Chapter 5
Mantan Pacar
Bianca akhirnya memesan seporsi taco dan air mineral, ia berencana menyantapnya cepat-cepat lalu pergi. Belum setengah jam berhadapan dengan Evander rasanya sudah sangat muak, bahkan seolah menduduki kurus berduri hingga ia tidak sanggup berlama-lama di sana.
"Omong-omong, sejak kapan kau tinggal di Madrid?" tanya Evander memecahkan keheninga di antara mereka.
"Dulu aku kuliah di sini," jawab Bianca tanpa menyembunyikan kemalasannya menjawab pertanyaan Evander.
Evander yang sudah tahu berpura-pura terkejut dan menaikkan kedua alisnya. "Oh, ya? Aku juga melanjutkan studi di sini. Tapi, kenapa kita tidak pernah bertemu?"
Tidak pernah bertemu lagi jauh lebih baik, kalau perlu selamanya, batin Bianca geram dan dia memilih untuk diam saja.
"Dan, omong-omong sejak kapan kau membuka toko bunga?" Pertanyaan kalinini murni Evander ingin tahu karena di dalam data yang ia terima dari anak buahnya hanya sebatas informasi akademis saja.
Membicarakan toko bunga mata Bianca berbina meskipun sedikit dan ekspresinya masih merengut. "Aku baru memulainya."
"Kenapa toko bunga?"
"Karena....."
"Evan? Evander?"
Bianca menggantungkan kalimatnya karena seorang wanita berambut pirang dengan dandanan kekinian muncul entah dari mana dan langsung mendekati Evander.
"Evan, lama tidak melihatmu. Ya Tuhan, ke mana saja kau?" tanya wanita itu.
"Hai," sapa Evander dan bangkit dari duduknya.
Wanita berambut pirang itu langsung memeluk Evander, sementara bersamaan dengan itu seorang pelayan datang mengantarkan makanan pesanan Bianca dan Evan.
"Apa sekarang kau sedang ada pekerjaan di sini?" tanya wanita berambut pirang yang mengenakan gaun berwarna biru muda itu sembari melepaskan pelukannya.
"Ya."
"Kau menginap di sini?" tanya wanita bernama Ilona Callie itu dengan gaya manja.
"Tidak, aku hanya...."
"Oh, apa wanita itu teman kencanmu?" tanya Ilona sambil menengok kepada Bianca yang dengan tenang sedang menggigit Taco. Sekilas Ilona mengamati penampilan Bianca. "Oh, tidak mungkin. Dia pasti bukan teman kencanmu, 'kan?"
Evander berdehem. "Apa kau mau bergabung bersama kami?"
Ilona langsung menarik kursi di samping Evander. "Aku tidak mengganggu, 'kan?"
Evander mengangguk lalu duduk, tangannya terulur kepada Bianca dan berkata, "Dia Bianca, temanku."
"Kami hanya kenalan lama," sahut Bianca kemudian tersenyum yang dibuat-buat kepada Evander dan batinnya bersorak karena Evander menyipitkan matanya tanda tidak senang.
"Oh, ini seperti sebuah reuni rupanya," kata Ilona sambil duduk.
"Bianca, kau bisa panggil aku Ilona. Aku adalah mantan kekasih Evander ketika kami sama-sama menjadi mahasiswa," ujar Ilona.
Bianca kembali tersenyum yang dibuat-buat. "Mengesankan. Kalian pasangan yang sangat cocok."
"Sayang sekali sekarang dia hanya mantanku, dulu kami putus karena sering bertengkar, dan itu hanya karena kami masih terlalu muda. Kurasa."
Bianca mengangguk, senyumnya masih dibuat-buat. "Sayang sekali."
Namun, setidaknya nasib Ilona jauh lebih baik dibandingkan dengan dirinya yang dibuang seperti sampah oleh Evander setelah dimanfaatkan sedemikan rupa. Mengingat nhal itu membuat Bianca kembali geram dan ingin sekali mencabut wajah Evander.
Bianca mengangkat gelasnya lalu meneguk air putih dari gelas berkaki tinggi kemudian meletakkan kembali gelasnya, setelah menyapu bibirnya menggunakan kain bersih yang tersedia ia mengambil tasnya yang berada di kursi khusus untuk meletakkan tas di dekatnya kemudian berdiri.
"Terima kasih traktirannya," ucap Bianca dan tersenyum mengejek kepada Evander. "Sampai jumpa, Ilona." Lalu Bianca melenggang begitu saja menjauh.
Bianca meninggalkan Four Season Hotel dan karena kebetulan jalan menuju rumahnya melewati toko bunganya. Jadi, Bianca memutuskan untuk singgah ke toko, kebetulan ia juga membawa kunci tokonya.
Ia membuka pintu kemudian masuk dan mengamati ruangan yang didesain sendiri, beberapa menit kemudia duduk di sofa berwarna abu-abu tua yang berada di tengah ruangan.
Bianca menyandarkan kepalanya di sandaran sofa, memejamkan matanya beberapa saat sembari bebberapa kali menghela napas cukup dalam. Rasanya sudah lama sekali tidak menikmati waktu santai, sepertinya sejak memutuskan membuat rumah kaca untuk budidaya bunga impiannya lalu ditambah kematian suami Lisa. Ia hampir tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Bahkan untuk pergi ke salon kecantikan untuk merapikan rambutnya saja tidak ada waktu.
Pagi-pagi sekali ia harus menyiapkan diri membuka toko bunga, lalu memantau beberapa pekerjanya yang mengurus tanaman di rumah kaca lalu merangkai bunga pesanan pelanggannya. Merangkai bunga adalah pekerjaan yang tidak ia serahkan sepenuhnya pada karyawannya. Hanya buket bunga dasar yang ia percayakan pada anak buahnya sementara pesanan yang rumit dan unik ia kerjakan sendiri.
Bianca belajar dari pengalamannya selama empat tahun bekerja sebagai perangkai bunga, toko bunga bosnya dulu sangat ramai sehingga Bianca sering mau tidak mau harus belajar merangkai berbagai macam jenis bunga termasuk rangkaian bunga yang unik dan rumit.
Pada akhirnya ketika Bianca memiliki cukup modal dan keberanian, juga kemampuan merangakai bunga, ia memilih membuka bisnis sendiri meskipun toko bunganya belum bisa dibilang menjadi saingan toko bunga mantan bosnya dulu.
Bianca membuka matanya karena ponselnya berdering, itu mungkin dari Evander, Bianca dengan malas merogoh tasnya untuk mengambil ponselnya. Ternyata panggilan itu dari Lisa.
"Hola," sapa Bianca.
"Bi, di mana kau?" tanya Lisa.
"Aku di toko."
"Apa ada pesananan mendadak?"
"Tidakk aku hanya iseng mampir ke sini."
"Kau baik-baik saja?" tanya Lisa terdengar khawatir.
"Jangan khawatir . Apa kau sudah selesai bekerja?"
"Aku sudah selesai bekerja."
"Baiklah, sampai jumpa di rumah."
Bersambug....
Jangan lupa komentar dan kasih bintang bintang biar menyala.
Terima kasih 🍒🍒🍒🍒
KAMU SEDANG MEMBACA
1001 Love
Romance🔞 Adult content! ⚠️ Sesuaikan usia kalian untuk membacanya! Bianca tidak menyangka jika akan bertemu lagi dengan mantan kekasih brengseknya di sekolah menengah atas setelah sembilan tahun tidak bertemu, pria itu kini menjadi seorang CEO di sebuah p...