Rintik berjalan pelan di tepi trotoar. Angin malam yang dingin menembus kulitnya yang tipis, membuatnya langsung menggigil seketika. Malam ini kota tampak lebih sunyi dari biasanya. Jalanan yang seringkali dipenuhi oleh suara kendaraan kini hanya dihiasi dengan gemerisik dedaunan yang berhembus kencang.
Ia merapatkan hoodie yang sedang ia kenakan, berharap dingin diluar bisa menyamarkan dingin yang bersemayam di hatinya.
Seraya menyusuri jalanan yang semakin sepi, Rintik teringat obrolan terakhir bersama Febby tentang film Korea yang baru saja tayang. Febby, dengan antusiasme yang khas, menceritakan setiap detail adegan favoritnya. Membuat Rintik tertawa sampai lupa waktu. Kafe yang mereka singgahi tadi seolah menjadi dunia lain bagi Rintik, tempat di mana tidak ada masalah dan tidak ada ketakutan. Tapi sekarang, setelah langkahnya semakin dekat dengan rumahnya, bayang bayang sang ibu kembali menghantui.
Rumah. Satu kata yang terasa begitu menakutkan bagi Rintik. Bukan tempat yang penuh kehangatan atau kasih sayang, melainkan penjara dingin dengan sosok ibu yang selalu menuntut. Setiap kali Rintik hendak pulang, ada rasa berat yang menyelinap di dadanya, seperti ada tali tak kasat mata yang menjerat, membuat Rintik selalu ingin berbalik arah.
Rintik tahu betul. Sesampainya di rumah, sang ibu akan selalu menunggunya. Bukan, bukan dengan senyuman atau pelukan hangat seperti yang didambakan setiap anak, tetapi dengan sorot mata penuh kebencian dan kemarahan yang tak pernah bisa ia pahami. Sudah sejak lama ibu berubah menjadi seorang yang dingin. Setiap kali Rintik pulang, ia merasa masuk ke dalam jurang yang gelap dan dalam. Seakan-akan rumahnya bukan lagi tempat berlindung, melainkan kandang dari segala penderitaan yang tak berujung.
Pikirannya tiba-tiba melayang ke kejadian beberapa hari lalu. Suara bantingan pintu, jeritan ibu yang memakinya tanpa alasan jelas, dan tangannya yang mendarat keras di pipi Rintik, semua itu berulang setiap hari tanpa ampun.
"Hufttt..." Rintik menghembuskan napas pasrah. Langkahnya terhenti didepan rumah mewah bertingkat dua. Gadis bersurai coklat itu menatap bangunan dengan cat dominan berwarna putih dengan mata yang sedikit sayu. Ada keinginan kuat untuk tidak pulang malam ini. Mungkin saja Rintik bisa bermalam di rumah Febby atau berjalan tanpa tujuan hingga pagi datang. Namun ia tahu, lari tak akan menyelesaikan apapun.
Dengan suara berderit, pintu terbuka perlahan.
"Wow, darimana saja kamu? Masih ingat buat pulang ternyata?"
Sial. Suara ibunya begitu dingin dan penuh ejekan.
Rintik menelan ludah. Jantungnya berdegup lebih cepat. "Maaf ibu, tadi hujan deras"
"Hujan? Itu saja alasanmu?" sang ibu — Anita — berdiri, langkahnya tegas mendekat ke arah Rintik. "Hujan tidak pernah menjadi alasan untuk pulang terlambat"
Rintik mundur selangkah, tubuhnya semakin terdesak oleh tatapan tajamnya. "Maaf..." ucap Rintik dengan suaranya yang serak.
"Kamu pikir hanya dengan bilang 'maaf' semuanya akan selesai? Kamu pikir saya ini siapa? Pembantu yang bisa kamu abaikan begitu saja? Hanya karena hujan, kamu merasa punya alasan untuk tidak patuh terhadap saya?"
Rintik menggeleng. "Sumpah, demi apapun aku nggak bermaksud kayak gitu, Bu. Aku lupa bawa payung tadi, mangkanya aku nunggu di kafe sampai hujannya reda"
"Kamu ini hidup di dunia yang keras, Rintik. Dunia ini tidak peduli apakah kamu basah atau kering. Kamu pikir semua orang akan menunggu dan memberi maaf karena alasan hujan?" tanya sang ibu dengan sinis.
"Aku nggak mau pulang basah kuyup, Bu. Aku pikir lebih baik nunggu sebentar lagi"
"Sebentar? SEBENTAR KAMU BILANG???!! Kamu selalu punya seribu alasan. Kamu kira saya tidak tahu kalau kamu hanya mencari waktu untuk bersenang-senang di luar sana? Kamu selalu saja melawan, selalu mencari celah untuk menghindar dari tanggung jawabmu"
"Aku nggak ada niatan buat menghindar" jawab Rintik dengan suara gemetar, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku hanya butuh sedikit waktu buat diri aku sendiri. Apa itu salah, Bu? Aku juga manusia, kan?"
"Niatmu bukan menghindar? Lalu apa ini?!" suara ibu semakin tinggi. "Setiap kali ada tugas yang harus diselesaikan, kamu selalu punya alasan. Selalu ada yang lebih penting daripada tanggung jawabmu di sini"
"Tapi ibu nggak pernah nyoba buat ngerti aku. Ibu cuma ngelihat aku sebagai orang yang harus selalu patuh, selalu nurut tanpa mempertanyakan apapun. Aku bukan boneka, Bu. Aku juga punya perasaan"
"Lalu apa yang kamu inginkan sekarang? Kebebasan? Supaya kamu bisa berbuat sesuka hati di luar sana? Apakah hidup bersama saya terasa seperti beban bagimu?"
Rintik terdiam, ia menyeka air matanya. Garis-garis di wajah sang ibu semakin jelas terlihat, mengukir kerasnya hidup yang telah dijalaninya. Setiap kata yang terlontar dari bibir ibu terasa seperti duri, menusuk tepat di hati Rintik.
"Cengeng!" bentaknya.
"Bu, apakah tangisan ku ini begitu hina di matamu? Apakah rapuhku ini begitu memalukan? Jika air mata ini salah, lalu di mana tempat untuk semua rasa sakit yang nggak bisa aku deskripsikan?"
"Kamu berani menjawab saya??? Setelah semua yang saya lakukan untukmu, ini balasanmu?!"
"Aku cuma pengen didengar..."
"Hiidup ini bukan soal mendengarkan keluhanmu saja. Semakin kamu lemah, semakin kamu akan diinjak! Lihat dirimu sekarang, menangis seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa!"
"Aku cuma pengen ibu tau kalau aku juga lagi berjuang. Aku udah berusaha kuat, tapi aku juga manusia Bu. Aku punya batas..."
"Jangan bicara soal batas di hadapan saya! Kamu tidak tahu apa artinya berjuang. Sejak kamu lahir, hidupmu sudah dipermudah. Tapi sekarang kamu malah mengeluh? Menangis seolah dunia berakhir hanya karena sedikit tekanan"
Air mata Rintik kembali mengalir, hatinya semakin hancur mendengar ucapan ibunya. "Bu, aku nggak pernah bilang kalau ini mudah. Aku cuma pengen sedikit pengertian, sedikit rasa sayang tanpa dihakimi"
Plak
Rintik tersentak. Kepalanya terlempar ke samping. Pipinya memanas akibat hantaman yang mendadak. Suara napas ibu terdengar berat, terengah-engah oleh amarah yang sudah tak terbendung lagi.
"Kamu pikir siapa yang sedang kamu hadapi sekarang?! Saya ini ibumu!"
Rintik membeku di tempat. Tangan kirinya secara refleks menyentuh pipi yang kini terasa berdenyut sakit. Air mata yang semula perlahan-lahan menetes kini mengalir deras.
Udara di sekitar mereka terasa semakin tebal, penuh dengan kemarahan dan luka yang tidak terlihat. Sementara itu, suara jam dinding yang berdetak pelan seperti menambah tekanan pada suasana yang semakin suram.
Tanpa berkata apapun lagi, Rintik berbalik dengan langkah gontai.
Tangisnya semakin deras saat ia sudah berada didalam kamar. Di balik pintu yang tertutup itu, Rintik membiarkan dirinya jatuh ke lantai. Tubuhnya gemetar hebat sementara isakannya tak bisa lagi ditahan. Dan untuk yang kesekian kalinya, Rintik merasakan keputusasaan yang mendalam.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Perihal waktu
Teen FictionPerihal hari itu, anggap waktu hanya bercanda. Waktu akan berjalan seenaknya tanpa dia tahu setiap seret yang dia tinggalkan selalu menggoreskan luka yang tidak semudah itu untuk disembuhkan. Ditengah hiruk pikuk kota yang tak pernah berhenti, Jere...