Chapter 16 - The Truth

2.2K 106 6
                                    

Entah kenapa Agatha langsung menangis sesenggukan saat berada dipelukan Abian. Baju Abian bahkan basah kuyup, tapi Agatha merasa kehangatan yang aneh saat Abian memeluknya. Agatha masih menenggelamkan diri dipelukan Abian, masih menangis. Seolah menyalurkan semua emosi yang ia tahan selama dua minggu lebih ini. Seoalah keresahannya tentang pernikahan, Aldrian, masa lalu, serta menjauhnya Abian meluruh begitu saja ketika telapak tangan pria itu mengusap punggungnya lembut.

Setelah merasa lebih baik Agatha melepaskan pelukannya. Matanya menunduk memandang kakinya yang hanya beralaskan sandal. Mata gadis itu berlari kesana-kemari, mencoba menghindari Abian yang ia tahu sedang memandanginya dalam diam. Agatha bisa lihat belanjaan Abian berserakan di halaman. Mungkin Abian kaget mendapatinya duduk mengenaskan di depan pintu rumah pria itu dan menjatuhkan belanjaannya begitu saja.

"Ayo masuk. Ganti baju. Nanti lo sakit." Kata Abian sambil mengandeng tangan Agatha masuk ke dalam rumah. Agatha hanya diam, belum berbicara lagi. Sampai Abian memberikan handuk, baju dan celana training kebesaran milik pria itu pun, Agatha masih diam.

Setelah membersihkan diri dan ganti baju, Agatha keluar kamar Abian dan mendapati pria itu sudah duduk santai di sofa biasa sambil menggenggam cangkir berisi teh hangat.

Agatha berjalan pelan menghampiri Abian dan duduk disamping pria itu. "Diminum teh nya, Tha. Maaf gue gak punya kopi di rumah."

Agatha tersenyum kecil sambil tangannya meraih cangkir di atas meja dan meminum teh buatan Abian. "It's okay. Teh juga enggak buruk."

Ada keheningan panjang diantara keduanya sebelum akhirnya Abian membuka mulutnya bersuara. "Jadi... lo kenapa ?" Tanya pria itu to the point. Agatha masih diam, matanya kembali memanas mengingat mimpi yang terus mengganggunya belakangan ini. "Sepertinya masalah ini cukup besar dan Aldrian gak tau karena lo memilih dateng ke gue dibandingkan cerita ke tunangan lo." Kata Abian lagi, "Bukannya begitu, Tha ?"

Agatha menunduk, tidak berani menatap pria yang duduk disampingnya. Bibir gadis itu bergetar, seolah mengatakan semuanya begitu berat dilakukan. "Mimpi buruk itu dateng lagi, Bi." Perkataan singkat Agatha langsung membuat Abian mengerti. Gadis disampingnya ini benar-benar tidak baik-baik saja.

"Bayangan pertengkaran orang tua gue muncul lagi. Kilasan kejadian saat Mama bunuh diri di depan mata gue muncul lagi, Bi. Setiap malam, dimimpi gue kejadian itu muncul lagi. Biasanya gak sesering ini, tapi selama dua minggu ini setiap malam gue dihantui sama kejadian-kejadian itu."

Agatha menggelengkan kepalanya kuat seolah berusaha menghilangkan kilasan memori menyakitkan itu dalam pikirannya. "Dua minggu lalu gue sempet berantem sama Aldrian karena dia minta majuin tanggal pernikahan kita bulan Agustus ini. Bulan depan, Bi." Abian diam-diam menegang ditempatnya mendengar perkataan Agatha.

Agatha berhenti sejenak sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Gue gak mau, gue belom siap. Lo tahu kan alasannya ? gue takut... gue takut. Gue gak mau pernikahan gue kayak Mama sama Papa. Gue gak mau berakhir kayak Mama yang tega bunuh diri dihadapan anaknya sendiri." Agatha menangis lagi. Gadis itu menangis dengan kencang, sebelah tangannya menggenggam erat ujung kaus kebesaran milik Abian. Seolah berusaha menyalurkan segala kecemasannya.

"Gue gak mau. Gue takut." Abian mendekat, kemudian membawa gadis itu lagi dalam pelukannya. Tangannya mengelus pelan rambut Agatha. "Lo harus cerita ke Aldrian, Tha." Kata Abian pelan. "Kalau lo enggak cerita, gimana Aldrian bisa tahu ketakutan lo."

Abian masih mengelus pelan kepala Agatha, mencoba memberikan rasa tenang pada gadis itu. "Bi, gue mau tanya boleh ?" Tanya Agatha yang dibalas deheman pelan pria itu. "Tapi sebelumnya gue mau cerita dulu."

All You Never SayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang