Chapter 02

147 128 63
                                    

Kafe kecil di sudut jalan itu mulai ramai dengan pelanggan yang datang untuk memulai hari mereka. Didalamnya, aroma kopi segar yang baru diseduh memenuhi udara, menggoda indera penciuman siapapun yang melangkah masuk. Suara mesin espresso yang berdengung berpadu dengan denting lembut cangkir dan piring, menciptakan irama yang khas. Beberapa pelanggan yang sudah datang langsung duduk di meja, tenggelam dalam buku atau layar laptop. Sementara yang lain bercakap-cakap pelan, tertawa di antara tegukan kopi hangat. Pelayan berkeliling dengan senyum ramah, membawa nampan berisi croissant dan kopi hitam pekat untuk disajikan.

Meskipun bangunan yang baru saja berdiri sejak dua tahun lalu itu tergolong sebagai bangunan baru, tak ayal jika tempat tersebut sudah sangat ramai pengunjung. Bukan hanya karena makanannya yang lezat, desain interiornya yang sangat indah menambah kesan aesthetic bagi siapa saja yang melihatnya.

Dinding-dinding yang diselimuti oleh lapisan cat berwarna pastel menambah kesan yang menawan. Tak lupa juga jendela besar menghiasinya seperti bingkai pada lukisan, memamerkan pemandangan kehidupan yang terus bergerak di luar sana. Pintu kayunya yang berat dan kokoh bagaikan gerbang menuju alam lain. Dan di sekelilingnya terdapat tanaman hijau menjalar, memperhalus tampilan bangunan dengan sentuhan keindahan alam yang seolah sengaja dirajut oleh tangan tak terlihat.

"Gimana perkembangan novel lo? Udah sampai ditahap mana?"

"Masih ngestuck di bab pertengahan. Gue masih nyari kata-kata yang tepat buat nyempurnain isinya. Tapi terkadang rasanya semua ide yang ada di kepala gue berlarian terlalu cepat, dan gue kesulitan buat nangkepnya"

Saat itu Rintik, mahasiswi jurusan Sastra Indonesia sedang asyik menatap layar laptopnya. Tatapannya fokus, sesekali alisnya berkerut ketika mencoba merangkai kalimat yang sempurna untuk novel yang sedang ia kerjakan. Tangannya bergerak lincah di atas keyboard, menuliskan kata demi kata yang mengalir dari pikirannya. Ia selalu merasa nyaman di sini, di kafe yang telah menjadi tempat favoritnya sejak tahun pertama kuliah.

Sejak kecil, Rintik sudah akrab dengan karya-karya para penulis besar seperti Pramoedya Ananta Toer dan Chairil Anwar. Setiap kali membaca, ia selalu tenggelam dalam kata-kata. Meresapi setiap makna yang tersirat di balik kalimat-kalimat indah itu.

Sementara itu, disampingnya ada Febby, yang tengah mengaduk pelan minumannya dengan sedotan. Ia memperhatikan Rintik dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Sebagai mahasiswi jurusan Psikologi, Febby sangat senang mengamati bagaimana sahabatnya itu tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia mengagumi betapa Rintik bisa begitu fokus dan penuh semangat saat menulis cerita, meski di sisi lain Febby juga tahu bahwa Rintik sering kali terlalu keras pada dirinya sendiri.

"Selalu aja bilang gitu, tapi pada akhirnya lo bisa nyelesain semuanya kan?" tanya Febby.

"Iya sih, cuma gue sering ngerasa kaya ada yang kurang"

"Coba deh buat nggak terlalu keras sama diri sendiri. Semua butuh waktu, dan lo udah ngelakuin yang terbaik. Istirahat sebentar nggak bikin lo kehilangan cerita yang udah lo buat"

Rintik merenungkan kalimat yang di katakan oleh Febby. Memang, Febby selalu tahu apa yang harus dia ucapkan di saat-saat seperti ini. Dengan senyum tipis yang masih menghiasi wajahnya, Rintik meletakkan laptopnya ke samping dan menyandarkan punggungnya di kursi.

"Lo bener, gue terlalu tenggelam dalam pikiran gue sendiri sampe lupa nikmatin apa yang ada di depan mata" ujar Rintik akhirnya. Suaranya lembut namun santai.

Febby tersenyum simpul, senang melihat perubahan kecil di wajah Rintik. Ia tahu betapa perfeksionisnya Rintik, bagaimana setiap kata yang ditulisnya selalu penuh pertimbangan. Tapi Febby juga tahu bahwa ada kalanya Rintik butuh jeda, sejenak menarik diri dari dunianya yang penuh cerita dan kembali ke realita yang sederhana.

"Ah, gimana kalo kita pesen sesuatu yang manis? Seperti vanilla cake? Atau ice cream? Mungkin itu bisa bikin pikiran lo lebih tenang" usul Febby sambil melirik buku menu yang berada di atas meja.

"Boleh deh"

Febby melambaikan tangan ke arah pelayan dan memesan sepotong kue vanilla yang memang selalu menjadi pilihan Rintik setiap kali mereka ke sini. Sementara menunggu, mereka melanjutkan percakapan yang lebih ringan. Febby bercerita tentang kasus-kasus menarik yang dibahas di kelas psikologi, sementara Rintik mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengajukan pertanyaan yang membuat Febby berpikir lebih dalam.

Ketika kue tiba, aromanya yang khas langsung mengisi udara di sekitar mereka. Rasa vanilla yang manis bercampur dengan lembut seolah langsung melumerkan kekhawatiran yang tadi menghantui Rintik.

"Feb, lo tau? Kadang gue lupa betapa sederhana-nya kebahagiaan ini" kata Rintik sambil menatap kue di depannya. "Hanya butuh sedikit rasa manis dan waktu yang tepat"

"Lo terlalu sering terjebak dalam isi kepala lo sendiri" sahut Febby. "Ngga apa-apa buat berhenti sebentar, nikmati apa yang ada di depan lo. Dunia nyata juga punya cerita yang menarik"

Rintik terdiam, tetapi di dalam hatinya membenarkan perkataan Febby. Mungkin selama ini ia terlalu sibuk menciptakan dunia dalam pikirannya sehingga lupa menikmati dunia di sekitarnya. Kehidupan sederhana di kafe ini, dengan secangkir ice coffee dan sepotong kue, bersama seorang sahabat yang selalu ada untuknya ternyata bisa menjadi momen yang sangat berarti.

"Mungkin aja gue perlu lebih banyak waktu. Waktu di mana gue nggak harus nulis, dan nggak harus nyiptain apapun"

"Lo berhak untuk itu, Rintik. Nggak semua momen harus diubah jadi cerita atau ide" ucap Febby.

Rintik mengangguk, merasa seolah-olah beban yang selama ini ada di pundaknya perlahan mulai terangkat. Ia sadar bahwa selama ini ia sering kali membebani dirinya sendiri dengan harapan-harapan yang tinggi, dengan kesempurnaan yang sulit dicapai. Namun saat ini, di kafe ini, ia merasa tidak perlu menjadi apa-apa selain dirinya sendiri - seorang gadis yang hanya ingin menikmati vanilla cake dan ice coffee.

"Gue seneng kita bisa kayak gini. Lo selalu tahu apa yang gue butuhin, bahkan sebelum gue sadar akan hal itu"

"Kita saling melengkapi bukan? Lo dengan imajinasi yang luar biasa, dan gue yang berusaha buat ngejaga lo biar tetap membumi"

Saat itu juga, Rintik merasa damai. Ia tahu bahwa dunia yang ia ciptakan melalui tulisan-tulisannya akan selalu menjadi bagian dari dirinya. Namun untuk saat ini, dunia nyata dengan segala kesederhanaannya juga layak untuk dinikmati, dan ia bersyukur memiliki sahabat seperti Febby yang selalu mengingatkannya akan hal itu.

Mereka tertawa bersama, tawa yang hangat dan tulus. Di luar, hujan perlahan lahan mulai turun. Membasahi setiap bangunan dan jalan raya. Rintik menatap ke luar jendela, merasakan betapa indahnya momen ini - momen yang tidak akan ia tulis dalam cerita apa pun, tetapi akan ia simpan di dalam hatinya sebagai kenangan yang tak tergantikan.

•••

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Perihal waktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang