"BIBIIII!" seru Serena bangun tidur.
Ada alasan kenapa Serena bangun bangun sudah bisa teriak teriak kaya gitu. Dia bangun jam 7 kurang, ehh cari cari kok semua manusia di Tacenda 1 nggak ada. Panik dong, apalagi ini rumah kan sangat terpancar aura aura kesejarahan dan apa yaa bisa dikatakan tuh horor.
"Ya Nona?"
"Manaa semuanya?! kok aku ditinggal sendiri!" protes Serena dengan nada mulai naik. Dia nggak mau ketinggalan keseruan yang dilakukan semua orang. Ini gara gara Uncle nya dan Hadden yang maksa ngegame sama nonton horor semalem. Mereka baru istirahat dijam 2 pagi.
"Di kolam berenang belakang Nona." tunjuk Bibi.
"Panggilin Om Pras bibi, aku ada perlu." pesan Serena sebelum pergi meninggalkan art dirumah Tacenda 1 itu. Berjalan dengan cepat sembari menguncir rambut bangun tidurnya yang bahkan nggak terlihat lepek sama sekali. Masih badai.
"Sana berenang." suruh Andrew yang pertama kali menyadari Serena datang dengan bibir manyun, dahi mengkerut tanda marah.
"Nggak mau. Kenapa aku nggak dibangunin?!" protesnya.
"Ya kamu tidur, yang lain udah lari jam 6 kamu tidur pintu dikunci. Bagus kaya gitu? papa nggak pernah izinkan kamu kunci pintu kamar kalau tidur Nola." bukan tanpa alasan Andrew mengatur bab ini.
Dulu sempat kejadian gempa, Nola di masa kanak kanak itu benar benar another level. Anak itu sudah tidur sendiri sejak usia 6 tahun dan ngide ngunci kamarnya. Kala gempa semua sudah lari tapi anak itu malah panik nggak bisa buka kunci. Andrew yang merasa jantungnya merosot tanpa pikir panjang mendobrak pintu kamar putrinya. Dan menemukan nola duduk meringkuk sembari menangis. Maka dari itu Andrew selalu melarang anaknya kunci kamar. Dikeluarga El Harits selalu membiasakan ketuk pintu kapanpun semepet apapun kebutuhannya.
"Maaf, lupa." balas Nola melemah. Haduh niatnya ngambek kok malah terbalik.
"Permisi pak."
"Ada apa? perasaan nggak ada yang manggil, Pras." ingat Andrew.
"Nona ada perlu tadi kata bibi." balas Pras setengah tidak yakin. Ia khawatir kalau ini bibi salah infoin, ini atasannya baru kumpul keluarga kadang ga mau orang lain masuk ke acara.
"Aku tadi nggak bisa mikir, entah kenapa suruh bibi panggilkan om Pras. Maaf." ucap Serena melemah, dia tuh juga lupa ada perlu apa sama salah satu ajudan kakek buyutnya itu.
"Nola. Sudah kembali aja Pras, anaknya nggak butuh apa apa." suruh Andrew.
"Baik pak."
Setelahnya dengan pelan Serena duduk disamping papanya dan melihat kolam renang yang sangat ramai. Jelas ramai semua uncle bahkan anak anak bocil udah nyemplung semua disana. Mau join tapi dia lagi berasa diawasin sama papanya. Alias Serena berbuat salah dan harus berani tanggung jawab bukannya ngambek tanpa alasan.
"Bagus kah Nola melakukan tindakan impulsif kaya tadi, papa tanya?" tanya Andrew lembut, tenang, dan pelan. Dia juga tau nggak baik kasih nasihat anak didepan umum, makanya dia ajak ngobrol santai.
"Enggak papa."
"Itu tau, kalau salah akui salah. Jangan lempar ke orang kesalahan yang sebenarnya dari kamu sendiri. Sana kalau mau berenang." jelas Andrew diakhiri usapan sayang dipuncak kepala putri satu satunya itu.
"Maaf pa, enggak mood berenang." jawabnya. Dia melihat Alan sudah bergabung dengan para Tacenda boys dan sedang melatih renang anak anak kecil. Entahlah Serena merasa Alan disini itu malah nggak butuh dia sama sekali. Dia dengan cepat bisa beradaptasi dan membaur.
"Sini, duduk sama papa." ajak Andrew. Single sofanya kalau untuk pangku Serena ini masih muat. Serena bergabung dalam pelukan papanya, walau sempit, pangkuan dan pelukan papanya yang terbaik.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sense Of Rythm ✔
Teen Fiction[COMPLETED] [IRAMA'S SERIES 2] Sense Of Rythm adalah sebuah rasa dari sebuah irama. Tak seperti sebelumnya, cinta yang baru saja timbul tanpa alasan. Saling mencari dan berusaha mendapatkan. Hingga menemukan sebuah 'rasa' dalam irama. Rumit, menyeba...