Chapter 01

163 143 76
                                    


Yogyakarta, 01 Januari 2024

Semburat cahaya matahari berhasil masuk melalui celah-celah jendela

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semburat cahaya matahari berhasil masuk melalui celah-celah jendela. Kabut tipis yang menyelimuti bumi seperti selimut kapas yang menenangkan, sementara itu embun berkilauan di dedaunan bagaikan mutiara yang tersembunyi. Burung-burung berkicau seperti menyusun simfoni alam yang menyambut kelahiran hari. Jalanan yang sepi perlahan dipenuhi oleh langkah-langkah penuh harap, seperti lembaran-lembaran buku yang mulai ditulisi cerita baru.

Hari ini bertepatan dengan tanggal 01 Januari 2024. Hari dimana semesta menyambut setiap jiwa dengan pangkuan luas, membisikkan pesan bahwa setiap akhir adalah awal yang baru, dan setiap mimpi layak untuk diperjuangkan.

"Selamat tahun baru" celetukan Dikta berhasil membuyarkan lamunan Jeremy. Pemuda yang kini sudah berusia dua puluh satu tahun itu hanya bisa tersenyum menanggapi.

"Thank's"

"Lo masih kangen sama Cici?" Dikta bertanya ketika netranya tidak sengaja melihat buku album bersampul biru tua yang sudah berada ditangan adiknya.

"Iya"

"C'mon, Jer. Udah 4 tahun, lo nggak mau nyoba buat buka hati lagi? Diluar sana banyak yang suka sama lo, ya seengaknya lirik dikit kek"

"Males, nggak minat" jawab Jeremy dengan ketus, lalu kembali menatap foto foto Gracia didalam album. Setiap halaman yang dia buka selalu mengeluarkan aroma nostalgia, membangkitkan ingatan ingatan yang tersembunyi. Matanya melayang dari satu foto ke foto lainnya, seolah-olah menelusuri jejak memori yang tertinggal.

"Cantik, selalu cantik" gumam Jeremy.

"Terlalu dramatis, Jer. Lo kayaknya harus ikut casting deh biar bisa jadi artis, hahaha" ucap Dikta yang sebenarnya ingin menghibur Jeremy agar tidak berlarut larut dalam kesedihan. Namun yang ia dapatkan hanyalah tatapan sinis dari pemuda yang duduk dihadapannya.

"Lo bisa ngomong kaya gitu karena lo nggak pernah ngerasain apa yang gue rasain. Jadi, tutup mulut lo sebelum gue sumpel pake kaos kaki ayah yang nggak pernah dicuci satu minggu"

"Kata siapa? Gue pernah kok ngerasain kehilangan. Cuma bedanya gue nggak lebay aja"

Jeremy mendecih, muak mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Dikta yang seakan akan menyindir dirinya. Lagipula, apa salahnya mengenang seseorang yang sudah tiada? Karena menurut Jeremy sendiri pun, yang hilang hanya raganya, bukan kenangannya.

Kepergian Gracia waktu itu berhasil membuat dunianya tak lagi sama. Kehidupannya berubah menjadi lautan yang bergelora, penuh badai tanpa pelabuhan tenang. Bagi Jeremy, Gracia adalah sinar mentari yang menyinari hari-harinya, dan bintang yang menuntun malam-malam gelapnya.

Kenangan tentang Gracia pun masih menghantui, seperti bayangan yang tak pernah pudar. Aroma parfumnya yang lembut masih tercium, melingkupi Jeremy dengan kenangan masa lalu yang membawanya pada jurang kesedihan. Setiap detak jarum jam adalah pengingat bahwa waktu akan terus berjalan, namun luka di hatinya tetap menganga seperti luka yang tak kunjung sembuh.

"Jer, gue ngerti perasaan lo gimana. Tapi lo juga harus inget satu hal, hidup nggak akan berhenti meskipun lo kehilangan seseorang yang begitu berarti di hidup lo" Dikta meletakkan tangannya di bahu Jeremy, seolah-olah memberikan dukungan yang tulus.

"Gue tau mas. Tapi apa salahnya gue kangen? Lo tau sendiri belakangan ini gue sibuk karena tugas kuliah yang seabrek. Gue mau ke makam Cici pun nggak sempet. Cuma ini satu-satunya cara yang bisa gue lakuin sekarang"

"Gue nggak bilang kalo lo nggak boleh kangen. Ini wajar kok. Rasa kangen itu manusiawi. Tapi yang gue maksud, jangan biarin rasa itu ngerusak lo dari dalam"

"Iya, mas. Gue ngerti. Tapi setiap kali gue inget Cici, hati gue sesek...."

Dikta menarik napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Lo masih bisa ngomong sama dia. Cici pasti dengerin lo dari sana. Lagipula, dia selalu ada di dalam hati lo, kan?"

Jeremy mengangguk pelan, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. "Tapi kadang rasanya berat, mas. Gue nggak sanggup...."

"Wajar, Jer. Cici adalah bagian penting dari dalam hidup lo. Kehilangan dia nggak akan pernah mudah. Tapi lo harus kuat, bukan cuma buat diri lo sendiri, tapi juga buat Cici"

Jeremy tersenyum lemah. Ia tahu perjalanan ini akan panjang dan penuh liku.

•••

Perihal waktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang