0.02 Grandma

4.7K 482 6
                                    

Tidak tau berapa lama mereka duduk berhadapan, waktu berjalan sangat lambat bagi Lauren. Entah memang jarak tempuh yang jauh, atau mungkin suasana canggung membuatnya merasa bosan.

Kini kereta kuda berhenti, kusir berkata mereka sudah sampai. Theo keluar dengan menggendong Lauren, hawa dingin yang menusuk kulit membuat gadis mungil itu mengeratkan pelukan pada sang ayah. Namun itu tak cukup membuatnya hangat.

Awan berwarna hitam pekat, suara gemuruh terdengar menakutkan di telinga. Angin berhembus kencang membuat pohon pohon berguncang, seperti ada tanda - tanda akan terjadi badai dalam waktu dekat ini.
Lauren melirik ke belakang, halaman rumah menuju gerbang pertama ternyata berjarak sekitar dua puluh meter.

Di hadapan mereka pengawal dan pelayan berjejer rapi. Mereka menunduk hormat ketika Theo melewati mereka. Di lihat dari luar, kastil de Luca memiliki tiga lantai bercat putih gading. Banyak jendela besar yang membuat cahaya matahari mudah masuk.

Saat memasuki kastil, warna di dalamnya dominan emas, merah, serta warna coklat tua khas kayu. Ada banyak lampu lentera di sini, membuat setiap sisi terang benderang meski keadaan di luar gelap gulita. Mata Lauren melebar, tak berhenti melontarkan pujian ketika matanya mulai memindai setiap sisi ruangan yang mereka lewati.

Guci guci antik dengan harga fantastis berjejer, membuat mata Lauren berbinar cerah.
"Sepertinya kau mengagumi rumahku," ujar Theo. Lauran mengangguk lalu berkata, "iya, aku tidak menyangka papa sekaya ini."

Theo menaiki tangga, dengan Lauren yang masih berada di gendongannya. Sepertinya ini kediaman utama. Seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun terlihat duduk sembari menyeruput teh, di tangannya terdapat surat kabar yang sepertinya baru saja di cetak.

Mendengar langkah kaki, wanita itu mendongak. Setelah meletakkan teh dan koran di meja. Ia bangun dari kursi mendekati mereka, karpet tebal berbulu berwarna merah membuat langkah sepatu mewahnya tak terdengar. Theo menurunkan Lauren di hadapan wanita itu.

"Bagus sekali Theodore de Luca. Sepulang dari medan perang membawa anak kecil? Itu sebabnya kau menolak semua putri bangsawan yang aku jodohkan?" geram ibu Theodore.

Lauren mendekati nyonya Luca, kepalanya mendongak melihat wajah wanita di hadapannya. Wajah tirus dengan rupa menawan. Rambutnya pirang bergelombang, memiliki bulu mata lentik yang cocok dengan mata tajamnya. Bukannya takut, justru ia menatap takjub.

"Cantik sekali," gumam Lauren.

Wanita itu memakai pakaian berwarna peach, dengan renda berwarna emas di setiap sisinya. Nyonya Luca mengibaskan tangannya setelah mendengar ucapan itu, tersipu malu dengan wajah memerah.

Nyonya Luca berjongkok menyamakan tinggi badan dengan Lauren.

"Jadi siapa namamu?" Mata elang itu memindai penampilan Lauren dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Lauren membungkuk memberi hormat ala bangsawan, seperti yang ia lihat dari siaran televisi lalu berkata, "saya adalah anak angkat papa Theodore dari sebuah panti asuhan. Perkenalkan, nama saya Lauren de Luca." Anak itu tersenyum manis dengan mata menyipit.

"Namaku Isabella de Luca, ibu dari papamu Theodore," ujar Isabella. Wanita itu sempat takjub dengannya, bukan merasa takut gadis kecil itu justru menatapnya dengan tenang.

"Senang bertemu denganmu nenek," jawab Lauren. Dengan senyum cerah yang terpatri di wajahnya.

"Bawa dia ke kamarnya, aku ingin berbicara pribadi dengan Theo," ujar Isabella.

Pelayan membungkuk lalu menggendong Lauren. Ia belok ke kanan menaiki tangga, menuju kediaman utama. Tempat yang hanya ditinggali oleh keluarga inti. Kini Isabella sedang menatap Theodore, mengintrogasi anak semata wayangnya.

"Jadi alih - alih mengadopsi anak laki - laki sebagai pewaris kau membawa anak perempuan?" geram Isabella.

Tatapan tajam dari sang ibu membuatnya bergidik ngeri. Tidak ada musuh yang menyeramkan di medan perang melebihi amarah ibunya. Bahkan mendiang ayahnya, sang tiran medan perang sebelumnya juga takut kepada sang istri. Beri tepuk tangan untuk nyonya Isabella.

"Ibu, sebagai de Luca kita tidak bisa tunduk kepada siapapun. Itulah prinsip keluarga secara turun temurun. Seluruh anak terlihat penurut, hanya dia yang berani berargumen, bahkan mampu menjawab pertanyaanku," terang Theodore.

Isabella hanya bisa menghela nafas, bagaimanapun juga surat adopsi telah ditanda tangani. Beberapa hari kedepannya, Theodore harus menghadap langsung dengan raja. Menyerahkan surat itu, sekaligus mengenalkan Lauren sebagai anaknya.

***
Setelah berganti pakaian, Lauren dibawa pelayan menuju ruang makan. Isabella dan Theodore telah hadir di sana.

"Selamat siang papa dan nenek," sapa Lauren.

Gadis kecil dengan kaki kecilnya melangkah mendekati kursi di samping Theodore. Ia juga duduk berhadapan dengan Isabella. Tak lama setelahnya pelayan berdatangan membawa nampan berisi makanan. Steak sapi yang aromanya menggugah selera.

Teh dengan aroma rempah di tuangkan satu persatu di gelas mereka. Tak memedulikan hal itu, Lauren menatap daging dengan matanya yang berbinar cerah.

"Kau baru boleh makan setelah Theodore!" ucap Isabella. Memperingati Lauren yang hampir saja menyentuh alat makan, lalu membuatnya mengurungkan niat.

Tak ingin membuat keributan, Theo memilih memulai acara makan siang. Diuar dugaan, suara dentingan keras berasal dari Lauren mengalihkan atensi mereka. Tangan kiri gadis itu mencengkram kuat garpu yang telah menusuk daging, sedangkan tangan kanannya yang memegang pisau mencoba memotong steak itu namun tak kunjung berhasil.

Theodore yang hanya memperhatikan Lauren membuatnya kesal.

"Potongkan daging itu Theodore!" ujar Isabella. Meski tata krama di meja makan tidak memperbolehkan berbicara, Isabel sudah tidak tahan lagi.

Setelah mendengar perintah sang ibu, ia dengan malas mengambil piring Lauren. Lalu mengembalikan saat semua daging itu telah selesai dia potong.

"Kau ini bagaimana bisa menjadi seorang ayah?" tanya Isabella.

"Mungkin karena terlalu lama sendiri, jadi dia tidak peka," ujar Lauren.

Theodore hampir saja tersedak mendengar hal itu saat ia tengah meneguk secangkir teh.

"Kau tau apa bocah?" tanya Theo.

"Aku tau papa tidak memiliki kekasih," balas Lauren.

Isabella tersenyum, sepertinya akan ada sosok yang bisa membuat Theo naik darah.

"Baguslah, hitung hitung pembalasan karena sering membuatku darah tinggi! Rasakan itu anak nakal," batin Isabella.






Putri Angkat Duke Tiran Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang