00.00

158 143 53
                                    


1 Minggu setelah kematian Gracia.


Tersedu, menangis dijalan pulang, mengingat kembali seberapa lama waktu yang Jeremy lewati untuk sampai di titik ini.

Malam ini, adalah malam yang sangat panjang baginya. Jeremy duduk di sudut kamarnya yang sunyi, dikelilingi oleh keheningan yang seolah olah menyerap semua sumber kehidupan. Lagi dan lagi, bayangan tentang Gracia masih membekas di sudut pikirannya.

Hampir setiap malam Jeremy terbangun dengan perasaan sesak. Kehilangan Gracia bukan hanya sekedar kehilangan seseorang, tetapi juga kehilangan arah, harapan, dan sebagian dari dirinya.

Setiap sudut rumah, setiap suara angin, dan bahkan bayangan matahari di pagi hari mengingatkannya kepada sang kekasih. Ketika Jeremy mencoba untuk melanjutkan hidup, ia merasa seakan terseret mundur. Jeremy sadar, meskipun orang-orang di sekelilingnya terus mengatakan bahwa waktu akan menyembuhkan luka, tetapi ada bagian dari dalam dirinya yang tahu bahwa dia tidak akan pernah sama lagi.

"Aku beruntung punya kamu, Ci. Aku harus jadi yang paling beruntung untuk sekedar memiliki kamu, kan? Maafin semuanya ya? Maaf aku nggak pernah bilang langsung ke kamu, aku takut kamu geli karena selama ini aku yang bajingan..." Jeremy menarik napas panjang, dadanya terasa sesak. Ia tahu permintaan maaf ini tidak akan pernah sampai, tetapi mengatakannya adalah satu-satunya cara ia bertahan, dan satu-satunya cara untuk mencoba menghadapi penyesalan yang kian menghimpit.

"Kamu selalu cantik, Ci. Aku nyesel kenapa nggak dari dulu bilang kalo aku sesayang ini sama kamu. Aku terlalu gengsi buat ngungkapinnya, maaf...." ucap Jeremy seraya menatap foto Gracia yang tergantung di dinding.

"kamu tahu, Ci? Aku selalu mikir kamu bakal ada di sini selamanya. Aku terlalu percaya diri, terlalu yakin kalau aku bisa memperbaiki semuanya kapan aja. Tapi ternyata nggak, ya? Sekarang aku di sini, sendiri, sambil ngeliatin foto kamu, berharap bisa ngulang semuanya dari awal. Kalau bisa, aku bakal bilang aku sayang sama kamu dari pertama kali aku ngerasainnya"

"Kalau aja aku bisa punya waktu lebih banyak...." desah Jeremy, nadanya sangat penuh dengan penyesalan. "Aku nggak bakal buang-buang waktu buat mikir soal gengsi atau takut. Aku bakal terus bilang kalau aku sayang sama kamu setiap hari"

Jeremy memejamkan mata, mencoba membayangkan suara Gracia. "Sekarang aku ngerti kenapa orang bilang kita harus menghargai apa yang kita punya sebelum semuanya hilang. Tapi kenapa aku baru ngerti setelah kamu nggak ada di sini, ya? Hahaha, bodoh banget kan aku?"

Tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi, ini semua adalah takdir dari sang kuasa. Jeremy tahu betul bahwa ini hanyalah percakapan satu arah. Yang tersisa hanyalah sebuah penyesalan yang tidak akan pernah hilang, tidak peduli seberapa kali ia meminta maaf kepada foto yang diam membeku di dinding itu.

__________

"Mata lo kenapa sembab? Abis nangis ya semalem? Nangisin apa lagi sekarang? Cici ya? Dia udah tenang di alam sana. Mau lo nangis sampai air mata lo kering juga nggak bakal ngerubah keadaan. Berhenti ya? Jangan ngelukain diri sendiri jauh lebih dalam lagi...."

Suasana tiba tiba mendadak hening. Jeremy terdiam, seraya menatap lantai tanpa berkata-kata. Tangannya gemetar, seperti sedang berusaha menahan sesuatu yang sulit untuk dijelaskan. Cahaya matahari yang masuk melalui ventilasi pun seakan tak mampu menembus dingin yang merayapi tubuhnya. "Lo tuh nggak ngerti gimana rasanya jadi gue, mas Dikta..." bisiknya.

Sementara itu, Dikta, yang berdiri tak jauh dari Jeremy, menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Nggak ngerti gimana lagi sih, Jer? Selama satu minggu ini lo cuma diem di kamar, ngomong sendiri, gue ajak ngobrol juga nggak pernah lo respon. Please lah, jangan karena lo kehilangan Cici, hidup lo jadi berantakan. Perjalanan lo masih panjang, ayo nikmatin semuanya selagi bisa"

"Gue cuma takut, mas..."

"Takut apa?"

"Takut lupa sama wajahnya, suaranya, senyumannya, cara dia berjalan, cara dia memperlakukan gue selama ini, gue takut semua kenangan ini hilang didalam ingatan gue"

"Jer, kenangan itu nggak akan pernah hilang. Mereka cuma bersembunyi, bersembunyi di tempat yang paling dalam. Suatu saat nanti, lo bakal temuin lagi kok. Meskipun nggak secerah dulu, tapi mereka bakalan tetap ada di sana. Percaya sama gue ya?"

"Tapi gimana kalau kenangan ini bener-bener hilang, mas? Gue pernah denger 7 tahun setelah kematian seseorang, kita bakal lupa sama semuanya"

"Duh, susah nih nasehatin orang yang lagi putus asa" gumam Dikta. "Jeremy sama Cici udah lama ngejalin hubungan. Bahkan dia pernah ngomong ke ayah kalo mau ngelamar Cici setelah mereka lulus kuliah. Tapi mau gimana lagi? Jeremy nggak bisa merubah takdir. Ya, Tuhan, tolong bantu adik gue buat ngelupain semuanya. Jujur, gue nggak tega lihat dia yang kaya orang linglung begini.... "

Perasaan gelisah mulai mengisi dadanya. Dikta bisa melihat bagaimana duka itu mencengkeram Jeremy dengan kuat, menyeretnya ke dalam jurang kehampaan yang dalam. Ia mengalihkan pandangannya sejenak, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Udara di ruangan terasa semakin berat, penuh dengan kesunyian yang membuat setiap detik berlalu begitu lambat. Di sudut matanya, ia bisa melihat Jeremy yang tetap terpaku di tempat seolah dunia luar tidak lagi memiliki arti apa pun.

•••

Perihal waktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang