- Kilas balik September 2020 -Matahari terlihat mulai tenggelam di balik senja. Cahaya keemasan menetes perlahan, menciptakan bayangan panjang yang menari-nari diatas tanah. Langit bertransformasi menjadi kanvas dengan semburat warna jingga, seolah-olah Tuhan sedang melukisnya dengan sapuan kuas halus. Semilir angin menyapa kulit dengan kelembutan yang menenangkan, membawa aroma dedaunan yang mulai berjatuhan.
Saat ini Jeremy berada ditempat yang menjadi alasan kedukaan banyak orang. Disana, tanah merengkuh tubuh yang tak lagi bernafas. Dan diatasnya, angin berbisikkan kisah keabadian. Tempat mengerikan ini hanya di isi dengan banyak duka dari para manusia yang merasakan sebuah kehilangan.
Tidak ada yang bisa Jeremy lakukan selain menangis. Kedua matanya sudah memerah, pertanda ia sudah menghabiskan banyak air mata untuk menetes. Tubuhnya gemetar seperti bunga yang terhempas angin, pemuda bermata elang itu berusaha bertahan meski hampir roboh oleh beban perasaan yang menyesakkan.
Tepat hari ini, tanggal 10 September 2020. Perempuan cantik bernama Gracia Anastasya pergi meninggalkan dunia untuk selamanya. Senyumnya yang dulu menyinari hari hari Jeremy, kini hanya menjadi kenangan dalam lembaran waktu. Jiwanya yang lembut, telah berpulang ke tempat yang lebih damai.
Saat dirinya ; — Gracia — divonis kanker hati stadium akhir, ia hanya bisa berdoa dan berdoa agar Tuhan dapat menyembuhkan penyakitnya. Namun apa daya, semua usaha yang ia lakukan hanyalah sia sia.
"Pulang yuk" suara itu kembali terdengar, lantas Jeremy menolehkan kepalanya ke belakang lalu menggeleng. Bahkan sekedar mengucapkan satu kata pun lidahnya terasa kelu.
"Mau sampai kapan disini terus? Cici udah tenang, jangan menangisi kepergiannya lagi" katanya dengan sedikit tegas. Namun Jeremy hanya tetap diam, ia sama sekali tidak berniat merespon perkataan Pradikta yang notabenya kakak kandungnya sendiri.
"Jangan kaya gini, Jer. Ayo pulang, ayah udah nunggu kita dirumah"
"Lo kalau mau pulang, pulang aja. Jangan khawatirin gue. Gue gapapa, gue mau nemenin Cici disini. Kasihan sekali dia pasti kesepian dibawah sana..." Jeremy berbicara dengan nada bicara yang sangat pelan, menggambarkan jika dirinya benar-benar merasakan sebuah kehilangan yang teramat. Hatinya terasa seperti malam yang tak berujung, gelap dan sunyi tanpa bintang. Rasa kehilangan itu bagaikan badai yang menerjang tanpa peringatan, menghancurkan segala harapan dan meninggalkan reruntuhan kesedihan di setiap sudut jiwanya. Bayang-bayang Gracia yang selalu menghantui membuat Jeremy merasa terperangkap dalam penantian yang tak berujung.
Dikta menghela nafas kasar. Sudah terhitung dua jam ia menemani Jeremy disini. Area pemakaman bahkan sudah sangat sepi, hanya tersisa mereka berdua. "Besok masih ada hari. Gue nggak akan pernah ngelarang lo buat kesini lagi. Gue tau, lo sayang banget sama Cici. Tapi dengan lo yang belum ikhlas kayak gini, itu sama aja ngebuat batin Cici tersiksa"
"Tapi kenapa Cici tega ninggalin gue ya, mas?" pertanyaan sederhana keluar dari mulut Jeremy. Matanya yang penuh dengan gelombang rindu tertuju pada batu nisan yang berdiri kokoh dihadapannya.
Dikta merengkuh pundak Jeremy yang bergetar, seolah-olah menjadi payung di bawah hujan yang sangat deras. "Karena bertemu dan berpisah udah jadi kebiasaan manusia. Lo nggak bisa maksa Cici buat tetap stay didunia ini. Setiap orang yang lahir ke dunia, bakal pergi menghadap ke Tuhan suatu hari nanti. Lo tau, kan? Perihal kepergian itu sepele kok. Sepele bagi orang yang ikhlas, sedangkan lo belum"
Air mata yang mengalir perlahan mulai mereda seiring dengan pelukan yang sangat erat. Dalam keheningan itu, mereka berdua menjadi satu bagaikan dua batu karang yang saling menopang di tengah gelombang samudera kesedihan.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Perihal waktu
Teen FictionPerihal hari itu, anggap waktu hanya bercanda. Waktu akan berjalan seenaknya tanpa dia tahu setiap seret yang dia tinggalkan selalu menggoreskan luka yang tidak semudah itu untuk disembuhkan. Ditengah hiruk pikuk kota yang tak pernah berhenti, Jere...