🏠Rumah 20: Pulang tanpa Ibu

6 1 0
                                    

LANGIT mendung menyelimuti pagi ini, namun udara dingin yang menyelusup melalui sela-sela jendela kamarku tak mampu menyamakan dingin yang kurasakan di hati. Tujuh hari sudah sejak aku tidur lama, tapi waktu seolah-olah tidak bergerak. Aku masih terperangkap dalam kehampaan yang menyelimuti seluruh hidupku.

Aku menatap motor di depan rumah, helm sudah kupasang. Di atas motor, Langga tengah menunggu. Sejak kejadian itu, kali ini dia menjemputku, memastikan aku tidak sendirian melewati hari-hari yang terasa lebih berat daripada biasanya.

"Siap?" tanya Langga singkat, memberikan helm kepadaku.

Aku mengangguk, meski hatiku enggan. Dengan satu gerakan, aku naik ke jok belakang motor. Mesin motor menderu, dan kami melaju di jalanan yang sedikit basah oleh embun pagi. Roda motor memecah genangan kecil, tapi pikiranku melayang ke arah lain.

Sepanjang perjalanan, Langga diam saja, mungkin memberi ruang untuk pikiranku yang tengah berkecamuk. Dia tahu, aku belum siap bercerita tentang semuanya. Tentang mimpi yang seolah nyata saat aku terjebak dalam koma. Tentang bagaimana aku berusaha mencari rumah yang hilang-sebuah rumah yang tidak bisa kutemukan lagi.

Setelah perjalanan panjang, kami akhirnya tiba di sekolah. Langga berhenti di parkiran, dan aku turun dengan pelan. Rasanya berat melangkah ke sekolah, tempat yang dulu terasa seperti rutinitas biasa, kini begitu asing.

"Ayo masuk, kita udah telat," ucap Langga sambil melepas helmnya, mencoba terdengar biasa saja. Aku mengikuti langkahnya menuju kelas, meskipun jiwaku masih tertinggal jauh di belakang.

••🏠••

Di dalam kelas, suasana yang biasanya riuh terasa senyap dalam pandanganku. Aku duduk di bangku dekat jendela, menatap papan tulis yang penuh coretan pelajaran. Tapi pikiranku tak berada di sana. Semua hal yang dulu terasa normal, sekarang justru memancing ingatan tentang Ibu-sosok yang dulu selalu menyiapkan sarapan sebelum aku berangkat sekolah, menanyakan apakah aku membawa semua buku yang kubutuhkan, dan memastikan bahwa aku selalu pulang dengan selamat.

Langga duduk di sampingku, tanpa bicara, seolah-olah tahu bahwa hari ini bukan hari untuk mengobrol. Dia selalu tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam. Dalam diam itulah aku merasakan kehadirannya sebagai sahabat.

Tett!

Jam istirahat tiba. Langga menyenggol lenganku, isyarat untuk pergi ke kantin seperti biasa. Kali ini, aku mengikuti tanpa berkata apa-apa.

Kami bergegas ke kantin. Tapi saat kami tiba, kantin sudah ramai. Kami mengambil tempat duduk di sudut yang agak sepi, jauh dari keramaian. Tanpa banyak bicara, Langga memesan makanan untuk kami berdua. Aku hanya duduk di sana, menatap meja di depan sambil memikirkan percakapanku dengannya tadi pagi.

Tak lama kemudian, makanan tiba, tapi aku hanya memandangi piring di depanku. Selera makanku hilang, tenggelam bersama semua kenangan tentang Ibu. Langga menatapku sebentar, sebelum akhirnya berkata dengan hati-hati, "Fin, gua tahu lo masih berat ngelepasin Ibu."

Aku menunduk. Rasanya setiap kali orang menyebut nama Ibu, hatiku mencelos.

"Lo nggak sendirian, Fin. Lo masih punya diri lo sendiri, lo masih punya hidup lo," lanjutnya. "Gua nggak bilang lo harus lupa, tapi lo harus bisa jalanin hidup. Gua tahu ini susah, tapi lo nggak bisa terus kayak gini."

Aku menelan ludah, mencoba menghilangkan rasa sakit yang timbul di tenggorokanku. Langga benar, aku nggak bisa terus-terusan terpuruk. Tapi, setiap kali aku mencoba melangkah, aku selalu teringat bahwa aku pulang ke rumah yang sudah kehilangan Ibu. Rumah yang dulu terasa penuh kehangatan, kini dingin dan sunyi.

••🏠••

Setelah sekolah selesai, kami berdua kembali ke parkiran. Langga menatapku sejenak sebelum berkata, "Mau ke mana sekarang?"

Aku menghela napas. "Pulang."

Kata itu terasa asing di mulutku. Pulang, tapi ke mana? Apakah rumahku masih bisa disebut rumah tanpa kehadiran Ibu? Kami berdua naik ke motor, lalu Langga mengantarku pulang. Selama perjalanan, aku terus bertanya pada diriku sendiri-bagaimana rasanya pulang tanpa Ibu?

Langit mulai gelap ketika kami tiba di depan rumahku. Hujan rintik-rintik turun dari awan kelabu, membuat suasana semakin dingin dan sepi. Langga berhenti di depan pagar, menunggu aku turun.

"Gua balik dulu, ya," ucapnya sambil melambaikan tangan. Aku hanya mengangguk, membuka pagar, dan melangkah masuk ke halaman rumah.

••🏠••

Malam ini, aku duduk di ruang tamu, memandangi foto keluarga yang tergantung di dinding. Foto itu diambil beberapa tahun lalu-aku, Ayah, dan Ibu tersenyum bersama di hari ulang tahunku. Senyum Ibu begitu hangat, senyum yang selalu membuatku merasa nyaman. Sekarang, foto itu seakan menjadi pengingat betapa kosongnya rumah ini tanpa kehadirannya.

Aku bangkit dan berjalan ke jendela, menatap hujan yang semakin deras. Pikiran tentang rumah terus berputar di kepalaku. Apakah aku akan selalu merasa seperti ini? Kehilangan arah, kehilangan tempat untuk pulang?

Tapi, di tengah kesedihan itu, perlahan aku menyadari sesuatu. Rumah bukanlah sekadar bangunan, bukan hanya tempat di mana kita tinggal. Rumah adalah orang-orang yang kita cintai. Dan meskipun Ibu sudah tiada, dia tetap menjadi bagian dari rumah yang selalu ada di dalam hatiku.

Aku mungkin pulang tanpa Ibu. Tapi aku masih punya kenangan, masih punya cinta yang dia tinggalkan untukku. Dan selama aku menjaga itu semua, aku tidak pernah benar-benar kehilangan rumah.

••🏠••

True Story. Penulis harap, dengan menyajikan kisah inspiratif ini, pembaca dapat memetik pembelajaran dalam setiap kata yang ditorehkan. Walau hanya sepenggal.

Ditulis pada:
27 September 2024

[END] Pulang Tanpa IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang