The Character 4>>Lily

56 16 83
                                    

POV Lily

Aku bukan orang yang se percaya diri Luna. Aku selalu insecure, selalu ragu dengan diri sendiri, overtinking, tidak tahu cara menghangatkan suasana. Aku selalu menganggap semua orang membenciku.

Aku selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik bagi semua orang. Aku mulai mengikuti organisasi walau aku sangat tidak menyukai perkumpulan, aku harus bergaul dan mengurusi hidup orang lain padahal aku tidak suka itu, aku terpaksa menerima pernyataan suka Geo walau sebenarnya aku masih nyaman sendiri.

Semua yang aku lakukan selama ini adalah terpaksa. Aku tidak menginginkan itu semua.

Kadang aku heran ketika membandingkan diriku dengan Luna, kenapa dia dengan mudah bergaul dan berceloteh se enteng itu, sementara aku sulit walaupun aku sudah sangat berusaha?

Kenapa yang lain bisa, sementara aku tidak?

Mereka melakukan semuanya dengan mudah, sementara aku harus bersusah payah. Kenapa?

Aku sudah susah-susah merangkai kata-kata di otakku untuk momen ini, dan lihatlah sekarang, aku sulit untuk mengutarakannya?

Hingga kali ini untuk yang pertama kalinya, Geo meninggalkanku, setelah sempat marah karena aku yang masih berusaha sangat keras untuk mengucapkan apa yang aku pikirkan.

Kenapa dia marah?

Harusnya aku.

Geo baik, sangat baik. Dan aku khawatir kebaikan Geo selama ini hanya untuk permainan mengingat se gila apa pemikiran Geo, apalagi setelah aku lihat dengan kedua mataku sendiri, Geo satu jok bersama perempuan lain dibelakangku, dan mereka tersenyum.

Aku tidak cemburu.

Hanya saja, aku merasa Geo mempermainkanku. Pria itu berandal, dan bukan tidak mungkin dia hanya menjadikanku bahan taruhan.

"Geo!" panggilku yang tak membuat Geo menghentikan langkahnya. Akhirnya aku mengikutinya.

"Ge! Maafin aku!" ucapku lagi yang kali ini sukses membuat Geo berhenti.

Hei, aku tidak berniat meminta maaf sebelumnya.

Siapa yang bermain di balik ragaku? Aku seperti dikendalikan.

Aku buru-buru melangkah hingga berdiri tepat di hadapannya. Dengan tarikan napas yang cukup panjang, aku memberanikan diri menatap mata Geo. "Ayo putus."

Ya, ini baru apa yang aku pikirkan.

Permainan Geo untuk membuktikan dia tidak mempermainkanku tidak berguna. Aku langsung curiga ketika tadi tidak ada notifikasi apapun dari ponsel Geo.

"Selama ini aku ga sayang sama kamu, aku bohong," ucapku lagi. Sesuai apa yang ada di otakku.

"Aku ga peduli kamu mau sama siapa, boncengan sama siapa. Aku diam karena aku ga nyaman sama kamu," jelasku kemudian.

Geo tiba-tiba terkekeh. Aku mengernyit bingung.

Apa yang dia pikirkan?

Jadi benar, aku cuma bahan permainannya?

"Aku ga tau jalan pikiran kamu, Ly. Tapi aku yakin, kamu sebenarnya ga benar-benar mau putus."

"Kamu mungkin lagi ada masalah, makanya kamu ga tau apa yang mau kamu lakuin. Kita ga bakal putus, sebelum kamu sama aku sama-sama udah tenang," lanjutnya lalu melangkah meninggalkan ku lagi.

Aku terdiam di tempat. Geo benar. Terlalu banyak argumen di otakku yang tak bisa terucap, hingga aku kalut.

"Ly," panggilnya dari belakangku. Yang membuatku seketika menoleh, dan mendapati Geo menatapku dari sana.

"Maafin aku bentak kamu tadi," ucapnya kemudian. Lalu pergi setelah tidak ada respon apapun lagi dariku.

Geo, kenapa?

Aku tidak pantas buat masih kamu pertahankan.

"Lily, Geo terlalu buruk buat lo. Gaada niatan buat tinggalin dia?"

Suara deep seorang perempuan tiba-tiba menyapa pendengaran kiriku, dia kembali ingin membelokkan jalan pikiranku dan membuatku selalu merasa cemas.

Tapi kali ini aku tidak mempedulikannya, aku melangkah bermaksud menghindari makhluk penghasut itu. Karena di sini, aku yang terlalu buruk bukan Geo, dan aku tidak berniat untuk meninggalkannya.

"Ralat, lo yang terlalu buruk buat Geo! Lily Maurachiki!" teriaknya hingga mendengung di telingaku.

"Memang! Tanpa diberitahu pun gue udah tau!" teriakku balik sambil menoleh ke belakang, dan tidak mendapati siapapun di sekitarku.

Delusi lagi.

Aku menghela napasku.

Untuk menetralkan perasaanku, aku terjongkok, menyembunyikan wajahku di dalam lipatan tangan. Aku baru sadar, The Truth itu akan mengungkap kondisi yang sudah rapat-rapat aku sembunyikan.

Kenapa aku baru menyadarinya, ck!

Melelahkan.

Ya Tuhan, kenapa aku diberi karakter yang melelahkan?

Selain sulit mengungkapkan pendapat, people pleasure, gampang terhasut, moody, aku juga gila.

Aku mempunyai mimpi besar yang tidak bisa kugapai dengan karakterku yang seperti ini.

Aku iri dengan Luna. Dia memang cantik, tapi aku iri dengan kemampuan bersosialisasinya, yang memiliki banyak teman, disayang banyak orang, cerewetnya yang berhasil menjadi api unggun untuk orang-orang di sekitarnya, bahkan aku.

Hidupnya pasti sangat bahagia.

Seandainya aku bisa berkata dan bercerita se enteng ketika Luna mengungkapkan ke randomannya, tanpa perlu memikirkan apa aku salah bicara atau tidak.

Aku mengernyit ketika mendengar suara motor berbunyi dari bawah sana. Aku mengenal suara motor itu, hingga aku pun berdiri dan mendekati penyangga untuk melongok ke bawah tepat ke arah parkiran.

Itu Geo, dia mau bolos?

Atau kemana?

Aku semakin bertanya-tanya ketika pria itu melaju setelah sempat menerima telepon seseorang, hingga wajah dengan pembawaan santai itu kini berubah serius. Lalu pergi dengan kecepatan tinggi.

Dia mau ngapain?

Aku semakin yakin untuk mengikuti game ini.

Alih-alih kondisiku, aku lebih penasaran dengan Geo sekarang.

POV end

~•~

TO BE CONTINUE

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

TO BE CONTINUE

THE TRUTH [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang