Chapter 3 - Good Luck, B

5.5K 274 0
                                    



Agatha terlihat begitu dewasa sekarang. Sahabatnya terlihat cantik, dia bahkan berdandan, rambut panjang bergelombangnya sekarang bahkan diwarnai cokelat kehitaman. Dulu, jangan harap gadis dihadapannya ini mau menyentuh alat make up dan semacamnya. Agatha akan marah-marah saat teman satu kampus mereka mencoba mendandani gadis ini ketika ada acara di kampus.

Begitu juga dengan mengecat rambut. Dia selalu menolak dengan alasan –nanti dimarahin nyokap- Atha nya berubah, bahkan bukan hanya penampilannya, sikapnya pada Abian pun ikut berubah. Abian lagi-lagi hanya bisa tersenyum masam karena sadar semua salah nya.

Kejadian lima tahun lalu penyebabnya.

Sadar Abian memperhatikannya sedari tadi, Agatha berdehem pelan dan kembali menatap mata sahabatnya, senyum sinis nya sudah hilang, digantikan dengat muka datar yang dari tadi selalu ia tunjukan pada Abian "Kenapa Yan ? Ada yang salah ?"

"Gak, Atha. You just looks... different. Kamu berubah banyak ya semenjak lulus kuliah"

Agatha mendesah saat lagi-lagi nama Atha terucap dari bibir Abian, "Everything has changed, Yan. Semua orang berubah."

"Oh ya, Atha, kamu..." Perkataan Abian terpotong ketika dengan cepat Agatha menegakkan duduknya, dan mencondongkan tubuhnya kearah Abian. Mata gadis itu menatap Abian tajam. Tanpa bisa gadis itu tahan, kata-kata bernada dingin keluar begitu saja dari mulutnya.

"Yan, just stop with aku-kamu dan Atha, things ! Gue bukan Agatha yang dulu jadi stop panggil gue Atha, Atha, Atha ! Atha lo yang dulu udah gak ada !" Dengan gerakan cepat Agatha mangambil ponsel dan dompetnya di atas meja, kemudian berjalan tergesa menuju pintu keluar cafe.

Di luar masih hujan dan Agatha bahkan tak peduli. Agatha membuka pintu cafe dengan tergesa. Sampai di luar cafe, hujan ternyata jauh lebih deras dari perkiraan gadis itu. Kakinya bersiap melangkah, namun ada tangan yang menggenggam pergelangan tangannya erat. Agatha menoleh pelan ingin tahu siapa yang menahannya.

Abian.

"Atha, Jangan pergi..." Abian menunduk sesaat, kemudian mendongak menatap Agatha.

Sialan. Mata itu, mata teduh milik Abian. Mata pria itu berkaca-kaca. Agatha benci mengatakan ini, tapi mata itu memancarkan rasa sakit dan kesedihan yang sama seperti yang dulu Agatha liat dari matanya setiap kali ia memandang cermin. Tapi bagaimana mungkin ? Abian bahkan tak pernah peduli padanya dan kenapa dia sekarang bersikap seolah dia yang paling terluka ?

Agatha masih memandang mata Abian dalam, hatinya bimbang, dan sekali lagi suara serak dan pelan keluar dari mulut Abian, "Jangan pergi lagi, Atha. Jangan..." Suara Abian begitu pelan, kalah dengan suara gemuruh hujan, namun Agatha bisa mendengarnya dengan jelas.

Agatha menunduk memperhatikan pergelangan tangannya yang masih ada dalam genggaman tangan Abian. Gadis itu menggeleng pelan, kemudian melepaskan genggaman tangan Abian perlahan. "Semua gak lagi sama, Bi." Setitik air mata keluar dari mata gadis itu, hati Abian sakit menyadari Agatha lagi-lagi terluka karenanya.

"Semuanya gak lagi sama setelah lima tahun lalu. Kita gak akan pernah bisa kayak dulu lagi. Lo yang mau gue pergi kan ? Lo gak lupa kan sama semua yang dulu pernah lo bilang ke gue. Lo bahkan gak pernah berubah. Lo gak pernah peduli. Gue yang selalu berjuang dalam hubungan ini, dan gue capek. Jadi berhenti. Gue mohon berhenti." Semua kata-kata itu keluar begitu saja dari bibir Agatha, bibir gadis itu bergetar menahan tangis ketika kata demi kata itu terlontar. Rasa sakit yang Agatha tahan lima tahun ini. Semuanya seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.

"Atha, gue minta maaf. Gue bisa perbaikin semuanya. Please... Jangan tinggalin gue lagi. Lo gak tau gimana frustasinya gue setelah lo ninggalin gue kan ? Atha, Please..." Abian masih menatap gadis didepannya, memohon, tangannya kembali meraih tangan Agatha pelan. Menggenggamnya erat seolah takut Atha-nya akan pergi lagi dan tak akan kembali.

"Bukan gue yang ninggalin lo, tapi lo yang mau gue pergi. Lo yang mau." Kalimat itu jelas lagi-lagi membuat Abian terdiam. Agatha benar, bukan gadis ini yang meninggalkannya. Tapi Abian yang menyuruh nya pergi. Abian menggelengkan kepalanya cepat seolah ingin mengatakan bahwa bukan itu yang sebenarnya ia inginkan. Tapi lidahnya kelu, tak ada satupun kata yang mampu terucap.

Abian seperti orang kehilangan arah lima tahun terakhir, hidup tanpa Agatha disampingnya membuat Abian seolah tak tau tujuan hidupnya. Abian bahkan tak seceria dulu saat Agatha masih menghiasi hari-harinya, saat Agatha masih menjadi rumah tempat dia pulang. Bertahun-tahun Abian diam, bertahan, mencoba tak mencari keberadaan Agatha karena dia tak ingin egois dengan kembali membuat Atha-nya sedih jika gadis itu bersamanya.

Bertahun-tahun menahan diri untuk tak mencari keberadaan Agatha, namun Abian tak bisa. Ditahun kelima ini Abian menyerah, memutuskan untuk mencari Atha-nya, mencoba perbaiki semuanya. Kemudian seolah Tuhan mendengar doanya, sore tadi Abian tidak sengaja melihat keberadaan Atha di cafe ini.

Seolah Tuhan memberinya satu kesempatan terakhir, dan Abian tak akan menyerah. Abian tak mau kehilangan Atha untuk yang kesekian kali akibat kebodohannya sendiri. Tidak akan.

Sekali lagi Agatha melepaskan genggaman Abian, dan menggeleng pelan, "Gue pergi, Bian." Abian bahkan tak bisa berbuat apa-apa untuk menahan gadis itu. Dia tak punya alasan untuk membuat Atha-nya kembali kesisinya lagi. Abian bahkan bingung, kenapa dia bisa segusar ini ? Abian hanya ingin Atha-nya kembali.

"Agatha, tunggu." Agatha kembali berhenti berjalan, Abian menghampirinya, membuka payung yang sedari tadi digenggam dengan tangan kiri pria itu. Abian kemudian memberikan payung itu ke gadis dihadapannya. Agatha hanya menatap bingung Abian, alisnya terangkat seolah bertanya –apa yang kau lakukan-

"Lo masih suka gerimis dan gak suka hujan kan ? Lo masih gak suka sepatu kets lo basah ? jadi, pake payung ini. Ya meskipun sekarang lo gak pake kets sih. Nih..." Abian menggoyang goyangkan payung tersebut. Dalam hati Agatha terkaget karena pria dihadapnnya ini masih ingat. Senyum kecil yang nampak dipaksakan terlihat saat Agatha lagi-lagi mendongak menatap wajah Abian.

"Thanks." Agatha menerima payung tersebut dan bersiap berjalan kembali ke kantor saat suara Abian lagi-lagi menghentikan langkahnya, "Agatha." Agatha kembali menoleh, menatap Abian kesal.

"Sekarang, biar gue yang berjuang. Biarin gue yang perjuangin lo dan hubungan kita. Gue gak akan nyerah sampai lo mau jadi Atha-nya gue lagi. Sampai... sampai lo mau panggil gue Bi lagi kayak dulu. Sampai semuanya bisa kembali lagi kayak dulu, Tha. Gue janji gak akan nyerah." Abian terdiam sebentar sebelum kembali melanjutkan ucapannya.

"Jadi, lo cukup diam disana, tunggu, dan liat. Gue yang akan berjuang buat bikin gue dan lo, jadi kita yang dulu." Abian berbicara dengan penuh keyakinan, kedua matanya mantap menatap mata cokelat milik Agatha.

Agatha bahkan diam-diam menahan nafasnya sedari tadi. Ada yang bergetar dihati Agatha saat gadis itu mendengar ucapan Abian. Diam-diam, jauh dilubuk hatinya bahkan Agatha senang dan berharap Abian bisa berhasil mengembalikan kepercayaan gadis itu lagi.

"Terserah lo aja deh, Yan." Mencoba tak peduli, Agatha segera berlalu meninggalkan Abian yang masih menatap punggungnya. Senyum kecil sedikit demi sedikit merekah dibibir Agatha.

Gila. Agatha bahkan tak mengerti kenapa dia tersenyum.

"Sampai ketemu lagi Agatha !" Teriakan Abian lagi lagi membuat Agatha tersenyum sendiri. Agatha berlari kecil menuju kantor sambil bergumamam pelan, "Good luck, Bi."

*****

All You Never SayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang