Chapter 05

111 99 63
                                    


Setelah presentasi mereka berakhir, Jeremy dan Sean bergegas meninggalkan ruang kelas. Ada perasaan lega yang menyelimuti keduanya karena tugas yang selama ini menjadi beban telah selesai. Mereka kemudian memutuskan untuk pergi ke kantin, mencari segelas es teh dan camilan ringan untuk mengisi waktu sambil menunggu kelas berikutnya.

Setibanya di kantin, suasana siang yang ramai menyambut mereka. Obrolan dari para mahasiswa menjadi ciri yang khas. Jeremy lalu mengajak Sean menuju meja yang biasa mereka tempati.

Sean meletakkan tasnya di kursi sebelah, lalu menghela napas panjang. "Ah, akhirnya beres juga" gumamnya lega. Dan Jeremy mengangguk setuju.

"Nah, sekarang waktunya buat reward hehe" ujar Sean sambil melambaikan tangan ke arah pelayan kantin untuk memesan makanan.

Saat mereka menunggu pesanan, obrolan mereka mulai mengalir ringan. Topiknya bervariasi, dari rasa lega setelah presentasi, hingga rencana akhir pekan mendatang. Sean bercerita tentang rencananya untuk pergi mendaki gunung Rinjani. Ia tampak antusias, mengayunkan tangannya ke sana kemari, menggambarkan rute pendakian dan pemandangan yang akan ia lihat nanti.

"Lo harusnya ikut, Jer. Nggak ada yang bisa ngalahin pemandangan matahari terbit dari puncak"

"Gue lebih suka jalan-jalan santai di kota, nggak kepikiran buat naik gunung juga"

"Sayang banget, padahal seru lho" Sean menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. Tapi ia tahu Jeremy bukan tipe orang yang mudah dibujuk untuk ikut dalam kegiatan-kegiatan seperti itu.

Beberapa menit kemudian, pesanan mereka datang. Dua gelas es teh dan sepiring kentang goreng diletakkan di meja. Jeremy meraih es teh nya, menyesapnya perlahan seraya menikmati sensasi dingin yang menyegarkan setelah hari yang penuh tekanan.

"Jer"

"Iya?"

"Lo nggak ada niatan buat cari pacar lagi?" pertanyaan konyol keluar dari mulut Sean. Ah, seharusnya pemuda itu tau kalau Jeremy paling sensitif dengan pertanyaan seperti itu.

"Nggak kepikiran"

"Sorry, gue nggak bermaksud" ucap Sean, berusaha memperbaiki suasana yang terasa sedikit canggung.

"Nggak apa-apa. Gue lagi fokus sama kuliah aja sekarang"

Meski Jeremy berusaha terdengar biasa saja, Sean tahu betul ada sesuatu yang lebih dari sekadar fokus kuliah. Pacar terakhir Jeremy, yaitu Cici — masih menjadi bagian dari hidupnya meskipun gadis itu sudah lama tiada. Sean tidak ingin menekan lebih jauh, jadi ia hanya bisa mengangguk pelan.

Namun, di tengah obrolan mereka, pandangan Jeremy tiba-tiba tertuju pada seorang gadis yang baru saja memasuki kantin. Matanya sedikit melebar saat ia mengenali sosok itu — Rintik Sendu, gadis dari kelas sastra yang selalu duduk di sudut perpustakaan dengan buku-buku tebal di tangannya.

"Eh, itu Rintik, kan? Anak sasindo?" bisik Jeremy sambil melirik ke arah Sean.

Sean mengikuti arah pandangan Jeremy. "Iya, itu dia. Mau nyapa?"

"Nggak lah, buat apa? Gue cuma mau mastiin aja sih, soalnya gue pernah denger dari temen temen kalau dia sering nerbitin novel. Beneran, ya?"

"Lah? Lo nggak tau?"

"Gue cuma tau kalau dia anak sasindo. Selain itu nggak banyak sih"

"Rintik itu unik. Kalau lo tanya ke orang yang sering datang ke acara teater, atau bahkan beberapa dosen, mereka pasti kenal dia"

"Maksud lo? Unik gimana?"

"Dia beda. Bukan sekadar anak yang jago teori atau cuma pinter ngomong doang. Rintik itu, ya bisa dibilang dia tipe orang yang bisa bikin lo mikir dua kali setelah ngobrol sama dia"

"Ngobrol tentang sastra, ya?"

"Nggak juga. Dia bisa ngomongin apa aja. Dari filosofi hidup, pengalaman, sampai hal kecil yang biasanya orang anggap sepele. Karya - karya nya juga sering dapet pujian karena kedalaman dan kompleksitas emosionalnya. Lo pernah baca?"

"Belum, emang novel nya tentang apa?"

"Kebanyakan tentang kehidupan remaja. Tapi bukan yang klise, bukan cuma soal cinta-cintaan ala ABG. Dia sering nulis tentang rasa kehilangan, kesepian, dan gimana orang-orang bisa terjebak dalam pikiran mereka sendiri"

Jeremy mendengarkan dengan seksama.

"Gue pernah baca salah satu novel dia yang judulnya Langit Retak. Disitu nyeritain tentang remaja perempuan yang di asingin sama keluarganya. Si tokoh utama ngadepin berbagai tekanan dari luar, tapi yang bikin gue tertarik adalah gimana dia bisa menghadapi tekanan dari dalam dirinya. Waktu itu pas gue baca, gue bener-bener ngerasa kayak lagi memahami isi kepala seseorang. Dan hebatnya lagi, semua itu Rintik tulis ketika dia baru kelas 3 SMA" jelas Sean panjang lebar.

Jeremy menaikkan alis terkejut. "Se keren itu?"

"Iya. Tapi lo nggak akan tau kalau nggak kenal dia lebih dalam" kata Sean sambil tersenyum. "Dari luar, dia keliatan biasa aja, malah kadang pendiam. Tapi begitu dia nulis, atau kalau lo denger dia ngomong di acara diskusi, lo bakal sadar kalau dia punya perspektif yang dalam banget soal kehidupan"

"Lo sendiri pernah ngobrol langsung sama dia?"

Sean mengangkat bahunya sedikit, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. Dia memainkan sedotan sebelum akhirnya menjawab. "Jarang sih. Kenapa emang? Lo kok daritadi nanyain dia terus sih? Naksir?"

"Ngaco. Mana mungkin gue naksir sama orang yang belum pernah gue kenal"

"Ya siapa tau kan"

"Gue nggak mau jatuh cinta lagi, Sean" ucap Jeremy dengan suaranya yang lirih, tapi tegas. "Setelah Cici, rasanya nggak ada yang bisa ngegantiin dia. Nggak ada yang bisa buat gue merasa utuh"

Hening sejenak.

Jeremy menarik napas berat, mencoba untuk menelan perasaan pahit yang mengganjal di tenggorokannya. "Gue nggak akan biarin diri gue jatuh ke dalam cinta hanya untuk merasakan sakit yang sama"

Jeremy tahu, jika ia membiarkan dirinya jatuh lagi, mungkin kali ini tak akan ada jalan untuk kembali. Bukan karena ia takut untuk mencintai, tapi karena luka yang saat ini belum sembuh. Bagaimana bisa ia memberikan hatinya kepada orang lain ketika sebagian dari dirinya masih terperangkap dalam kesedihan yang tak tertuntaskan? Bagaimana ia bisa membiarkan orang lain masuk ketika yang tersisa hanya puing-puing dari cinta yang pernah ia bangun bersama Cici?

Ada rasa sakit yang menjalar, memecah keheningan yang seharusnya menjadi tempat bernaung. Apakah ia benar-benar siap untuk merasakan jatuh cinta? Pertanyaan ini terus berputar-putar di kepalanya, mengusik ketenangan yang baru saja mulai ia rasakan.

Jujur, Jeremy merindukan kehangatan dari sebuah hubungan. Mencintai berarti membuka diri untuk kemungkinan terluka, dan Jeremy sudah cukup merasakan perihnya kehilangan. Ia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, terjebak dalam cinta yang tak sempurna dan terikat pada kenangan yang menyakitkan.

"Dan ngebiarin luka itu mendefinisikan hidup lo?"

Pertanyaan tiba-tiba dari Sean seperti mengingatkan Jeremy ; Meskipun kehilangan terasa sangat menyakitkan, tidak ada yang salah dengan mencoba meraih kebahagiaan baru. Namun, seberapa kuat Jeremy untuk melangkah keluar dari bayang-bayang masa lalu? Ia merasakan detak jantungnya bergetar, seolah menanti sebuah keputusan. Dan saat itu, dalam keheningan, ia tahu bahwa perjalanan ini adalah miliknya untuk dijalani. Meski penuh dengan keraguan, tetapi harus ada langkah berani kan?

•••

Perihal waktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang