Sudah lebih dari tiga jam Anindita mengacak-acak kamar kosnya. Bukan tanpa alasan. Ijasah yang selama tiga setengah tahun kuliah entah berada di mana.
"Ijasahku kemana?" Anin hanya bisa terduduk lemas. Kamarnya yang biasanya rapi sekarang tampak berantakan.
Anin menelungkupkan kepalanya diantara kaki. Dia mencoba mengingat kembali, dimana dia menaruh ijasahnya. Tapi sepertinya percuma. Seingatnya, dia langsung pulang setelah acara wisudanya dua hari lalu. Ingin sebenarnya dia menelpon orang tuanya, sekedar menanyakan apakah memang ijasahnya terbawa waktu kedua orang tuanya tapi hal itu tidak dia lakukan. Anin tidak mau menambah pikiran dari kedua orang tuanya.
"Astaga Anin... Ini kenapa kamar jadi kayak gini?" Vani, teman sekamar Anin tentu saja bingung. Saat membuka pintu, pemandangan tak lazim langsung menyapanya. Kamarnya sangat berantakan.
"Kamu kenapa?" Tidak mendapat jawaban dari Anin, Vani lalu ikut duduk di samping Anin.
"Ijasahku hilang. Ini udah kucariin tapi gak ada." Jawab lirih Anin tapi masih bisa didengar dengan jelas di telinga Vani.
"Hah? Kok bisa sih Nin? Kamu udah cari dimana aja?" Sebagai teman sekamar Anin, Vani tahu persis bagaimana Anin. Otaknya memang tidak perlu diragukan. Itu sudah dibuktikan dengan lulus dari fakultas bisnis hanya dalam waktu tiga setengah tahun. Project akhirnyapun mampu mengantarnya menjadi lulusan terbaik. Tapi, itu semua berbanding terbalik dengan kebiasaan cerobohnya.
"Udah. Semua tempat udah aku bongkarin tapi enggak ada." Suara Anin sekarang bergetar, menandakan dia menahan tangisannya.
Tanpa banyak omong lagi, Vani langsung meletakkan tas nya dan lalu mulai menyisir kamar kos mereka berdua. Mencoba untuk kembali mencari satu lembar ijasah Anin, tapi sepertinya usahanya tidak membuahkan hasil. Akhirnya, setelah satu jam, Vani memilih untuk mendudukkan dirinya di samping Anin. Vani mencoba menenangkan Anin yang isakannya semakin jelas terdengar.
"Nih ya, kalo emang gak ketemu juga, bisa gak nanti kamu ke kampusmu dan minta buat dicetakkan ulang?" Vani mencoba untuk menghibur sekaligus memberikan kemungkinan jalan keluar untuk Anin, tapi hanya gelengan lemah yang diberikan Anin.
Vani lalu lebih mendekatkan diri ke Anin. Dari samping, diraihnya tubuh Anin dan membiarkan Anin bersandar di lengannya. Mungkin dengan ini bisa sedikit menenangkan Anin.
"Dicoba aja besok ke kampus. Gak mungkin kan kampus gak punya arsip. Pasti punya. Kalo emang ntar ada biayanya buat cetak ulang, iyain aja. Kalo mahal, mbak bantu ya. Kebetulan tadi bonus bulanan mbak udah cair" Vani memang sudah bekerja sebagai staf administrasi di satu perusahaan.
Malam menjelang. Biasanya Anin selalu cerewet dan selalu saja bercerita dengan ceria, tapi kali ini tidak. Dia hanya murung dan diam saja. Bahkan dia selalu menunduk sedari tadi.
"Udah dong Nin. Itu mie ayamnya dimakan. Kamu biasanya paling hobi sama mie ayam." Vani sebenarnya sudah sedikit jengah. Anin hanya mengaduk-aduk mie ayamnya.
"Gak napsu makan mbak." Sebenarnya Vani ingin mangatakan kalau ini semua tidak akan terjadi jika Anin bisa sedikit saja mengurangi sifatnya yang ceroboh. Sudah beberapa kali Anin kehilangan barang penting. Kunci motor, STNK, bahkan sudah beberapa kali antingnya hilang satu atau hilang sebelahnya saja. Tapi kali ini berbeda. Ijasah itu sangat berarti bagi Anin. Merupakan satu pembuktian bahwa dirinya yang hanya wanita biasa saja dari daerah tapi bisa mencapai di tahap seperti sekarang ini.
