Mereka akhirnya tiba di depan pintu apartemen Junho. Minjun berlari masuk, meninggalkan Junho dan Haneul sendirian di koridor.
Haneul terdiam sejenak. Dia ingin mengungkapkan perasaannya saja supaya mengakhiri ketidakpastian yang menyakitkan ini, tapi rasa takut menahannya. Apalagi sepertinya Junho tak memiliki perasaan yang sama.
Junho tersenyum hangat dan menoleh ke Haneul, lalu berkata, "Terima kasih karena sudah mengajakku dan Minjun ke turnamenmu dan mentraktir makan. Dia senang sekali hari ini."
"Aku juga senang bisa bersama kalian," kata Haneul sambil tersenyum tipis, mencoba menutupi perasaan sedihnya. Dia tahu ucapan itu tulus, tapi dia hanya mau Junho menganggapnya lebih dari teman karena lelah menyembunyikan perasaannya.
"Kamu pasti lelah," ucap Junho yang menyadari perubahan pada ekspresi Haneul. Namun dia salah mengartikan. Dia mendekati Haneul dan memiringkan kepala sedikit karena khawatir.
Sesaat Haneul membeku. Hatinya sesak melihat Junho begitu dekat dengannya dan wajah tampannya yang cemas. Dia mundur selangkah, mencoba menenangkan diri, lalu memaksakan senyum lagi, berharap tak terlihat dipaksakan.
"Kalau begitu aku pamit. Sampai ketemu nanti," katanya dan mulai berjalan menuju apartemennya.
Junho sedikit terkejut karena Haneul tiba-tiba pergi, tapi akhirnya mengangguk paham. Dia memperhatikan pria itu pergi dan bertanya-tanya apakah dia mengatakan sesuatu yang membuatnya kesal.
Haneul memasuki apartemennya dan menutup pintu sambil mendesah pelan. Dia bersandar, lalu perlahan jatuh ke lantai dan membenamkan wajahnya di tangannya. Air mata yang dia tahan akhirnya lolos dan mengalir di pipinya.
Haneul menangis dalam diam. Kenyataan kalau perasaannya pada Junho sepertinya takkan pernah terbalas merupakan pukulan berat baginya. Rasanya sangat bodoh karena percaya bisa memiliki kesempatan dengan duda beranak satu.
Setelah beberapa menit, dia akhirnya berdiri dan menghampiri sofa untuk merebahkan diri. Dengan keadaan lemas dan patah hati, Haneul menatap plafon. Pikirannya terus memutar ulang senyum Junho, suara tawanya, maupun cara pria itu bicara dengan Minjun.
Saat malam semakin larut, pikiran Haneul terus berkecamuk. Dia tak dapat menghilangkan bayangan Junho dari benaknya. Namun saat bangkit dari sofa dan berjalan ke dapur, soju-nya habis. Mau tak mau dia harus pergi ke minimarket terdekat untuk beli alkohol.
Haneul pun mengenakan hoodie dan keluar dari apartemennya. Kakinya melewati jalan yang sepi dan remang-remang. Begitu sampai di minimarket, dia langsung mengambil dua kaleng soju dan membayar, lalu keluar.
Haneul duduk di bangku luar minimarket. Dia membuka botol soju dan meneguknya, merasakan cairan alkohol membakar tenggorokannya. Perlahan efek alkohol membuat tubuhnya mati rasa, tapi belum mampu menghapus nyerti di hatinya.
Besok kepalanya pasti bakal pusing, tapi untuk saat ini dia ingin lari dari kenyataan meski hanya sementara. Saat membuka sosial media, dia melihat foto teman-temannya yang bermesraan dengan pasangan mereka.
Karena merasa cemburu dan kesepian, dia mematikan ponselnya dan menghela napas panjang. Dia meminum soju-nya yang hampir habis, lalu meracau, "Kenapa orang-orang bisa cepat punya pacar...? Aku juga mau begitu... mau punya pacar..."
Efek alkohol kini membuat pikiran Haneul semakin kacau. Dia meneguk soju-nya lagi dan merasakan dunia di sekelilingnya mulai berputar. Suaranya semakin tak jelas saat melanjutkan, "Aku bodoh... karena mengira... Junho hyeong bisa suka padaku. Jeongmal babo gata⁴⁸..."
Dia tertawa getir, tapi kemudian terisak dan mengoceh tak jelas. Air matanya mengalir saat dia cegukan dan bicara sendirian dalam keadaan mabuk. "Aku cuma mau... dia menggangapku... lebih dari teman. Apakah sesulit itu...?"
Kemudian Haneul menyandarkan kepalanya di meja dan memejamkan mata. Saat mencoba menyalakan ponselnya, pandangannya semakin kabur. Dia terdiam begitu menatap kontak Junho di layar ponselnya. Dengan jari gemetar dan jantung berdebar, dia menekan tombol panggil.
Haneul mendekatkan ponsel ke telinganya. Suara dering bergema lembut di telinganya saat dia menunggu Junho mengangkatnya. Dia terlalu mabuk untuk berpikir apakah dia ingin panggilan itu tersambung atau diabaikan Junho supaya tak perlu ditolak secara langsung oleh pria itu.
Akhirnya suara Junho yang serak karena mengantuk terdengar dari seberang. "Yeoboseyo⁴⁹...?"
Jantung Haneul hampir berhenti ketika mendengar suara Junho. Dia nyari tak bisa menyusun kalimat dengan jelas saat bergumam, "Hyeong... aku mau kamu... mau ketemu kamu..."
Sejenak hening karena Junho mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Sekarang dia sedikit terbangun karena khawatir. "Haneul? Ada apa? Kamu mabuk?"
"Aniyo! Jeo an chwihaesseo⁵¹!" bantah Haneul. Namun dia jelas-jelas sudah terlalu mabuk untuk menjawab pertanyaan Junho. Kata-katanya justru keluar begitu saja tanpa henti saat dia mengakui perasaannya.
"Aku nggak tahan lagi, hyeong... nan neo joahae⁵¹..." ucapnya parau dan sedikit gemetar. Emosinya kini campur aduk. Kalimatnya putus-putus karena isakannya. "Aku nggak peduli kalau hyeong nggak suka aku... aku cuma mau bilang... supaya hyeong tahu perasaanku..."
***
⁴⁸Aku merasa sangat bodoh.
⁴⁹Halo? (Dalam telepon)
⁵⁰Nggak! Aku nggak mabuk!
⁵¹Aku menyukaimu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gangsta Daddy
RomanceKehidupan membosankan Haneul berubah semenjak seorang duda sekaligus mantan gangster, Junho, dan putra kecilnya, pindah sebagai tetangga barunya. *** Penghuni apartemen sebelah, Lee Junho dan putranya, langsung menarik perhatian Kim Haneul. Lambat l...