Dimensi Calia 5

64 41 89
                                    

🌸selamat membaca🌸

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌸selamat membaca🌸


🌸🌸🌸

Busnya berhenti dan semua orang berlarian untun turun, kami pun juga karena perjuangan kami masih belum selesai. Setelah satu tumbang didalam bus, beberapa orang lainnya masih ada dibelakang mengejar kami. Masih cukup jauh dari kami, tapi orang ini sudah lebih dulu menggendongku di punggungnya dan berlari memasuki gang – gang bangunan.

Situasi semakin menegangkan saat mereka berpencar dan datang dari segala arah, sempat orang ini kebingungan dan aku pun dibuat semakin panik. Kami berdua bingung harus kemana lagi dengan kondisi kami akan terkepung.

“Matilah…. Aku akan habis ditangan cowok – cowok seram itu.”

Tidak menyerah orang ini menendang salah satu diantara mereka, satu tendangan saja tapi sudah berhasil menumbangkan satu orang.

Dia terus berlari membawaku dan bersembunyi di antara dua tempok yang sempit dan sangat pas untuk kami berdua masuk,

“Sial!! Mereka kemana?”

“Tadi lari kesini.”

“Payah banget, nangkap satu dua orang aja gak becus.”

Aku menahan nafas, takut suara nafasku terdengar oleh mereka disana. Tubuhku menegang dan keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Sumpah aku seumur hidup belum pernah merasakan rasanya dikejar sekelompok gangster, sangat menakutkan.

“Ya sudah, ayo cabut. Kita cari ditempat lain.”

Mereka pergi dan akhirnya aku bisa bernafas lega, masih diposisi yang sama aku mengatur nafasku agar bisa kembali tenang sama halnya dengan orang ini. Dia dari tadi tidak pernah melepaskan helmnya, setidaknya buka sedikit kaca helmnya. Apa dia tidak pengap, pasti saat ini wajahnya sudah berkeringat panas didalam sana.
Dia berbalik, menatapku. Dia bisa melihatku dengan kaca helm hitamnya, aku yakin itu. dilehernya itu ada tato, tato salib, tubuhnya juga tinggi dan tegap dan bahunya yang lebar. Proporsi tubuh yang ideal untuk seorang pria, aku yang berada dihadapannya terlihat begitu mungil sekarang.

“Iiihhhh sadar brengsek.” Ucap geram dan kesal.

Pukk!! Puk!! Puk!!!

Aku memukulnya untuk melampiaskan kekesalanku padanya, karenanya aku harus terlibat dengan ini semua. Karenanya juga aku jadi harus kehilangan buah jeruk yang diberikan kakek tadi, padahal aku sangat ingin merasakan buah jeruk itu.

“Aawww…. Aawwwhh. Apaan sih.” Protesnya tidak terima.

“Kamu yang apaan, ini semua gara – gara kamu tahu gak! Aku jadi ikut di kejar juga sama mereka, bagaimana kalau misalnya tadi itu aku tertangkap.” Ucapku dengan terus memukulnya.

Ia menepis tanganku kasar. “Kamu nyalahin aku? Padahal tadi aku udah berjuang juga buat nyelametin kamu, kalau bukan karena aku mungkin mereka udah mukulin kamu tadi.”

Kami berdua saling bertatapan, aku menyorotinya dengan tatapan sinis. Aku berhenti memukulnya karena ucapannya ada benarnya juga, setidaknya dia bertanggung jawab karena tidak meninggalkanku dan bersusah payah menyelamatkanku juga. Kalau saja dia tidak membawaku pergi, mungkin sudah dari tadi dia bisa lolos dari kejaran para berandalan itu.

“Udah sekarang kamu boleh pergi. Daahh.”

Dia menyuruhku pergi tapi dia yang pergi, dia berbalik dan berjalan berniat untuk pergi meninggalkanku.

Tidak bisa dibiarkan. “Heeiiii.”

“Aaarkkkhhh.”

Baru saja aku akan meraih dan menarik jaketnya, namun aku terlanjur terduduk dan meringis dengan lututku yang ternyata terluka. Ini akibat aku yang tadi terjatuh saat orang itu menyerempetku di lampu merah, tapi bukan lukanya yang buat sakit. Saat akan melangkah tadi tiba – tiba saja terasa pergeseran antara sendi – sendi tulangku.

“Kenapa lagi?”

Orang itu berbalik dan melihatku, dengan masih mengenakan helmnya.

“Sakittt!!” Cicitku.

Beberapa menit kemudian……

“Ayo.”

Aku mendongak melihatnya mengulurkan tangan padaku, meminta untuk berdiri.

“kemana?” Tanyaku.

“Jangan banyak bertanya, ayo ikut saja.” Ujarnya.

Aku melihat uluran tangannya belum ada niat untuk aku beranjak dari dudukkku, dan disini kamu sudah cukup lama tapi dia masih belum meninggalkanku. Berarti dia tidak seburuk yang aku pikirkan.

“Kamu tidak mau? Ya sudah, tinggal saja disini.”

Dia berkata mengancam dan aku segera meraih uluran tangannya sebelum ia benar – benar menariknya dan pergi meninggalkan aku disini sendiri.

Ia memeganggi lenganku saat kami berjalan keluar karena kaki kananku masih terasa sakit saat aku memijakkannya, lagi pula kenapa harus sakit sekarang sih padahal saat berlari tadi tidak terasa sakit sama sekali.


🌸🌸🌸


Kami berakhir di depan minimarket, aku duduk sementara orang ini mengoleskan cairan antibiotik pada luka ku.

“Ssshhh aahhkk, pelan – pelan sakit.” Ucapku yang kesekian kalinya mengeluh, dia menatapku sinis sekarang, ia mungkin jengkel karena aku yang sedari tadi mengeluh tak tahan.

Aku menunduk diam sambil memainkan jari tanganku dan dia kembali merawat luka ku, setelah selesai mengoleskan cairan ia kemudian membuka plester untuk ditempelkan pada luka.

“Sudah.”

“Sekarang apa lagi?” Tanya dengan menatapku.

Aku tidak menjawab dan hanya menggeleng pelan, ia meganguk dan membereskan wadah botol, kapas dan samph plastic lainnya. Dia masih berada dibawah, dihadapanku melakukan itu sampai angin yang cukup kencang berhembus dan memuat rokku tersingkap.

Aku terdiam menatapnya beberapa saat dan dia juga terdiam disana mungkin karena ia melihatnya, aku tidak tahu bagaimana ekspresinya di balik helmya yang tak kungjung ia lepas itu. Tapi seketika aku merasa panas memegangi pipiku yang bersemu merah.

“Aaarkkk dasar cabul.”

Bughh…

Aku menendangnya sampai ia terbaring diterotoar, aku beranjak dan mendengus kesal padanya. Ia tak berbat banyak hanya bisa menatapku bingung sekaligus terkejut karena aku menendangnya.

Setelahnya aku tak mempedulikan dan berjalan pergi meninggalkannya, meskipun kaki kananku sedikit sakit dan harus berjalan pincang tapi sunggu aku tidak ingin lagi melihatnya.







TBC...

Calia Dimension Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang