Bab 8 : Resonansi Rasa yang Tak Terucap

2 0 0
                                    

Ortiz duduk termenung di bangku taman kota ditemani papan skate, merasa dirinya terjebak dalam pusaran emosi yang tak kunjung mereda. Hari itu, langit terlihat mendung, namun tidak cukup untuk menurunkan hujan. Angin sore yang lembut meniupkan rasa dingin yang meresap hingga ke kulit, seolah menggambarkan suasana hatinya yang penuh kebingungan.

Dengan jaket denim favoritnya yang sedikit lusuh dan celana jeans robek di lutut, Ortiz tampak kasual, tapi wajahnya yang muram jelas menunjukkan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dia mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat ke Bella dan Azmi, mengajak mereka untuk bertemu di kafe favorit mereka.

Sore itu, kafe kecil bernama "Café Haven" menjadi tempat pelarian bagi mereka bertiga. Kafe ini terletak di sudut jalan yang tidak terlalu ramai, dengan nuansa vintage yang dipenuhi perabot kayu dan dinding bata ekspos yang memberikan rasa hangat dan nyaman. Lampu-lampu temaram menambah kesan intim, cocok untuk percakapan yang lebih pribadi.

Ortiz tiba lebih dulu dan memilih meja di dekat jendela, tempat di mana mereka biasa duduk. Dari jendela, ia bisa melihat gerimis mulai turun, menambah kesan melankolis pada sore itu. Dia melepas jaketnya, menggantungkannya di sandaran kursi, lalu menghela napas panjang sambil menunggu teman-temannya tiba.

Tak lama kemudian, Bella masuk ke kafe, mengenakan sweater oversized berwarna krem yang dipadukan dengan rok mini hitam dan sepatu boots kulit coklat. Rambut hitam panjangnya diikat menjadi ekor kuda, dengan beberapa helai rambut jatuh di samping wajahnya. Senyum hangat selalu menghiasi wajah Bella, meski kali ini ia bisa melihat ada sesuatu yang berbeda dari ekspresi Ortiz.

Azmi datang tak lama setelah Bella. Dia mengenakan hoodie biru tua dengan logo band rock favoritnya di dada, dipadukan dengan celana jeans hitam dan sepatu sneakers putih yang sedikit kotor. Azmi adalah tipe orang yang selalu berhasil membuat suasana menjadi ringan dengan candaan dan sikap santainya. Namun, melihat Ortiz yang tampak serius, ia menahan diri dari membuat lelucon seperti biasanya.

Mereka bertiga duduk bersama di meja yang dipenuhi dengan minuman hangat—latte untuk Ortiz, cokelat panas untuk Bella, dan cappuccino untuk Azmi. Setelah beberapa basa-basi dan tawa yang terasa sedikit dipaksakan, Ortiz akhirnya memutuskan untuk membuka diri.

"Aku... mau ngomong sesuatu yang agak berat," Ortiz memulai, suaranya pelan namun terdengar jelas di antara suara hujan yang semakin deras di luar. Bella dan Azmi saling pandang sebelum fokus pada Ortiz.

"Ada apa, Ortiz? Tumben nih kelihatan serius," Azmi mencoba mencairkan suasana dengan senyum kecil, namun nada suaranya penuh perhatian.

Ortiz menundukkan kepala, jari-jarinya menggenggam cangkir latte yang sudah mulai mendingin. "Aku... aku bingung dengan perasaanku sendiri. Soal Krisan."

Bella mengerutkan kening, menunjukkan rasa ingin tahunya. "Maksudmu? Bukannya kalian udah makin akrab ya? Apa yang bikin bingung?"

Ortiz menghela napas panjang, pandangannya terfokus pada cangkir di tangannya. "Aku nggak tahu, Bella. Aku nyaman banget sama Krisan. Terlalu nyaman, mungkin. Tapi setiap kali aku deket sama dia, rasanya beda. Bukan cuma rasa sayang biasa ke kakak. Aku ngerasa ada sesuatu yang lebih... dan itu bikin aku takut."

Azmi menggeser kursinya lebih dekat, mencoba memberikan dukungan dengan kehadirannya. "Jadi kamu merasa... mungkin ada perasaan yang lebih dari sekadar hubungan kakak-adik?"

Ortiz mengangguk, dan matanya mulai berair. "Iya... tapi aku nggak mau mikir sejauh itu. Aku nggak mau hubungan kita jadi aneh. Aku cuma pengen tahu... apakah ini normal? Atau aku yang mulai salah memahami?"

Bella yang duduk di samping Ortiz, mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Ortiz dengan lembut. "Ortiz, perasaan itu nggak pernah salah. Yang penting adalah bagaimana kamu memahami dan menghadapinya. Kalau memang kamu merasa ada sesuatu yang lebih, nggak ada salahnya buat mengakuinya, minimal ke diri sendiri."

Something In The AirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang