Part 1 - Her

972 83 4
                                    

Aku menyebutnya cinta, tak diundang tapi datang begitu saja.

Sedangkan dirimu menyebutnya luka, secarik memori yang kita ciptakan berdua.

***

Akhir bulan Juni menjadi penghujung acara pride month yang diselenggarakan di Bangkok, tepat hari ini acara digelar besar-besaran sebelum tengah malam nanti bulan akan berganti ke bulan Juli. Hiruk pikuk manusia yang hadir membuat Faye dan kedua sahabatnya merasa bosan. Mereka bertiga akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana lebih awal. Mereka berjalan menyusuri jalanan yang sepi, sesekali ketiganya mengusap tengkuknya yang terasa tidak nyaman, entah karena jalanan yang sepi atau karena cerita horror yang terkenal dari jalanan yang sedang mereka jejaki.

"Sepertinya kita salah memilih jalan." Keluh Lux sambil berhenti sejenak. Netranya berpendar mencari kendaraan yang lewat namun harapan hanyalah harapan.

Faye menggenggam pergelangan tangan Lux, gadis yang terkenal irit bicara itu memberi isyarat agar Lux melanjutkan perjalanan mereka. Meski Faye sendiri asing dengan jalanan ini karena sejak kecil ia terbiasa kemana-mana menggunakan kendaraan pribadi. Sementara itu, Ize, berjalan satu meter di depannya. Keluhan terdengar dari gadis berambut coklat itu, sesekali Ize melirik jam tangan Rolex ditangan kirinya. Waktu menunjukan pukul satu malam, dan mereka tersesat.

"Apa kita tersesat di pinggiran kota Bangkok?" Tanya Lux yang diangguki oleh Faye dan Ize.

Untuk beberapa saat ketiganya saling tatap, tak lama tawa renyah terdengar dari ketiganya.

Ketiganya memang lahir di Bangkok namun setelah usia enam belas tahun, Faye pergi ke Amerika karena sang ibu menikah kembali dengan Pria Amerika. Lux? Gadis berambut pendek itu pergi ke Swiss karena orang tuanya yang berprofesi Duta Besar itu ditugaskan di sana dan Ize, gadis bermata sipit itu pindah ke Korea dan tinggal Bersama neneknya di sana. Lima tahun lalu ketiganya memutuskan untuk Kembali ke Bangkok, membangun sebuah perusahaan yang kini di pimpin oleh Faye atas persetujuan Ize dan Lux tentunya.

Prang!

Suara besi jatuh menarik perhatian Faye, Lux dan Ize. Beberapa pria memakai pakaian hitam muncul dari salah satu ruko. Faye mengernyitkan dahinya melihat tattoo dilengan pria itu, tattoo dengan gambar yang sama, Faye merasa familiar dengan logo itu namun dia lupa pernah melihatnya di mana.

"Yhak! Siapa mereka?" Bisik Ize seraya menyembunyikan tubuhnya diantara Faye dan Lux.

"Siapa kalian?" Tanya salah satu pria paling kekar dengan wajah sangarnya, sepertinya pria itu ketuanya.

"Perkenalkan paman aku Lux, ini sahabatku Faye dan Ize." Jawab Lux namun respon yang diberikan para pria itu membuat ketiganya ketakutan. Mereka kini dikelilingi para pria itu, nyali besar yang mereka miliki lenyap Ketika melihat benda-benda yang dipegang para pria itu.

Pria paling sangar mendekati Faye, mata mereka saling beradu. Dengan lancang pria itu menyentuh dagu Faye yang langsung ditepis oleh Lux.

Plak!

Pria sangar itu menampar pipi Lux hingga membuat gadis berambut wolf cut itu terpental beberapa langkah. Faye mendorong tubuh kekar pria itu yang seketika membuat pria bertubuh kekar itu menjadi marah dan balik mendorong Faye. Dengan gerakan cepat Faye berhasil memberikan pukulan tepat diwajah pria kekar itu. Beberapa anak buah si Pria kekar seketika menarik tangan Faye dan menguncinya.

Faye mendengar ringisan Ize dan Lux, darahnya seketika memanas melihat bagaimana kedua sahabatnya diperlakukan dengan kasar. Faye mengamati para pria itu, jumlah mereka sangat banyak dan mungkin akan bertambah, percuma jika melawan.

"Aku akan memberikan berapapun yang kalian minta." Tawar Faye yang seketika direspon kekehan oleh si Ketua.

"Kau pikir kami gelandangan yang membutuhkan uang?" Ucap Pria kekar itu sambal mendekatkan wajahnya pada Faye.

"Aku lebih suka organ manusia." Bisiknya.

Bulu kuduk Faye seketika merinding, astaga apa hari ini akan menjadi hari terakhirnya di dunia? Tidak. Pasti ada jalan keluarnya, dia pasti bisa membawa dua sahabatnya pulang dengan selamat.

Pria kekar itu mengeluarkan sebuah pisau, senyum aneh itu muncul saat tatapannya Kembali beradu dengan Faye, "Bagaimana jika kau yang pertama?"

"Yhak! Jangan menyentuhnya atau aku akan membunuhmu." Teriak Lux namun teriakannya seketika berubah menjadi ringisan karena pukulan yang diberikan pria bertubuh kurus yang mengunci tangannya.

Pria bertubuh kekar itu mengarahkan pisaunya pada Faye namun belum sempat pisau itu menyentuh Faye sebuah kaleng minuman kopi menyentuh dahinya. Pria itu murka dan mencari pelaku yang berani melemparnya dengan kaleng minuman itu. Mata tajamnya beradu dengan mata sipit yang berdiri beberapa meter darinya.

"Anak kecil, berani-beraninya kau." Teriak Pria itu.

"Bukan aku yang melemparmu tapi Marissa." Sanggah gadis bermata sipit itu sambil menunjuk gadis cantik yang memakai dres putih, Marissa.

"Tapi Yoko yang menyuruhku." Ucap Marissa tidak terima dengan tuduhan yang diberikan gadis imut bermata sipit yang bernama Yoko itu.

Yoko menghela napas, "Aku menyuruhmu membuang bekas minumanku ke tong sampah Marissa tapi kau malah melemparnya pada paman itu."

"Kau tidak mengatakan itu."

"Yhak! Jangan berdebat, pergi dari sini atau aku akan menghabisi kalian." Ancam pria kekar itu seraya mengacungkan pisaunya pada Yoko, bukannya takut gadis imut itu malah mendekati pria kekar itu.

"Kau ingin membunuhku?" Tanya Yoko. Pria kekar itu mengayunkan pisaunya namun tertahan saat salah satu anak buahnya membisikan sesuatu yang seketika membuat wajahnya memucat.

Tatapan Yoko bertemu dengan mata indah milik Faye, untuk beberapa saat waktu seperti berhenti hanya menyisakan mereka berdua yang sama-sama tenggelam dalam tatapan . Ada rasa yang belum pernah Faye rasakan saat melihat mata satu garis milik gadis yang menyelamatkan hidupnya itu. Entahlah..

"Yo, apa kau mengenal mereka?" Tanya Pria kurus yang tadi berbisik pada ketua nya.

"Mereka teman kakakku dan dia," Yoko menunjuk kearah Faye.

"Dia calon istri kakakku. Tolong lepaskan mereka." Pinta Yoko dengan suara lembutnya. Para pria itu dengan patuh melepaskan tawanan mereka, sebelum pergi si paman kurus menawarkan untuk mengantar mereka namun dengan halus Yoko menolaknya.

Faye, Lux dan Ize bernapas lega, mereka bersyukur setidaknya hari ini bukan hari terakhir mereka di dunia. Tuhan masih memberinya kesempatan untuk hidup melalui gadis imut yang kini sudah berjalan meninggalkan mereka.

"Hei." Teriak Lux yang seketika menghentikan langkah Yoko dan Marissa.

"Terima kasih." Ucapnya tulus.

Marissa tersenyum seraya menganggukan kepalanya sebagai tanda bahwa terima kasihnya diterima, sementara Yoko hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Dia kemudian menarik Marissa untuk segera pergi dari sana, ia tidak ingin tenggelam pada tatapan Faye yang menarik dirinya pada rasa nyaman.

Sepeninggal Yoko dan Marissa, Lux mengarahkan jari telunjuknya di depan wajah Faye. "Wait. Yoko bilang kau adalah calon istri kakaknya? Apa dia adiknya Charlotte?" Tanya Lux, namun sepertinya Faye enggan membahas keluarga calon istrinya itu.

"Tapi P'Char anak tunggal, bagaimana mungkin dia memiliki adik." Gumam Ize.

Faye menghela napas, tak ingin membuang waktu lagi Faye menarik tangan keduanya untuk melanjutkan perjalanan karena malam sudah menjelang pagi. Dia butuh istirahat dan tidak ingin memikirkan apapun, energinya terkuras habis oleh kejadian barusan.

***


Marriage With(out) LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang