak. Dia menoleh dengan cepat, berharap tidak menyebabkan masalah. Di hadapannya, seorang wanita muda berdiri dengan raut wajah terkejut namun penuh pesona.

"Oh, maaf!" Zev langsung berkata dengan nada menyesal, berharap tidak membuat kesan buruk pada hari pertamanya.

Wanita itu, yang tampak beberapa tahun lebih tua darinya, tersenyum lembut. Rambut hitam panjangnya diikat rapi, dan dia mengenakan pakaian yang sederhana namun elegan, memancarkan aura profesional. "Tidak apa-apa, aku juga tidak melihat ke arah yang benar," katanya dengan suara yang tenang dan hangat.

Zev merasa sedikit lega mendengar nada suara wanita itu. "Aku Zev," katanya, merasa itu adalah hal yang sopan untuk memperkenalkan diri.

"Alana," jawab wanita itu sambil mengulurkan tangan. Zev menjabatnya dengan ragu-ragu, merasakan kehangatan dari genggamannya. "Senang bertemu denganmu, Zev. Mahasiswa baru, ya?"

Zev mengangguk. "Iya, ini hari pertamaku di sini. Aku sedang mencoba mengenal kampus ini lebih baik sebelum kelas dimulai."

Alana tersenyum lebih lebar. "Kamu memilih kampus yang tepat. Tempat ini penuh dengan peluang dan pengalaman baru."

Zev mengangguk lagi, tidak sepenuhnya yakin harus mengatakan apa. Ada sesuatu tentang Alana yang membuatnya merasa nyaman, meskipun mereka baru saja bertemu. Namun, sebelum dia bisa memikirkan lebih jauh, Alana berbicara lagi.

"Aku sedang dalam perjalanan ke fakultas, sebenarnya. Kamu mungkin akan melihatku lagi nanti. Kalau butuh bantuan, jangan ragu untuk bertanya," kata Alana sambil memulai langkahnya kembali.

"Oh, terima kasih. Aku pasti akan mengingatnya," jawab Zev dengan senyum kecil. Dia memperhatikan Alana berjalan menjauh, dan untuk sesaat, Zev merasa ada sesuatu yang aneh namun menarik dalam pertemuan itu. Tapi dia tidak terlalu memikirkannya, meyakinkan dirinya bahwa ini hanya pertemuan kebetulan di hari pertamanya.

Zev melanjutkan eksplorasinya di kampus sebelum akhirnya menuju ke kelas pertamanya. Ruangan kelas itu luas, dengan deretan kursi dan meja yang tampak baru. Beberapa mahasiswa sudah duduk, sibuk dengan ponsel atau berbicara dengan teman. Zev memilih tempat di baris tengah, merasa itu adalah posisi yang aman—tidak terlalu depan untuk menarik perhatian, tetapi juga tidak terlalu belakang untuk tampak tidak peduli.

Dia membuka tasnya dan mengeluarkan buku catatan serta pena, mencoba menenangkan diri. Namun, perasaannya kembali gelisah saat kelas hampir dimulai. Tidak lama kemudian, pintu kelas terbuka, dan Zev mengangkat kepalanya, berharap melihat dosen yang akan mengajar.

Zev tertegun saat melihat siapa yang masuk ke ruangan. Di sana, di depan kelas, berdiri Alana—wanita yang tadi dia temui di jalan setapak. Mata mereka bertemu sejenak, dan Alana tersenyum, meskipun kali ini senyumnya tampak lebih profesional.

"Selamat pagi, semuanya," kata Alana dengan suara yang tenang dan percaya diri. "Nama saya Alana, dan saya akan menjadi dosen kalian untuk mata kuliah ini."

Zev hampir tidak bisa mempercayai apa yang terjadi. Pertemuan singkat mereka tadi pagi tiba-tiba terasa sangat berarti. Sekarang dia mengerti mengapa Alana memiliki aura yang berbeda—dia adalah dosen muda di kampus ini.

Alana mulai memperkenalkan diri dan menjelaskan silabus mata kuliah. Zev berusaha keras untuk fokus, mencatat poin-poin penting yang disebutkan Alana. Namun, pikirannya terus kembali ke pertemuan pertama mereka. Zev merasa semakin canggung, tidak tahu bagaimana harus bersikap. Apakah Alana juga mengingat pertemuan mereka? Ataukah itu hanya kebetulan yang tidak berarti?

Setelah kelas selesai, Zev segera merapikan barang-barangnya dan bersiap untuk pergi. Namun, sebelum dia berhasil mencapai pintu, Alana memanggilnya.

"Zev, bisakah kamu tinggal sebentar?"

Hati Zev berdetak lebih cepat saat dia berbalik. Alana masih berdiri di depan kelas, tersenyum padanya. "Ada yang ingin aku bicarakan."

Zev berjalan mendekat, merasa lebih gugup daripada sebelumnya. "Ada apa, Bu Alana?"

Alana memandangnya dengan tatapan yang lembut. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Aku tahu hari pertama di kampus bisa sangat menegangkan, terutama jika kamu tidak kenal siapa-siapa."

Zev terkejut mendengar perhatian Alana. "Oh, terima kasih, Bu. Saya baik-baik saja. Hanya sedikit gugup, tapi saya yakin semuanya akan baik-baik saja."

Alana mengangguk, masih tersenyum. "Aku senang mendengarnya. Jika kamu butuh bantuan, baik soal mata kuliah atau apa pun, jangan ragu untuk menghubungiku."

Zev merasakan kehangatan dalam kata-kata Alana. Dia merasa bahwa Alana benar-benar peduli, bukan hanya sebagai dosen, tetapi sebagai seseorang yang ingin memastikan bahwa mahasiswa barunya merasa nyaman. "Terima kasih, Bu. Saya akan mengingatnya."

Setelah percakapan singkat itu, Zev meninggalkan ruangan dengan perasaan campur aduk. Dia senang mengetahui bahwa Alana adalah orang yang ramah dan perhatian, tetapi dia juga tidak bisa menghilangkan perasaan canggung yang muncul setiap kali mereka bertemu. Ada sesuatu tentang Alana yang menarik perhatiannya, tetapi Zev tidak tahu apa itu.

Saat hari berlalu, Zev terus memikirkan Alana. Dia merasa tertarik pada dosennya itu, tetapi dia juga tahu bahwa perasaannya mungkin salah tempat. Alana adalah dosennya, dan Zev adalah mahasiswanya. Namun, pertemuan mereka yang tidak disengaja dan perhatian Alana membuat Zev tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan bahwa ada sesuatu yang lebih di antara mereka.

Hari pertama Zev di kampus berakhir dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Tapi satu hal yang pasti—kehidupan kampusnya baru saja dimulai dengan cara yang tidak pernah dia bayangkan. Dan di tengah semua kegelisahan dan kebingungan, ada satu hal yang selalu ada di pikirannya: Alana.









Tbc

HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang