Malam menjatuhkan selimut gelapnya, membungkus langit dengan taburan bintang yang berkelap-kelip redup seperti mata yang lelah. Angin berbisik pelan, membawa aroma tanah yang menyegarkan. Cahaya bulan pucat menetes dari celah awan, menyinari halaman rumah dengan sinar lembut yang hampir tak terasa. Kesunyian itu nyaris memekakkan, hanya sesekali dipecah oleh nyanyian jangkrik yang bernada melankolis.
Kedua kakak beradik tampan yang saat ini tengah duduk di teras rumah. Tatapan mereka kosong menembus kegelapan malam. Pikiran mereka juga berputar-putar tak menentu, seperti terperangkap dalam pusaran amarah dan kekecewaan. Pembicaraan dengan ayah tadi terasa seperti racun yang lambat laun merembes ke dalam hati. Setiap kata mengoyak ikatan kepercayaan yang dulu begitu kuat. Ayahnya — sosok yang selama ini mereka pandang dengan hormat, kini terasa asing.
"Huh..." Jeremy menundukkan kepala, menggenggam kedua tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Ingatan akan senyum ayahnya, nasihat-nasihat bijaknya, semua ini sekarang tampak palsu.
"Gue masih nggak bisa percaya tentang semua ini..." gumam Dikta. "Ayah selingkuh? Jer, lo yakin sama apa yang lo bicarain?"
Jeremy mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Sudah cukup lama ia menyimpan rahasia ini, berharap bahwa Dikta tidak perlu tahu. Namun, sepertinya waktu sudah tidak memungkinkan lagi untuk terus menutupinya. Ia mengangkat kepala, menatap Dikta yang tampak begitu terluka oleh kenyataan ini.
"Mas, gue nggak mungkin asal ngomong" Jeremy mulai berbicara. "Gue nggak cuma sekali lihat mereka. Ayah dan wanita itu, mereka udah lama berhubungan, bahkan sebelum ibu meninggal"
"Apa maksud lo?" tanya Dikta tidak mengerti.
Jeremy lalu mengeluarkan ponsel dari kantong celana. Ia membuka galeri foto dan menunjukkan beberapa gambar kepada Dikta. "Gue punya bukti. Foto-foto ini diambil dua tahun lalu, waktu ibu masih hidup. Gue nggak pernah bilang ke siapapun karena gue nggak pengen nyakitin hati lo. Tapi sekarang, kayaknya lo juga harus tau"
Dikta menatap foto-foto itu dengan tatapan kosong. Di layar, terlihat jelas sang ayah sedang bersama seorang wanita cantik — wanita yang jelas bukan ibu mereka. Mereka tampak begitu dekat, tertawa bersama di sebuah restoran. Di foto lainnya, ada potret mereka berdua sedang berjalan bergandengan tangan di sebuah taman yang jauh dari rumah.
"Ya, Tuhan..." Dikta berucap pelan. "Lo tahu soal ini, dan lo nggak bilang apa-apa ke gue? Kenapa, Jer?"
"Gue nggak bisa, mas. Waktu itu ibu lagi sakit. Gue pikir lebih baik ibu nggak tahu karena kondisinya udah cukup buruk. Dan lo, lo masih terlalu dekat sama ayah. Kalian saling menyayangi satu sama lain. Gue nggak mau ngehancurin hubungan kalian berdua, ya meskipun gue sendiri juga anak ayah? Tapi gue nggak sedeket itu. Gue pikir mungkin ini bisa berlalu begitu aja, tapi ternyata enggak"
Air mata mulai menggenang di kelopak mata Dikta. Rahangnya mengeras, dan ia mengalihkan pandangannya dari foto-foto tersebut.
"Jadi selama ini ayah pura-pura baik di depan kita? Dia mengkhianati ibu bahkan saat ibu masih di rumah sakit?"
Jeremy mengangguk lemah. "Iya, mas. Jujur, gue juga benci ini. Gue benci karena tau fakta yang menyakitkan, tapi gue sendiri nggak bisa mengubahnya"
Dikta berusaha mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Rasanya seperti ada jurang besar yang tiba-tiba terbuka di antara dirinya dan kenyataan yang selama ini ia percayai. "Apa yang harus kita lakuin sekarang? Gimana kita bisa menghadapi ayah setelah semua ini terjadi? Dia nggak cuma ngehancurin ibu, tapi juga kita. Anak kandungnya sendiri"
Jeremy terdiam, menatap Dikta yang tampak lebih rapuh dari biasanya. Keteguhan yang selalu terpancar di wajah kakaknya itu kini terkikis, meninggalkan rasa sakit dan kebingungan. Sejenak, Jeremy merasa tak berdaya. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia juga hancur, meskipun tak ada kata-kata yang mampu menggambarkan bagaimana perasaannya saat ini.
"Gue bingung. Semua ini gila, mas. Kita tumbuh dengan bayang bayang kalau dia adalah sosok yang sempurna. Tapi sekarang?"
"Selama ini gue selalu berusaha buat jadi kayak ayah. Berusaha ngikutin apa yang ayah ajarin, apa yang ayah contohin. Tapi ternyata semuanya bohong ya, Jer? Gimana bisa seseorang yang gue hormati malah jadi orang yang paling jahat?"
Jeremy bisa merasakan dada kakaknya bergetar karena tangisan yang ditahan. Ini bukan pertama kalinya ia melihat Dikta menangis, tapi kali ini berbeda. Air mata ini bukan karena kemarahan sementara atau frustrasi atas pekerjaan yang berat. Ini adalah keputusasaan yang mendalam ; kekecewaan yang begitu dalam terhadap sosok yang seharusnya menjadi panutan.
"Guku pikir kita butuh bukti..." ucap Dikta akhirnya.
"Bukti? Apa lagi yang perlu kita buktiin, mas? Lo udah lihat sendiri kan? Itu bukti paling jelas yang bisa kita dapetin"
"Kita harus yakin seratus persen. Maksud gue, kita nggak tahu seluruh ceritanya. Mungkin ada sesuatu yang kita nggak lihat, sesuatu yang bisa jelasin kenapa ayah lakuin semua ini. Gue nggak bilang ini bakal ngebuat semuanya baik-baik aja, tapi kita harus siap buat apa pun yang bakal kita hadapi nanti. Kalau kita langsung ngehadapin ayah sekarang, tanpa tahu apapun, kita mungkin nggak akan punya jawaban yang cukup kuat buat diri kita sendiri"
"Lo mau kita nyelidikin ayah?" tanya Jeremy dengan nada skeptis. "Seperti mata-mata?"
"Nggak kayak gitu juga" jawab Dikta. "Kita harus hati-hati. Kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Gimana hubungan ayah sama wanita itu? Berapa lama mereka menjalin hubungan? Apa benar selama 2 tahun? Kita harus cari semua jawaban itu"
"Ini bukan hidup yang gue bayangkan, mas. Gue nggak pernah nyangka kita bakal ada di posisi ini"
Mereka terdiam. Dunia yang selama ini mereka kenal tak lagi sama, dan pertanyaan yang menggantung di udara terasa semakin berat. Bagaimana mereka bisa menghadapi ayah mereka sendiri ketika kebenaran yang perlahan terbuka ini menghancurkan seluruh pondasi kepercayaan mereka?
•••
*foto ayah Jayden bersama selingkuhannya
KAMU SEDANG MEMBACA
Perihal waktu
Teen FictionPerihal hari itu, anggap waktu hanya bercanda. Waktu akan berjalan seenaknya tanpa dia tahu setiap seret yang dia tinggalkan selalu menggoreskan luka yang tidak semudah itu untuk disembuhkan. Ditengah hiruk pikuk kota yang tak pernah berhenti, Jere...