8-Rahasia Eka

10 2 1
                                    

Keesokan harinya, menjelang sore, ibu Enji mendapati seseorang menekan bel rumahnya. Wanita paruh baya itu beranjak dari tempatnya, meninggalkan mesin jahit dan helai kain yang masih belum rampung dijahitnya. Begitu pintu terbuka, seorang gadis manis berponi sedang berdiri di sana. Ia tersenyum kepadanya, walau wajahnya sarat akan gundah.

"Halo, tante. Salam kenal, saya teman sekolahnya Eka." Gadis itu menjawab sebelum sempat ditanya.

Ibu Enji tersenyum hangat. "Oh, halo cantik. Ayo silahkan masuk."

Gadis itupun masuk ke dalam bersamaan dengan ibu Enji yang kemudian menutup pintu. Masih dengan senyum yang sama, ibu Enji mempersilahkan duduk dan menawarkan segelas  minuman.

"Terima kasih, tante. Tapi gak perlu repot-repot. Saya di sini cuma mau jenguk Eka sebentar. Ehm....Apa boleh saya lihat keadannya?"

"Kalo boleh tahu nama kamu siapa, ya?" Ibu Enji berbalik bertanya.

Gadis itu tidak langsung menjawab. Ia bingung harus menjawab apa. Tapi tak lama setelahnya ia memberi tahu namanya. "Sandrina." Ia kembali tersenyum. "Boleh saya lihat keadaan Eka?" Tanyanya lagi, sedikit tidak sabaran.

Tanpa ragu ibu Enji mengangguk, ikut membalas senyum. Lantas membawa gadis tersebut menuju kamar tidur Enji. Terlihat Enji  sedang tertidur di ranjangnya. Mereka berdua mendekat. Gadis itu mengamati ruangan tersebut, ada lukisan antariksa di dinding dekat pintu, rak buku yang didominasi oleh buku-buku Sherlock Holmes, Detektif Conan, juga beberapa novel milik Agatha Christie dan komik-komik Junji Ito. Jangan lupakan figura foto di atas meja belajarnya. Di foto tersebut Enji yang masih kecil  berpose memeluk boneka panda, di samping kanan-kirinya ada ayah dan ibunya.

Gadis tersebut kembali mengamati wajah tenang Enji yang sedang tertidur. Seketika hatinya berdesir. Ada sebuah perasaan aneh yang hinggap dalam dadanya.

"Tadi siang Eka kejang-kejang." Ibu Enji membuka topik. Rasanya ia harus memberi tahu kondisi Enji apa adanya. "Saya sempat panggil dokter. Tapi dokter pun gak tahu apa yang terjadi pada Eka. Saya...gak tahu harus berbuat apa." Suaranya bergetar. Bullir air mata meluncur tanpa sekehendaknya.

"Semoga Eka cepat sembuh." Hanya itu yang bisa ia katakan. Jujur, hatinya pun sakit. Ia sekuat tenaga menahan tangisnya.

Ibu Enji menghapus air matanya. "Terima kasih, ya."

"Ehm, tante, boleh beri saya waktu berdua sama Eka? Sebentar aja. Saya janji gak akan macem-macem."

Ibu Enji kembali mengangguk. Lantas meninggalkan dua insan tersebut tanpa sepatah-dua kata. Pintu dibiarkannya terbuka.

Gadis itu membelai surai hitam Enji dengan pelan, takut membangunkan pemuda tersebut. Sebuah tatto bergambar daun sage dengan angka romawi dua terlihat di leher kirinya. Tangannya berpindah  ke leher Enji, sedikit menekan tatto tersebut seraya menggumamkan sesuatu. Tatto tersebut mengeluarkan cahaya kehijauan yang bahkan menembus telapak tangannya. Selang beberapa saat, bersamaan dengan berhentinya gumamannya, cahaya itupun redup lantas menghilang. Dan ajaibnya, wajah Enji yang kepucatan pun terlihat lebih segar.

"Kamu selamat, Eka." Gadis itu kembali membelai rambut Enji. "Walau kayaknya justru gue yang gak selamat kalo sampai ketahuan nenek gue." Ia lantas terkekeh getir.

Ia terisak, tapi segera ditahannya. Berusaha tersenyum seakan-akan Enji akan bisa melihatnya.

"Kamu boleh benci aku, tapi tolong jangan pernah tinggalin aku."

☜☆☞

Kita sudah tahu bahwa jika ada orang yang paling centil dan bucin kepad Enji maka jawabannya adalah Sandrina Eka Putri. Ajaib memang mengingat nama mereka sama, Eka. Kalau boleh jujur, Eka sudah meyukai Enji sejak zaman MPLS, bahkan sebelum Eka tahu namanya. Eka jatuh hati saat pertama melihatnya. Ia bahkan masih ingat bagaimana Enji tersenyum kepadanya, senyum semanis gulali, senyuman sehangat mentari. Sayang sekali mereka belum sempat berkenalan dengan benar saat  itu.

NAWAMARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang