Bab 14 : Suara yang Berbisik dalam Rona Tersembunyi

1 0 0
                                    

Setelah diantar pulang oleh Krisan, Ortiz mencoba menenangkan diri dan bersiap untuk penampilannya di kafe malam itu.

Ortiz melangkah masuk ke rumah dengan perasaan campur aduk. Sore itu langit mendung, seakan meresapi suasana hatinya yang gelisah. Krisan baru saja mengantarnya pulang, dan sekarang dia harus bersiap-siap untuk penampilannya malam ini. Saat dia melepas sepatu dan menggantungkan tasnya, dia merasakan ponselnya bergetar di saku celana.

Dia mengambil ponselnya, berharap itu hanya pesan biasa dari teman atau pengingat penampilan nanti. Namun, yang dia temukan adalah pesan yang membuat darahnya terasa membeku.

[Kamu mau Krisan tahu siapa kamu sebenarnya? Apa kamu yakin dia akan tetap menganggapmu sebagai adik yang dia cintai kalau dia tahu perasaanmu yang sebenarnya? Aku tahu kamu akan tampil di The Vibe Lounge, hati-hati di sana.]

Ortiz merasakan tubuhnya gemetar. Dia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, tapi cemas dan ketakutan menyelimuti pikirannya. Dia tahu siapa pun pengirim pesan ini, dia mengetahui rahasia terdalam yang bahkan belum berani dia akui kepada dirinya sendiri. Pandangannya berkabut, ruang sekitarnya terasa mengecil, seakan dunia berkonspirasi untuk menelannya hidup-hidup.

Dengan langkah lemas, Ortiz menuju meja makan, di mana nenek Umira sudah menunggunya dengan semangkuk sup hangat di depannya. Aroma kaldu yang biasa membuatnya tenang kini tak sanggup mengusir rasa panik di dadanya.

"Nak, kenapa wajahmu pucat begitu?" tanya nenek Umira, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.

Ortiz mencoba tersenyum, meski jelas terlihat dipaksakan. "Tidak apa-apa, Nek. Mungkin sedikit lelah saja."

Nenek Umira menatapnya dengan mata yang sarat dengan kebijaksanaan. Dia tahu ada sesuatu yang mengganggu cucunya, tapi dia juga paham bahwa Ortiz bukan tipe yang mudah menceritakan masalahnya.

"Kalau ada yang mengganggu, kamu bisa cerita ke Nenek, Nak. Jangan dipendam sendiri," kata nenek Umira lagi, sambil menyuapkan sesendok sup ke mulutnya. "Nenek tahu kamu kuat, tapi semua orang butuh tempat untuk bersandar."

Ortiz menelan ludah, merasakan kepahitan yang tidak ada hubungannya dengan sup di depannya. "Terima kasih, Nek. Aku hanya... ingin fokus untuk penampilan nanti malam."

Namun, pesan itu datang lagi. Layar ponselnya berkedip, menampilkan kata-kata yang membuat dadanya terasa sesak.

[Berapa lama lagi kamu akan menyembunyikan perasaanmu yang kotor itu? Krisan tidak akan pernah menerima kamu. Jangan mimpi, Ortiz.]

Nenek Umira tersenyum kecil, mengangguk dengan pengertian. "Nenek akan mendoakan supaya kamu bisa tampil dengan baik. Jangan terlalu dipikirkan, ya?"

Ortiz hanya mengangguk, meski pikirannya masih berputar-putar dengan pesan yang baru saja dia terima. Selesai makan, dia segera keluar rumah, mencoba menenangkan hatinya yang semakin gusar.

Udara sore yang sejuk seharusnya bisa menenangkan, tapi Ortiz merasa dingin, bahkan angin yang berembus lembut membuatnya menggigil. Dia menghidupkan motornya dan melaju menuju kafe. Pesan-pesan itu terus datang, satu demi satu, menghantam mentalnya tanpa ampun.

[Kamu pikir Krisan akan tetap mendukung kamu kalau dia tahu? Semua orang akan meninggalkanmu, Ortiz. Kamu hanyalah beban.]

Setiap pesan adalah serangan baru, menambah beban yang sudah hampir tidak tertahankan. Ortiz meremas ponselnya, menahan napas sejenak sebelum menghembuskannya perlahan.

Sepanjang perjalanan, bayangan pesan itu terus terngiang di kepalanya, mengusik setiap celah ketenangan yang coba dia ciptakan.

Ketika akhirnya dia berhasil mengendarai motor menuju kafe The Vibe Lounge, perasaan was-was terus menghantui. Pesan terakhir yang diterimanya benar-benar mengguncang:

Something In The AirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang