CW❗️: NC 18+ tipis-tipis
__________________________________________"Kemari."
Huh... Baru mendengar satu kata penuh dengan perintah mutlak itu saja tubuh Hema sudah menegang.
Tapi kalau tidak segera dilaksanakan pun Hema jelas tau akan ada rasa sakit lagi yang menyapa tubuhnya seperti saat disekap dulu.
Maka dengan langkah yang agak kaku, Hema berjalan ke arah sang 'Tuan'-nya yang tengah duduk di satu-satunya single sofa kamar itu.
Tangannya memilin gelisah juga gugup sebab orang di depannya kini hanya diam. Apalagi di kala Hema menyadari Johan itu mengenakan sarung tangan latex berwarna hitam, khas sekali ketika akan melayangkan berbagai macam siksaan ke tubuhnya, pasti selalu menggunakan pelindung tangan tersebut seolah jijik bersentuhan kulit dengan Hema.
Padahal seingat Hema waktu ia tersadar pasca tidur panjang kemarin, orang ini malah menyentuh selangkangan Hema tanpa terbalut sarung tangan sekalipun.
"Buka." titah Johan sekali lagi merujuk pada satu-satunya kain yang menutupi tubuh Hema, yaitu handuk yang melilit di pinggangnya.
Kedua tangan Hema sempat mengepal risau. Sembari menarik napas panjang, ia pun menarik pelan lilitan handuknya hingga terlepas.
"Pfffftttt!! "
Hema tersentak kaget saat orang yang jauh lebih dewasa di depannya ini malah menahan tawa.
Apa maksudnya? Ahh... Apalagi. Ya sudah jelas menertawakan Hema yang sekarang tak jelas status gendernya.
Lagi-lagi hal itu membuat Hema geram, tangan mengepal di sisi kanan kiri tubuhnya. Kalau bisa pun Hema akan menghajar orang ini sampai mati karena sudah bersikap semaunya.
Tapi kembali lagi, dilihat dari segala aspek pun Hema yakin dirinya akan kalah telak.
Dari segi bentuk tubuh saja Hema sudah jauh di bawahnya, dan kalau soal tenaga juga pasti akan jauh lebih kalah. Hema ingat sekali waktu dirinya dikurung di ruangan itu, satu tangan besar Tuan-nya ini saja pernah mencekik leher Hema sampai tubuhnya terangkat dan tidak menapak dilantai.
Mungkin secara kasarnya Hema ini hanya unggul dalam hal menggunakan mulut kotornya untuk menyalak, selebihnya nol besar karena ia tak memiliki apapun baik itu dalam hal kemampuan bela diri, kemampuan otak, dan lain-lain Hema jelas tidak ada apa-apanya.
Dan sekarang, sosoknya yang benar-benar tidak berdaya itu hanya bisa diam kala tawa mengejek tertuju ke padanya.
Puas tertawa, Johan bangkit dari duduknya, ia meraih lengan Hema dan menyeretnya ke sisian kosong tak jauh dari sofa.
Disentakkannya tubuh itu hingga jatuh terduduk. Hema meringis sakit tapi tak melawan sama sekali.
Johan jongkok dengan bertumpu sebelah lutut di sisi kanan Hema. Ia bersuara rendah tepat di sebelah telinga Hema membuat si empunya langsung merinding.
"Mengangkang, Hema. Kamu belum lihat bagaimana bentuknya kan? Biar saya bantu tunjukkan dengan jelas ke kamu." ujar Johan.
Ia memang sudah memposisikan Hema jatuh terduduk menghadap dinding yang tertutupi cermin besar jadi kini dengan agak paksa, Johan renggangkan kedua paha Hema supaya mengangkang lebar.
Sontak hal itu membuat Hema menolehkan wajah seraya menutup mata.
Sungguh Hema tak sanggup melihat apa yang ada di depannya. Ia masih belum bisa menerima kenyataan yang ada, bahkan untuk menyentuhnya pun Hema enggan apalagi melihatnya melalui cermin sebesar itu dan dihadapan orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARMA || [Johnhyuck]
Fanfiction[Spin-off dari buku Mas Jendral] Padahal Hema disiksa, mentalnya sudah dihancurkan dan tubuhnya sudah terlalu banyak menerima luka, tapi kenapa hatinya malah menginginkan untuk selalu berada di sisi lelaki kejam tersebut? Mungkin ini memang 'Karma'...