Anindita Wahyuningsih, hanya seorang gadis kecil yang bermimpi bisa menjadi seorang yang mengangkat harkat keluarganya di kampung halamannya. Tidak ada yang menuntut, tapi posisinya sebagai sulung di keluarga membuat dia sudah sangat terbiasa untuk mengerti. Mengerti dengan kondisi keluarganya yang memang bukan dari kalangan yang berada. Mengerti jika dia harus mengalah dengan adik-adiknya. Tuhan menganugerahkan otak yang di atas rata-rata untuk Anin, dan dengan itu juga dia bisa menyelesaikan kuliah bahkan dengan gratis. Beasiswa penuh bahkan dengan uang saku bulanan dia bisa dapatkan.
"Kalau gak mau makan, sini, biar mbak buang aja mie ayamnya" Vani berucap sambil tanganya mengarah ke mangkok Anin dan hendak mengambilnya.
Sontak Anin langsung mendekatkan semangkuk mie ayam yang dari tadi cuma jadi tempatnya melamun. Dengan sedikit tergesa, Anin lalu memakan mie ayamnya yang bahkan sudah tidak lagi hangat.
Slurrpp... Slurrpp...
Uhuuk... Uhukk..
"Makanya, kalo makan biasa aja! Gak usah dihirup gitu kalo makan! Kesedak kan" Dengan sigap Vani lalu menyodorkan segelas air putih dan langsung diterima Anin.
Gluk.. Gluk..
"Daripada mbak buang. Kan mending buat Anin makan. Lagian buang makanan itu dosa lho mbak"
"Lha daripada dianggurin. Itu mie ayam juga udah lebih sejam gak kamu makan. Kamu aduk terus! Lama-lama bisa jadi bubur kamu adukin terus! Udah dingin trus pasti udah gak enak kan"
"Enggak kok! Ini masih enak!"
"Kalo masalah mie aja, gak ada yang gak enak"
Anin sangat beruntung memiliki teman kos seperti Vani. Anin yang anak sulung seperti mendapatkan figur kakak di dalam diri Vani. Sikapnya sudah seperti seorang adik kalau di depan Vani. Sedang Vani sendiri dengan cukup sabar meladeni sikap kekanakan dari Anin.
Setelah membereskan mangkok dan gelas bekas mereka makan malam tadi, Anin lalu kembali mendudukkan dirinya di karpet dan bersandar di tembok. Beberapa kali helaan nafas panjang terdengar darinya.
"Trus, rencana kamu gimana, Nin?" Dengan hati-hati Vani mencoba untuk membuka obrolan dengan Anin.
"Gak tahu mbak. Bingung. Kalo ke kampus kayak yang mbak saranin tadi, kayaknya kok enggak bisa ya mbak. Masak baru minggu kemarin wisuda trus terima ijasah, udah minta di cetak ulang. Trus alesannya ilang, mesti ntar minta surat kehilangan ke polisi. Ribet ngurusinnya"
"Ya mau gimana lagi! Wong nyatanya ijasah kamu ilang. Lagian, gimana sih ceritanya sampe ilang kayak gini? Kamu itu lulusan terbaik, cumlaude, tapi bisa sampe ceroboh gini?" Akhirnya Vani mengeluarkan juga uneg-unegnya sedari tadi. Sungguh, bagaimana mungkin ada orang yang sangat pintar tapi bisa seceroboh ini. Biasanya, orang dengan otak yang pintar cenderung teliti dan bisa mengingat segala hal dengan mudah, tapi sepertinya itu tidak berlaku untuk Anin.
"Tadi tuh rencananya mau Anin fotocopy, trus mau bikin lamaran kerja. Tapi abis ubek-ubek sekamar kok gak ketemu ya mbak"
Vani hanya bisa menggelengkan kepalanya berkali-kali mendengar cerita Anin. Dia sudah tidak bisa lagi berbicara. Hanya belaian lembut di rambut lurus sebahu milik Anin.
Yang tidak diketahui Anin adalah, semesta sedang menyiapkan satu kejutan untuk dirinya. Satu petualangan yang akan mengubah semua mimpi dan jalan hidupnya. Semua sekarang terserah pada keputusan Anin, mengikuti bagaimana semesta bekerja untuknya dan menyiapkan kejutan-kejutan untuknya atau malah memilih yang keputusannya untuk larut dalam keputusasaan yang entah bagaimana bisa terjadi dan kejadian ini hanyalah sebuah awalan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
High Quality Office Girl
RomanceKehilangan sesuatu yang penting membuat hidup seorang Anindita Wahyuningsih menjadi jungkir balik. Anin, demikian dia biasa disapa, bahkan harus menjadi seorang office girl walaupun dia seorang lulusan sarjana bisnis. Namun, Anin tetap bersyukur unt...